Arsip Tulisan

Ketika Sekolah adalah Penting

Senin, 27 Februari 2012

Oleh Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd *)

ADALAH Rahmad Syarifuddin, salah seorang mahasiswa saya di Prodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan ( PTK). Baru sekitar seminggu yang lalu dia menemui saya di ruang saya di Program Pascasarjana (PPs) Unesa. Tujuannya,  meminta ujian susulan. Tentu saja dia sudah menghubungi saya sebelumnya melalui telepon. Anak MA (Madura Asli) itu sopan sekali. Attitude-nya juga sangat bagus.

Ini adalah ujian yang kelima yang ditempuhnya. Sendirian. Semua temannya sudah selesai menempuh ujian itu. Bahkan perkuliahan semester ini sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu.

Pada matakuliah Teori Belajar, saya memberi  lima kali ujian, yakni untuk teori belajar perilaku dan sosial, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivis, pemotivasian belajar, dan strategi-strategi belajar. Setiap satu topik selesai dibahas (biasanya memerlukan waktu dua atau tiga kali pertemuan), pertemuan berikutnya adalah ujian.
Soal ujian terdiri atas dua bentuk, yakni multiple choice dan essay. Soal jenis pertama harus dikerjakan tanpa membuka buku. Sedangkan pada  soal jenis kedua boleh membuka buku dan internet. Yang penting harus dikerjakan sendiri.
Selain ujian, untuk setiap topik mereka harus membuat ringkasan dalam bentuk power point, dengan ketentuan tertentu. Saya membuat rubrik penilaian power point untuk digunakan sebagai pedoman. Pada power point itu juga, mereka harus memunculkan dua pertanyaan yang berbobot terkait dengan topik yang diringkas (penerapan strategi membuat ringkasan, bertanya, dan metakognitif).
Pola ini mungkin cukup berat bagi sebagian besar mahasiswa. Namun, karena dari pengalaman selama ini pola tersebut memberikan banyak manfaat dalam hal meningkatkan motivasi, pemahaman, dan kemajuan belajar mahasiswa, maka pola yang saya adopsi dari Prof Dr Muhammad Nur, Ketua Pusat Sains dan Matematika Sekolah di Unesa ini, masih saya pertahankan.

Kembali ke Rahmad Syarifudin. Pemuda ini baru mengikuti satu kali pertemuan di awal perkuliahan, ketika sebuah kecelakaan lalu lintas menimpanya pada awal semester yang lalu. Sepulang dari mengajar, sepeda motor yang dikendarainya terserempet mobil. Dia terjatuh dengan luka kaki yang sangat parah. Ya, kakinya patah. Maka tidak ada pilihan, dia harus dioperasi untuk memulihkan kakinya dan menjalani perawatan yang cukup lama.
Ibunya menelepon saya dari rumah sakit, memintakan izin anaknya untuk sedikitnya tiga bulan (sesuai saran dokter) tidak mengikuti kuliah. Tiga bulan. Artinya lebih dari 50 persen dia akan absen. Maka, ketika ibunya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, apakah Rahmad masih boleh meneruskan kuliahnya, saya jawab, “Ya, tentu saja boleh”.
 Beliau bertanya lagi, “Tapi kalau absen selama tiga bulan, apakah dia bisa lulus untuk matakuliah yang ditempuhnya di semester ini?”
Saya sejenak bingung, namun secepat mungkin saya jawab. “'Ibu, apa pun konsekuensinya, Rahmad harus sehat dulu kan? Allah akan mengatur semuanya dengan sangat baik. Yang penting sekarang fokus pada kesehatan Rahmad dulu,” kataku mencoba menenangkan kegusarannya.

Sekitar sebulan setelah itu, Rahmad menelepon saya dan mengatakan, bahwa dia sedang berada di Surabaya. Dia ingin menemui saya setelah kontrol di Rumah Sakit PHC. Karena kebetulan saya sedang ada tugas di luar kota, maka saya katakan, mungkin sebaiknya dia langsung pulang saja ke Madura. Toh dia masih dalam keadaan sakit, dan tidak boleh terlalu banyak bergerak.
Namun ternyata besoknya, ketika saya bertemu dengan Prof Fabiola, dosen pengajar mata kuliah Bahasa Inggis di Prodi S2 PTK, beliau bercerita kalau kemarin Rahmad menemuinya. Nampak sekali Prof Fabiola begitu terkesan pada pemuda itu. Dengan diantar ibunya, berjalan dibantu kruk, Rahmad berusaha menemui dosennya satu per satu untuk meminta izin tidak mengikuti kuliah selama kondisinya belum memungkinkan. Padahal sebenarnya dia sudah meminta izin melalui telepon.

Sekitar dua minggu setelah itu, Rahmad menelepon lagi, dan mengatakan, bahwa dia ingin menemui saya. Dia katakan, dia habis kontrol di Rumah Sakit PHC. Dalam teleponnya dia mengatakan, ketika itu dia tengah  meluncur ke kampus.

Akhirnya, muncullah pemuda itu di hadapan saya. DIa berjalan tertatih-tatih dengan dua kruk menyangga tubuhnya, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Ibunya mendampinginya dengan penuh kesabaran. Mereka diantar pamannya dari Madura dengan mobil pick-up. Ibunya adalah seorang guru SD.
Rahmad merupakan anak satu-satunya, dan bapak Rahmad sudah lama meninggal. Karena begitu kuatnya keinginan Rahmad untuk sekolah, ibunya memberanikan diri mengambil pinjaman dari bank  Rp 10 juta. Uang itu sudah digunakan untuk membayar SPP semester pertama sebesar Rp 5 juta. Sisanya yang 5 juta untuk cadangan membayar SPP semester kedua.
Sisa uang itu masih tetap mengendap di tabungan. Bahkan meskipun  memerlukan banyak dana untuk pengobatan Rahmad, sang ibu memilih meminjam dari koperasi sekolah dan dari teman-temannya yang lain, sehingga tidak mengutak-atik uang yang diplot untuk membayar sekolah Rahmad. Juga ketika rumahnya rata dengan tanah karena diterjang badai puting beliung, ia tetap bertahan untuk tidak menggunakan uang sekolah itu. Sang ibu memilih pinjam dari sanak-saudaranya untuk memperbaiki rumahnya.
Perempuan sederhana itu menceritakan semuanya dengan sangat tegar, dengan tutur kata yang lancar, tidak ada nada mengeluh. Bahkan berkali-kali justru rasa syukur yang meluncur dari bibirnya, karena meskipun cobaan beruntun menderanya, Allah tetap melindunginya dan anaknya. Lebih dari itu Allah  selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.

Rahmad mengatakan, kalau kondisinya sudah memungkinkan, dia akan mengumpulkan semua tugas dan akan menempuh semua ujian untuk mata kuliah saya. Dia juga akan lakukan hal yang sama untuk matakuliah lain. Dia tanyakan apa itu bisa? Saya katakan, bahwa saya belum bisa memastikan. Bahwa jumlah kehadiran memengaruhi nilai partisipasi kelas.
Karena saya Kaprodi S2 PTK, saya berjanji akan menghubungi semua dosen pengajar  dan meminta kesediaan mereka untuk melayani Rahmad dengan memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tugas dan menempuh ujian. Setidaknya, meskipun nilainya tidak bisa optimal --karena nilai partisipasinya pasti sangat rendah--, setidaknya yang penting dia bisa lulus, meski dengan nilai minimal sekali pun. Tentu saja kalau dia dinilai pantas lulus,  saya tidak akan melakukan intervensi pada dosen yang bersangkutan, karena itu menyangkut kewenangan dosen. Saya juga katakan pada Rahmad, saya harus konsultasikan kebijakan ini pada Prof Muslimin, Asisten Direktur  I PPs.

Besoknya, ketika saya menelepon semua dosen, jawaban mereka melegakan saya. “Oke, Bu Lutfi, no problem,” kata Prof. Fabiola.
“Siap, Prof,” ujar Prof Munoto.
Jawaban dosen-dosen yang lain pun bernada sama. Prof Muslimin, Asdir I, juga menyerahkan pada kebijakan saya sebagai Kaprodi dan kesepakatan dosen-dosen pengajar. Saya benar-benar lega.

Saya sampaikan kabar yang melegakan itu kepada Rahmad. Dia nampak senang sekali, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia berjanji akan segera mengikuti kuliah bila kondisinya sudah memungkinkan, dan akan berupaya mengejar ketertinggalannya.

Tiga kali pertemuan sebelum perkuliahan semester ini berakhir, Rahmad tiba-tiba muncul di kelas. Masih mengenakan kruk, tapi tinggal satu. Saya tanyakan ke dia, apakah kondisinya sudah memungkinkan untuk ikut kuliah.
Dia jawab, “insyaallah, ibu. Yaa....dipaksa-paksa sedikit, Ibu. Sekalian latihan jalan.”
Sejak itu, dia mulai mengumpulkan tugasnya satu demi satu. Menempuh lima kali ujiannya setahap demi setahap. Hal  itu juga dilakukan untuk mata kuliah yang lain. Setiap kali saya ketemu dosen pengampu mata kuliah, hampir semuanya mengemukakan kekagumannya pada Rahmad. Mereka kagum pada daya juangnya dan motivasi belajarnya yang luar biasa, juga pada kehalusan budi pekerti dan kesantunannya.
Hampir setiap hari selama minggu-minggu terakhir perkuliahannya itu, dia menyetorkan tugas-tugas, menempuh ujian, dan mengikuti kuliah demi kuliah. Di dalam setiap perkuliahan, dia berusaha untuk sepenuhnya terlibat, bertanya, menanggapi, menunjukkan kesungguhannya untuk mengejar ketertinggalannya dalam nilai partisipasi kelas.

Sebagai seorang dosen yang sudah puluhan tahun bertugas, saya sering dibuat terharu dengan kegigihan beberapa mahasiswa saya. Beberapa dari mereka ke kampus sambil membawakan nasi bungkus untuk teman-temannya. Tentu saja teman-temannya itu harus membelinya. Ada pula yang membawa goreng-gorengan, seperti tahu, tempe, pisang, dan lain-lain.
Selain itu, di antara mereka ada juga yang harus membagi waktu sedemikian rupa karena dia bekerja sebagai tenagacasual di sebuah hotel. Tak heran, kadang-kadang di kelas terkantuk-kantuk, kelelahan. Saat ini ada sekelompok mahasiswa bimbingan saya berwira usaha dengan menjual berbagai makanan di kampus. Mereka kerap berlari-lari untuk mengejar perkuliahan yang akan segera dimulai. Namun begitu, mereka menjalani aktivitas kuliahnya dengan sangat baik,  tugas selalu tepat waktu, UTS- UAS tidak ketinggalan, dan aktif di kelas.

Sebagian besar mahasiswa S2 saya adalah guru dan sebagian lagi dosen, yang tetap harus mengajar di antara waktu-waktu kuliahnya. Seorang mahasiswa saya, Abdul Fatah, guru SMA di Lamongan, setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu,nglaju  dengan vespanya. Seorang lagi, dosen Unmuh Madiun, harus  nge-bus.
Beberapa yang lain, bersepeda motor Pamekasan-Surabaya (PP), Mojokerto-Surabaya, dan Jombang-Surabaya. Spirit mereka, ya spirit itu,  begitu bisa saya rasakan. Spirit untuk menuntut ilmu, apa pun motivasinya. Padahal, kalau mereka sekadar ingin dapat ijazah S2, mereka bisa mendapatkannya dengan jauh lebih mudah dari banyak perguruan tinggi swasta yang menawarinya. Mereka tidak harus bersusah-payah dengan menjadi mahasiswa reguler dengan segala macam aturan dan beban kuliahnya.

Spirit itu begitu kuat karena bagi mereka, sekolah adalah penting. Mungkin ada banyak hal juga yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di antaranya, ada dosen yang terlalu banyak memberikan tugas, dosen yang sering mengubah jadwal semaunya, dosen yang sangat pelit nilai, bahkan dosen yang membosankan ketika mengajar.
Tetapi, mereka semua menjalaninya dengan sangat realistis. Bagaimanapun mereka sudah ada di sini. Dan, do my bestitulah pilihan sikap yang terbaik. Bahkan bagaimana menghadapi kejenuhan yang luar biasa saat dosen mengajar dengan membosankan, perlu kemampuan mengelola emosi dan daya tahan yang luar biasa. Bila mereka mampu melewatinya, maka satu tahap telah berhasil dicapainya. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik, bahkan dari seorang dosen yang mengajar dengan cara yang paling membosankan sekali pun.

Bagi mereka, pendidikan jelas bukan sekadar persekolahan (meminjam istilah Daniel M. Rosyid dalam Potret Sekolah Dewasa Ini).  Dan bagi mereka, belajar juga bukan sekadar untuk lulus ujian.  Pendidikan dan belajar bagi mereka, saya yakin, adalah benar-benar untuk bekal menyongsong masa depan.
*) Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd  adalah Ketua Program Studi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK), Unesa

Distorsi Pendidikan Kita

Oleh Suhartoko *) 

DALAM satu kesempatan di pondok pesantren Darut Taqwa Gresik, KH A. Mustofa Bisri sempat melontarkan kegelisahannya terkait penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Pemangku Ponpes Raudlatut Thalibin Rembang, Jateng itu ngudarasa tentang carut-marut dan amburadul-nya pendidikan di Indonesia.

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini menilai, masalah tersebut sudah mengakar mulai di tingkat satuan pengelola pendidikan (baca: sekolah) hingga pembuat kebijakan tertinggi di bidang pendidikan. Bahkan, menurut Gus Mus, ruwetnya dunia pendidikan terjadi secara sistemik, karena menyentuh hampir seluruh tahapan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Kegelisahan sang kiai sebenarnya cukup beralasan jika melihat output pendidikan yang ternyata belum banyak menyentuh aspek sumber daya insani peserta didik secara tatol. Hal ini karena sejak awal telah terjadi distorsi dalam memaknai pendidikan, yang di dalamnya terdapat instrumen pendidik (orang yang mendidik atau guru), peserta didik (murid/siswa), dan pengelola sekolah.  Sinyalemen ini kian tak terbantahkan jika dikaitkan dengan sistem evaluasi akhir yang dijadikan acuan penentu kelulusan peserta didik.

Lihat saja kebijakan Ujian Nasional (Unas) dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang ditetapkan dan hingga kini diberlakukan pemerintah. Terlepas dari kontroversi penerapannya di lapangan, dari sisi materi, ujian itu sesungguhnya belum cukup merepresentasikan pola pendidikan yang dalam perspektif pesantren dikenal dengan istilah tarbiyyah dalam arti sesungguhnya. Sebab, model atau materi ujian yang harus dikerjakan peserta didik umumnya tidak lebih dari pengajaran (ta’lim) bidang studi yang diajarkan di sekolah. 

Kalau mau jujur, sesungguhnya materi ujian yang disajikan kepada peserta Unas/UASBN itu hanya berisi materi-materi pelajaran yang lebih bersifat kognitif, tidak banyak menyentuh aspek pembangunan dan pemberdayaan daya insani peserta didik yang ditandai adanya perubahan perilaku moral/akhlak atau budi pekerti.

Uniknya, selama bertahun-tahun Unas/UASBN yang hanya terdiri atas sebagian kecil dari total mata pelajaran, justru menjadi penentu kelulusan peserta didik. Perancang atau pembuat soal-soal ujian hanya berorientasi bagaimana peserta mampu mengerjakan soal-soal yang disodorkan, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau akhlak yang dimiliki peserta didik setelah lulus sekolah kelak.

Ini yang kemudian berpengaruh pada pola dan materi pembelajaran yang diberikan oleh pendidik (guru) kepada peserta didik (murid). Tak heran, banyak pengelola satuan pendidikan menerapkan sistem “kejar tayang” pada satu tahun terakhir pada tiap level pendidikan, yakni pada kelas VI untuk jenjang SD/MI, kelas IX untuk SMP/MTs, dan kelas XII untuk tingkat SMA/SMK/Aliyah. “Kejar tayang” yang dimaksud adalah, materi ajar dua semester dihabiskan (secara kuantitatif) dalam satu semester I. Sedangkan pada semester II, peserta dipacu dengan mengunsumsi soal-soal yang diproyeksikan setingkat dengan materi ujian akhir.

Tidak hanya itu, pada periode akhir tiap jenjang pendidikan tersebut siswa masih harus menjalani berkali-kali try out, sebagai bekal menghadapi Unas/UASBN. Tujuannya, peserta didik memiliki kesiapan  dan terbiasa dengan pola pengerjaan soal-soal yang diprediksi selevel dengan yang akan mereka hadapi dalam ujian akhir.

Dalam kasus ini, baik guru maupun murid sepertinya telah menjadi korban teror oleh pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini. Guru atau pengelola sekolah yang tidak mau menanggung malu akibat ada muridnya yang tidak lulus, akan mati-matian menyiapkan muridnya untuk bertempur dalam ujian. Meski tak jarang ditemui, demi kelulusan muridnya, sang guru atau penyelenggara satuan pendidikan “terpaksa” melakukan kecurangan (dengan berbagai modus) demi mengejar lulus 100%.

Lebih parah lagi, kecurangan itu bahkan dilakukan secara massal dan terorganisasi. Ini terjadi lewat pengondisian petinggi di Dinas Pendidikan di daerah kabupaten/kota. Demi nama baik daerah, para kepala sekolah diminta bekerja sama dalam mengawal murid-muridnya agar bisa lulus 100%. Karena itu, meski sistem pengawasan ujian dilakukan secara silang, biasanya antarpengawas yang sudah “dibekali” kepala sekolah masing-masing, terjadi kesepakatan untuk tutup mata terhadap peluang kecurangan yang terjadi. Akibatnya, misi pengawasan terhadap peserta ujian berubah jadi praktik perjokian, baik secara terang-terangan maupun  terselubung.
Para orang tua atau wali murid pun tak mampu menghindar dari pengondisian ini. Karena persepsi yang terbangun dan mengakar adalah bagaimana peserta didik mampu mengerjakan soal-soal yang mereka hadapi dalam ujian akhir, maka tak sedikit orang tua harus berburu lembaga bimbingan belajar (LBB). Meski untuk ini mereka harus mengalokasikan dana tidak sedikit.

Tujuannya hanya satu: menyiapkan anak-anak mereka agar mampu mengerjakan soal-soal ujian secara maksimal. Dan, para pengelola LBB pun menangkap fenomena ini sebagai peluang bisnis menggiurkan. Tak heran, di mana-mana tumbuh LBB baik yang sudah teroganisasi secara rapi dan profesional maupun yang personal amatiran.  

Hakikat Pendidikan

Kalau kita mencermati definisi dan hakikat pendidikan, baik yang diungkap para pakar pendidikan klasik maupun modern, dalam beberapa dekade terakhir, sepertinya telah terjadi distorsi pemaknaan. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia memaknai pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sementara pakar pendidikan Frederick J. Mc Donald memandang pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk mengubah tabiat. Makna hampir sama dapat diperoleh dari terminologi Jawa yang menempatkan pendidikan sebagai panggulawenthah (pengolahan), yakni mengolah atau mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan, dan watak, serta mengubah kepribadian sang anak.
Deskripsi lebih lengkap dan gamblang dapat ditemui dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (Sisdiknas). Pasal 1 ayat 1 UU ini menyebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Dari paparan tersebut jelaslah, bahwa soal-soal Unas/UASBN yang dihadapi peserta didik  jauh dari makna serta maksud dan tujuan pendidikan. Karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentingan (stake holder) pendidikan menyamakan persepsi tentang pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan para pakar pendidikan maupun payung hukum yang berlaku, dalam hal ini UU Sisdiknas. Kembalikan makna pendidikan sesuai dengan “fitrahnya” dan jangan ada lagi distorsi dalam memaknai dengan merancukannya antara pendidikan dan pengajaran.

Kita tentu tidak ingin para peserta didik hanya piawai menuntaskan soal-soal ujian dengan hasil gemilang, lalu menafikan perkembangan moral/akhlak atau budi pekerti sebagai bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, kita berharap peserta didik tumbuh dengan berbagai kecerdasan yang secara komprehensif dikembangkan lewat proses belajar mengajar. (*)

*) Suhartoko adalah pengelola lembaga pendidikan di Yayasan Pendidikan dan Sosial Islam (YPSI) Al Huda dan Yayasan Al Ibrah Gresik.

INDONESIA MENULIS: Menjadi Bangsa Berbudaya Menulis

Rabu, 22 Februari 2012

RASIONAL
Menulis merupakan salah satu keterampilan berbahasa dalam pembelajaran bahasa yang diajarkan di semua jenjang pendidikan. Namunironisnya, kemampuan menulis justru menempati keberhasilan paling bawah dari keterampilan berbahasa lainnya.
Penyebabnya bermacam-macam antara lain karena lemahnya kesadaran pentingnya menulis, tidak tahu manfaat menulis,  terbatasnya mengakses informasi sehingga tidak tahu apa yang harus ditulis, lemahya penguasaan metode menulis, atau kurangnya dorongan untuk menulis. 
Untuk itulah perlu dilakukan upaya pemberdayaan secara sistemik dan sistematik yang mampu menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan menulis bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi mahasiswa, siswa, guru, dan/atau masyarakat melalui program INDONESIA MENULIS.
Alasan faktual yang mengedepan adalah rendahnya tingkat literasi (melek membaca dan menulis) di kalangan masyarakat/bangsa, termasuk guru, siswa, dan mahasiswa. Jumlah buku yang kita hasilkan sangat sedikit. Menurut International Publisher Association Kanada, Indonesia hanya mampu menerbitkan 5.000 judul/tahun, jauh lebih kecil dibanding Jepang 65.000 judul/tahun, Jerman 80.000 judul/tahun, dan Inggris 100.000 judul/tahun. Dari 250.000 sekolah di Indonesia hanya 5% yang memiliki perpustakaan. Masyarakat kita, termasuk guru, siswa dan mahasiswa, belum terbiasa menulis.
Rendahnya tingkat literasi itu akan menyebabkan daya saing rendah pula dalam persaingan global.  Sumber daya manusia kita tidak kompetitif karena kurangnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Jika terserap ke dalam pasar kerja global pun, kebanyakan termasuk pekerja yang lebih menuntut keterampilan, bukan keahlian. Ini adalah akibat lemahnya minat dan kemampuan (membaca dan) menulis. Padahal, menurut Randall S. Hansen dan Katharine Hansen dalam artikel "The Importance of Good Writing Skills"kemampuan menulis (writing skills) merupakan tiket untuk meraih sukses akademis dan sukses karier.
Mengapa kita tidak memiliki budaya menulis? Alasannya meliputi: (1) Kurangnya pemahaman dan kesadaran bangsa tentang pentingnya budaya menulis itu sendiri; (2) Menulis adalah tingkat literasi tertinggi dalam berbahasa dan membutuhkan latihan yang serius; (3) Masih tingginya tingkat illiterasi di masyarakat; dan (4) Secara historis, budaya literer tidak banyak ditemui di masyarakat kita.
Lagi pula, sistem pendidikan di Indonesia masih belum berhasil membudayakan menulis. Penyebabnya antara lain: (1) Karena buruknya kurikulum menulis dan kurangnya pelatihan untuk menulis di kampus dan sekolah; (2) Kurangnya lembaga pelatihan menulis yang benar-benar professional; (3) Kurangnya SDM di bidang pelatihan menulis dan rendahnya kualitas pengetahuan dan ketrampilan guru bahasa; dan (4) Menulis belum dianggap sebagai sebuah profesi atau pekerjaan yang menjanjikan.
Itulah mengapa pemberdayaan kemampuan menulis dan publikasinya harus ditingkatkan, bahkan menjadi suatu kewajiban yang niscaya. Selain itu, guru juga wajib menulis karya ilmiah. Sebagaimana Peraturan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) No. 16 tahun 2009, Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tanggal 6 Mei 2010, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 tahun 2010, yang mengatur bahwa guru minimal dari golongan III/b yang akan naik pangkat ke jenjang lebih tinggi diwajibkan membuat karya tulis.
Itulah mengapa pemberdayaan kemampuan menulis dan publikasinya harus ditingkatkan, bahkan menjadi suatu kewajiban. Sebagaimana yang tertuang dalam surat edaran kebijakan Kementerian Pendidikan yang dituangkan dalam surat edaran no 152/E/T/2012 per 27 Januari 2012, bahwa mulai Agustus 2012 semua mahasiswa yang akan lulus (S1, S2, S3) wajib mempublikasikan karya tulisnya di jurnal ilmiah. Itu artinya, menulis akan menjadi kewajiban bagi setiap mahasiswa.
Selain itu, guru juga wajib menulis karya ilmiah. Sebagaimana Peraturan Menteri Pendayaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Permenpan RB) No. 16 tahun 2009, Peraturan Bersama Mendiknas dan Kepala BKN Nomor 03/V/PB/2010 dan Nomor 14 Tahun 2010 tanggal 6 Mei 2010, dan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 35 tahun 2010, yang mengatur bahwa guru minimal dari golongan III/b yang akan naik pangkat ke jenjang lebih tinggi diwajibkan membuat karya tulis.
Untuk itu pula kemampuan menulis sangat urgen dibudayakan di kalangan siswa, bahkan perlu dibina dan dikembangkan. Di samping akan menjadi bekal siswa sewaktu di perguruan tinggi kelak, kemampuan menulis juga secara langsung dapat dimanfaatkan siswa untu menerbitkan karyanya, baik berupa karya sastra, maupun dalam bentuk karya jurnalistik, artikel, esai, dan karya tulis lainnya.
Berdasarkan latar belakang di atas, dibutuhkan sebuah gerakan atau pemberdayaan besar untuk mengatasi masalah mendasar ini secara cepat. Harus ada sebuah upaya gerakan atau pemberdayaan secara sistemik, akademik dan berkelanjutan untuk menumbuhkan budaya (membaca dan menulis pada masyarakat (siswa, guru, mahasiswa dan masyarakat umum).  Kita harus melakukan upaya serius untuk mengatasi masalah rendahnya budaya tulis ini dan berusaha untuk melatih keterampilan mereka melalui program INDONESIA MENULIS.

VISI-MISI INDONESIA MENULIS
Menjadikan sekolah dan kampus sebagai komunitas yang memiliki budaya menulis yang tinggi setara dengan sekolah (guru-siswa) dan kampus (mahasiswa) di negara maju dunia.
1.      Menjadikan masyarakat Indonesia (khususnya siswa, guru, mahasiswa, dan/atau masyarakat umum) memiliki BUDAYA MENULIS yang setara dengan penduduk di negara-negara maju.
2.      Menjadikan MENULIS sebagai kegiatan yang dilakukan secara rutin dan terstruktur oleh setiap komunitas guru, siswa, mahasiswa, dan/atau masyarakat umum  di seluruh Indonesia.
3.      Menjadikan MENULIS sebagai bagian dari kurikulum di sekolah dan di kampus di Indonesia dengan alokasi waktu khusus.
4.      Mendorong tumbuhnya upaya untuk menjadikan MENULIS sebagai profesi yang menjanjikan.

SASARAN PROGRAM
Program Indonesia Menulis memiliki sasaran sebagai berikut:
·         Guru, dalam hal ini akan diwujudkan dalam Komunitas Guru Menulis (KGM)
·         Siswa, dalam hal ini akan diwujudkan dalam Komunitas Siswa Menulis (KIM)
·         Mahasiswa, dalam hal ini akan diwujudkan dalam Komunitas Mahasiswa Menulis (KMM)
·         Masyarakat Umum dan profesional seperti sekretaris, humas perusahaan, dan lain-lain.

KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN
Peserta pelatihan dan pendampingan menulis diharapkan memiliki kompetensi berikut ini:
·         Mampu menulis karya ilmiah hasil penelitian
·         Mampu menulis karya ilmiah gagasan
·         Mampu menulis karya jurnalistik
·         Mampu menulis cerita fiksi
·         Mampu menulis puisi
·         Mampu menulis naskah drama

PROGRAM MENULIS YANG DISEDIAKAN
·         Penelitian Tindakan Kelas
·         Menulis Artikel dan Karya Ilmiah
·         Menulis Karya Jurnalistik
·         Menulis Cerpen
·         Menulis Puisi
·         Menulis Naskah Drama

MEKANISME PELATIHAN/PENDAMPINGAN
·         Program Indonesia Menulis akan melakukan kerja sama pelatihan bagi guru/siswa sekolah, mahasiswa/kampus, atau peserta profesional dan umum selama ± 36 jam, berikut pendampingan/monitoring yang diperlukan.
·         Program Indonesia Menulis dimulai dengan SEMINAR klasikal untuk kalangan guru, siswa,  mahasiswa, profesional dan umum untuk memberikan motivasi dan wawasan mengenai dunia tulis-menulis. Seminar ini sekaligus digunakan untuk ajang mencari bibit-bibit penulis.
·         Program Indonesia Menulis akan melakukan SELEKSI guru/siswa/mahasiswa/profesional/umum yang benar-benar berminat dan berbakat dalam menulis untuk mengikuti pelatihan dan pendampingan khusus untuk menjadi penulis.

Dari jumlah guru/siswa/mahasiswa/profesional/umum yang tertarik akan diadakan seleksi sehingga terkumpul sebanyak masing minimal 25 guru/siswa/mahasiwa/profesional/umum  dan kelipatannya untuk dijadikan sebagai ‘Prospective Writers’ dengan mengikuti pelatihan selama 36 jam, dan pendampingan berkelanjutan, sesuai modul agar kemampuan menulis setiap anggota komunitas benar-benar optimal dan dapat  menjadi sebuah keterampilan yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari maupun sebagai bekal untuk profesi di masa depan.
·         Peserta guru/siswa/mahasiswa/profesional/umum hasil seleksi akan diberi PELATIHAN (WORKSHOP) berbagai teknik untuk menulis dengan tugas-tugas yang menantang tapi menyenangkan, selama 20 jam berturut-turut.
·         Setelah itu, para peserta guru/siswa/mahasiswa/profesional/umum ini akan diberi tugas untuk mengirimkan sebuah hasil karya tulis mereka sesuai minat masing-masing dan diberi waktu untuk mengumpulkan karya terbaik mereka dalam  rentang PENDAMPINGAN ONLINE 16 jam yang ditetapkan. Dalam masa ini, konsultasi BISA dilakukan melalui email atau facebook/twitter yang disediakan. Jadi, PENDAMPINGAN/ MONITORING bisa langsung (face to face) ATAU pendampingan/monitoring lewat dunia maya (Email, Facebook, YM, Twitter, dll.)
·         Karya guru/siswa/mahasiswa/profesional/umum menulis ini akan diseleksi untuk dijadikan buku Kumpulan Karya Kreatif mereka  dan AKAN DITERBITKAN, serta DIPUBLIKASIKAN di media cetak dan jurnal online.
·         Peluncuran buku kumpulan karya guru/siswa/mahasiswa/profesional/umum akan dilakukan dengan sebuah acara yang meriah dengan mengundang peserta pelatihan tersebut, masyarakat umum, dan pejabat berkaitan. Dengan demikian, semua tahu bahwa mereka mampu menghasilkan karya kreatif yang membanggakan.
·         Hak cipta dan penerbitan akan menjadi milik Indonesia Menulis, atau masing-masing penulis, sesuai kesepakatan bersama.


METODE SUPER WRITING
Metode pelatihan dan pendampingan menulis yang diterapkan ala Indonesia Menulis disebut dengan istilah “Metode Super Writing”. Metode pelatihan ini merupakan gabungan sejumlah metode pelatihan yang telah diujicobakan di berbagai pelatihan. Di dalam pelatihan peserta dikondisikan secara kognitif dan psikologik agar mereka mampu mengoptimalkan penggalian ide, pemetaan pikiran, dan mengembangkannya secara intensif dan konstruktif.  Metode induktif ini memungkinkan peserta untuk mengalami lompatan perkembangan kemampuan dan keterampilan yang cepat, sehingga peserta dapat menuliskan gagasan yang semula sulit untuk keluar. Singkat kata, metode Super Writing ini, secara faktual, telah suskes diterapkan Indonesia Menulis dalam program pelatihannya, termasuk pelatihan dan pendampingan Jatim Menulis bagi 276 peserta (guru, siswa, dan mahasiswa) yang dihelat pada 24-26 Maret 2012, yang kemudian mampu menghasilkan 4 buku dan ratusan artikel karya ilmiah populer.


PROGRAM PENDUKUNG
Program-program untuk mendukung pelatihan dan pendampingan menulis meliputi:
·         LOMBA MENULIS
·         JUMPA PENULIS
·         BOOK EXPO
·         BLOGGING
·         KOMUNITAS GURU MENULIS
·         KOMUNITAS MAHASISWA MENULIS
·         KOMUNITAS SISWA MENULIS
·         KOMUNITAS-KOMUNITAS MENULIS LAIN
·         MEDIA KREATIF (CETAK/ONLINE)
·         LOMBA MENULIS
Lomba Menulis (Writing Contest) adalah program untuk meningkatkan motivasi peserta Program Indonesia Menulis dalam menulis. Kontes atau lomba yang akan dilakukan sebagai event rutin untuk menjaring banyak karya.

·         JUMPA PENULIS
Program ini dirancang untuk meningkatkan minat peserta Program Indonesia Menulis untuk menjadi penulis. Indonesia Menulis akan mendatangkan satu atau beberapa penulis buku tertentu untuk mengadakan acara ‘Jumpa Fans’ dan diskusi atau bedah buku tentang buku dari penulis tersebut.

·         BOOK EXPO
Book Expo adalah program pameran buku dari beberapa penerbit atau toko  buku yang bertujuan untuk mendorong perserta Program Indonesia Menulis dan komunitas untuk membeli dan membaca buku-buku terbitan baru ataupun lama dengan harga khusus. Pada saat itu diadakan juga stand khusus penjualan buku-buku bekas yang diperoleh dari sumbangan masyarakat dengan harga sangat murah

·         BLOGGING
Blogging (nge-blog) atau pembuatan blog dimaksudkan untuk membiasakan peserta Program Indonesia Menulis dalam menghasilkan karya tulis dan “memamerkan” di dunia maya. Selain itu, blogging memberikan dampak pencitraan yang dahsyat—dan sekaligus membangun jaringan (networking) yang kokoh.

·         KOMUNITAS GURU MENULIS
Pembentukan komunitas guru penulis di daerah tempat guru berada akan menjadi wadah dalam berkarya kreatif. Komunitas ini akan didampingi oleh penulis “sudah jadi” (senior). Nama komunitas bisa membawa nama Program Indonesia Menulis atau pilihan sendiri. Kegiatannya bisa meliputi: berbagi karya, diskusi, konsultasi, penerjemahan karya, dan sebagainya.

KOMUNITAS MAHA(SISWA)MENULIS
Pembentukan komunitas penulis muda di daerah tempat peserta Program Indonesia Menulis khususnya siswa/mahasiswa-- berada akan menjadi wadah dalam berkarya kreatif. Komunitas ini akan didampingi oleh penulis “sudah jadi” (senior). Nama komunitas diharapkan membawa nama Indonesia Menulis. Kegiatannya bisa meliputi: berbagi karya, diskusi, konsultasi, penerjemahan karya, dan sebagainya.

KOMUNITAS-KOMUNITAS MENULIS LAIN
Pembentukan komunitas-komunitas menulis yang lain akan dilakukan untuk mewadahi beragamnya peserta di luar komunitas sebelumnya.  Sangat boleh jadi akan terbentuk Komunitas Profesional Menulis, Komunitas Anak menulis, Komunitas Ibu-Ibu Menulis, dan sebagainya. Selain berfungsi sebagai wadah komunikasi, komunitas ini juga sebagai wadah berkreasi dan mengembangkan kemampuan anggotanya.

MEDIA KREATIF (CETAK/ONLINE)
Media kreatif adalah media (cetak/online) yang dikelola secara profesional dan yang digunakan untuk menampung karya peserta Program Indonesia Menulis yang sudah terseleksi. Media ini akan berskala provinsi dan (bahkan) nasional. Dengan media ini, peserta Program Indonesia Menulis membangun akar-akar eksistensinya dalam dunia menulis (kreatif).

PENGELOLAAN
Program Indonesia Menulis ini diorganisasikan oleh Mitra Kreasindo Abadi (MKA), yang didukung oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur, Universitas Negeri Surabaya (Unesa), dan Lembaga-lembaga  lain yang turut berpartisipasi.  Partisipasi lembaga-lembaga lain dalam menyukseskan program ini diharapkan semakin kuat dan luas, semenjak peristiwa fenomenal, yakni Pencanangan Jawa Timur Menulis oleh Gubernur Jawa Timur pada peringatan Hardiknas 2 Mei 2012.

PENDUKUNG PROGRAM
Program Indonesia Menulis ini didukung oleh lembaga dan individu sebagai berikut:
1.     Provinsi Jawa Timur (dengan pencanangan Jawa Timur Menulis)
2.     Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur
3.     Universitas Negeri Surabaya
4.     Sejumlah Alumni program S2/S3 perguruan tinggi Australia
5.     Sejumlah Alumni program S2/S3 perguruan tinggi Amerika
6.     Sejumlah Alumni program S2/S3 perguruan tinggi Inggris
7.Para penulis Indonesia yang tersebar di berbagai daerah.
TARGET OUTPUT dan OUTCOME

Target yang akan dicapai pada akhir program ini adalah sebagai berikut:
1. KUALITATIF
Program ini akan dimulai dengan Seminar  Indonesia Menulis dan dilanjutkan Pelatihan dan Pendampingan Menulis dalam berbagai bentuk karya tulis ilmiah, sastra, dan populer. Setelah pelaksanaan seminar, program akan dilanjutkan dengan pelatihan dan pendampingan secara intensif bagi siswa/guru/mahasiswa yang termasuk di dalam program pelatihan dan pendampingan. Tujuannya adalah terciptanya kebiasaan menulis sesuai dengan maksud diselenggarakannya program INDONESIA MENULIS ini secara konsisten, sistemik, dan berkelanjutan. Ke depan diharapkan tumbuh masyarakat yang berbudaya menulis.

2. KUANTITATIF
Keberhasilan program INDONESIA MENULIS dapat dilihat berdasarkan data dan laporan dari setiap kegiatan seminar maupun program intensif dengan target sebagai berikut:
      Menjadikan peserta Indonesis Menulis mampu dan aktif berkarya dalam bentuk tulisan di blog
      Peserta Indonesis Menulis aktif mengirimkan karyanya ke media khusus yang disediakan untuk dipublikasikan secara umum, berupa jurnal (cetak/online)
      Peserta aktif mengikuti lomba penulisan yang diselenggarakan oleh Indonesis Menulis maupun lembaga lain.
      Peserta Indonesis Menulis mampu menghasilkan buku yang berisi karya sendiri.


JADWAL PELAKSANAAN
Pelaksanaan pelatihan dan pendampingan menulis untuk peserta dimulai setelah diadakan seleksi calon penulis siswa dan guru pasca pelaksanaan Seminar Indonesia Menulis. Hal ini tentu didasarkan pada kesepakatan antara pihak Indonesia Menulis dan lembaga/pihak pemesan.  Dengan demikian, jadwal dan tempat pelaksanaan kegiatan (sesuai angkatan atau batch seminar) akan ditetapkan kemudian.


BIAYA PELAKSANAAN
Biaya pelaksanaan pelatihan dan pendampingan menulis berdasarkan kesepakatan antara pihak Indonesia Menulis dan lembaga/pihak pemesan. Komponen-komponen biaya yang digunakan untuk pelaksanaan pelatihan dan pendampingan menulis sangat menentukan total biaya yang diperlukan untuk setiap angkatan (batch) program.
BENEFIT SPONSOR
Jika sponsor melakukan kerjasama dengan membantu pelaksanaan kegiatan Indonesia-Menulis, ia akan memperoleh keuntungan (benefit) sesuai besar-kecilnya bantuan yang diberikan. Adapun benefit yang dapat dipetik berkat kerjasama dengan Indonesia-Menulis dapat dipetakan sebagai berikut:
-          Pemasangan logo sponsor di setiap atribut kegiatan Indonesia Menulis
- Spanduk
-
Backdrop
- Baliho
- Flayer
- Blocknote, dan sejenisnya
-          Pemasangan logo sponsor  di website Indonesia Menulis
-          Penyebutan nama sponsor  dalam announcer setiap acara Indonesia Menulis
-          Penyebutan dan pemuatan logo sponsor dalam setiap iklan, advertorial, dan pemberitaan.***