Arsip Tulisan

BBM dan Supir Otto

Rabu, 28 Maret 2012

Ketika BBM naik
Dan banyak orang demo
Apa kata supir otto?

BBM naik, kita ikut sajalah...
Buat apa demo?
Orang-orang yang dekat dengan presiden saja tidak didengar (orang Jawa maksudnya)
Apalagi kita yang jauh

Daripada demo
Mending makan kenyang,
Tidur di rumah, bangun,
Mandi, jalan-jalan sama anak istri....

Kalau ongkos otto naik?
Ya pasti naiklah...
Kalau orang tidak mau bayar?
Mana ada orang tidak mau bayar
Naik otto orang, ya pasti bayarlah dia....

Sudah, naikkan saja BBM
Ikut sajalah kita
Tidak apa-apa...
Biar saja....


Waingapu, 28 Maret 2012


Prof. Lutfiyah Nurlaela, M.Pd
www.luthfiyah.com

Mufchlis dan Pesta Menulis

Eko Prasetyo dan Ria Fariana.

Tak terbayang saya bisa satu kelas dengan Ria Fariana untuk mendampingi siswa dalam program Jatim Menulis. Pasalnya, namanya kadung harum sebagai pengarang buku-buku motivasi remaja. Selain itu, pengalaman organisasinya di bidang menulis juga bikin saya kagum. Ia mantan sekretaris Forum Lingkar Pena (FLP) Jatim pada era Bahtiar H.S.

Soal produktivitas menulis, jangan tanya. Puluhan buku, baik karya solo maupun rame-rame, sudah dihasilkannya. Yang terbaru, ia baru saja meluncurkan buku yang dibikin bersama komunitas Ibu-Ibu Doyan Nulis yang sebenarnya berkedudukan di Bandung.

Mbak Ria –demikian saya menyapanya- juga aktif membimbing Klub Penulis Cilik (KPC) yang dipandegani Sophie Beatrix, ibu rumah tangga yang juga aktif menulis. Wis pokoke tak terbilang betapa bangganya saya bisa satu ruang, satu kelas, dan satu visi dengan Ria.

Oya, kami bertugas membimbing 31 siswa di kelas D, ruang Garuda Hotel Utami Sidoarjo. Mereka datang dari beberapa daerah di Jatim. Di antaranya, Trenggalek, Banyuwangi, Mojokerto, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Pamekasan, Sumenep, Bangkalan, Malang, Blitar, dan Kediri. Dari situ akan diambil 14 karya terbaik untuk dibukukan bersama karya-karya terbaik siswa lainnya. Yang istimewa, buku tersebut bakal diluncurkan pas Hardiknas, 2 Mei 2012 oleh Gubernur Jatim Soekarwo.

Tidak hanya itu, ada tiga buku lainnya dari karya para guru dan mahasiswa. Jadi total ada empat buku dari hasil pelatihan penulisan karya tulis ilmiah populer yang dibingkai dalam program Jatim Menulis itu.
Kami tentu saja tidak banyak ber-cas cis cus dan berteori kepada peserta yang terdiri atas siswa SMP dan SMA sederajat tersebut. Mbak Ria sedikit memberikan motivasi untuk membakar spirit peserta yang masih sangat belia itu. Dia betul-betul bisa ngemong mereka. Maklum saja, Mbak Ria adalah guru Sekolah Al Amal, suatu lembaga yang memberikan pendidikan gratis tis untuk anak-anak miskin dan yatim piatu di kawasan Kenjeran, Surabaya.

Pengalamannya benar-benar menunjang pelatihan maraton mulai pagi (08.00) hingga malam, sekitar pukul 22.00 tersebut. Mbak Ria terus-menerus memberikan semangat. Wajar. Sebab, dengan pelatihan yang begitu panjaaang itu, peserta rawan bosan, penat, bosan lagi, dan penat lagi.

Ketika peserta diminta memetakan masalah untuk mengambil tema, saya tercetus untuk berbuat ”iseng”. Saya ”ngerjai” seorang siswa peserta. Namanya Mufchlis. Ia siswa kelas 1 SMPN 2 Kamal, Bangkalan, Madura. Baru kelas 1 SMP!

Posturnya mungil, berkacamata, dan tampak paling kecil di antara siswa lain, bahkan peserta perempuan. Saat memperkenalkan dirinya di tempat duduknya, suara Mufchlis bergetar. Terbata-bata, grogi.

Tanpa pikir panjang, saya langsung panggil ia maju ke depan. Ini terjadi saat sesi mengindentifikasi dan memilih masalah sebagai tema dalam karya tulis ilmiah populer. Tentu saja wajahnya kian pucat pasi. Ia tampak betul-betul bingung.

Ia mengaku blank. Tak tahu harus mengambil tema apa.

”Muf, kamu punya hobi apa?” tanya saya.

”Sepak bola.”

”Suka nonton sepak bola Indonesia?”

’”Enggak.”

”Kenapa nggak suka?” tanya saya lagi.

”Nggak punya prestasi”

”Kenapa nggak punya prestasi?” saya terus mencecarnya.

”Karena PSSI–nya kacau”

”Kenapa kacau?” saya menggoda lagi.

”Karena pemimpinnya juga kacau”

”Kalau gitu, seharusnya bagaimana sih?”.....

Begitulah saya berondong dan goda Mufchlis dengan pertanyaan-pertanyaan seputar sepak bola Indonesia.

Suasana gerrr pun mewarnai kelas kami. Namun, secara tidak langsung, dengan menjawab pertanyaan saya tadi, Mufchlis mampu mengidentifikasi rincian masalah. Lantas ia mengategorisasikan gagasan-gagasannya. Akhirnya dia punya tema: Persepakbolaan nasional. Dia menyorot konflik PSSI yang berimbas pada prestasi tim nasional sepak bola Indonesia.

Karena tema besarnya adalah kebangsaan, maka Mufchlis terusik untuk membuat tulisan tentang menumbuhkan prestasi sepak nasional yang membanggakan dan dapat mengharumkan nama bangsa.
Siswa lainnya pun terpacu untuk merinci masalah, mengindentifikasikannya, lalu mengategorikan untuk memetakan gagasan. Selanjutnya, secara bersama-sama kami membuat kerangka karangan sebagai panduan untuk menyusun kata-kata yang pas, cocok, dan baik ke dalam bentuk tulisan. Kami terus mendampingi mereka. Mulai membuat judul yang baik, menyusun kalimat yang tepat dan tidak mbulet, serta menggali informasi/data untuk menunjang karya tulis mereka.

Waktu terus berlalu, sampai beranjak petang. Tulisan anak-anak rata-rata sudah rampung. Sempat saya bahas bersama Mbak Ria bersama-sama. Mungkin saat ini mereka masih mendiskusikannya kembali. Seorang pengarang dan tutor hebat bertemu dengan anak-anak yang antusias.

Petangnya saya sudah beranjak kembali ke kantor. Meninggalkan gelanggang Jatim Menulis. Meninggalkan Mufchlis yang mungkin masih asyik menulis. Tentu mereka tak harus jadi penulis kelak. Tapi, paling tidak, seperti dibilang Pak Budi Darma sehari sebelumnya saat pembekalan program Jatim Menulis, menulis itu salah satunya bisa mengatasi permasalahan hidup. Semoga mereka mampu menikmati pesta menulis ini!

Graha Pena, 25 Maret 2012
EKO PRASETYO

Pengalaman Melatih Menulis di Indonesia Menulis

Salam,

Pengalaman melatih kali ini agak berbeda dari biasanya. Bayangkan, saya disandingkan seorang profesor!

Saya terkesan ketelatenan Prof Sarmini dan pengetahuannya yang mendalam tentang logika pikiran, runtutnya tulisan, alur, mekanisme, dan lain-lain yang memang berbau ilmiah. Benar-benar pasangan pas denganku yang berbau media massa (populer). Kami saling melengkapi. Sambil sayup-sayup agak terganggu gelegar suara Pak Hariyanto yang tetap powerful di usia pensiun-nya. Maklum, kami satu ruangan, jadi, suara saling meng-interference. Saya dan Prof Sarmini (yang masih muda), mengagumi semangat Pak Hariyanto. Hebat benar beliaunya. Lebih sering bicara secara klasikal dan berapi-api.
Sementara di kelas saya dan Bu Sarmini, setelah saya beri tips umum sekitar 15 menit lalu tanya jawab, kelas langsung sunyi senyap karena mereka harus menulis. Sesuai panduan Pak Yatno: temukan masalah, lalu submasalah, subgagasan, sumber-sumber, judul, elaborasi, konklusi.

Hingga tengah hari (Ishoma), peserta sampai pada bagian submasalah, yang akan menjadi paragraf-paragraf dalam karya; ada juga yang sampai ke subgagasan, yang akan menjadi kalimat-kalimat dalam artikel.

"Semakin banyak subgagasan Anda, semakin panjang artikel Anda nantinya. Kalau subgagasannya sedikit, miskin pula tulisan Anda nanti," kataku.

Usai Ishoma, hingga pukul 14.00, peserta mulai aktif menuliskan subgagasan-subgagasan. Tentu, ada yang lancar, ada pula yang masih kosong, atau hanya menemukan 1-2 subgagasan. Pukul 14.00 kami dorong peserta untuk mulai menuliskan artikelnya berdasarkan subgagasan yang sudah ditemukan itu, sambil mereka-reka judulnya. Peserta kami persilakan menuliskan judul artikel di papan tulis, lalu kami komentari. Sementara itu peserta kami bagi dua, masing-masing kelompok dapat berkonsultasi personal kepada Bu Sarmini dan saya.

Maka, pukul 15.00-17.30 bergantianlah mahasiswa membawa lembar-lembar draft karya atau laptopnya dan berkonsultasi dengan kami di dua meja yang berbeda.

Kelas kami mungkin lebih sepi dibanding kelas Pak Hariyanto dan Mas Hartoko, karena kami mengutamakan bimbingan intens secara personal. Pada akhir hari pertama, PR bagi peserta adalah menuliskan yang telah dikonsultasikan itu dan besok pagi harus sudah jadi karya.

Hari kedua, Subhanallah ..... tidak ada yang belum jadi. Semua sudah jadi, bahkan siap mau print out (agaknya mereka lembur semalaman). Karena printer dan laptop tidak terkoneksi sistemnya, printing dibatalkan, maka naskah diperiksa lewat laptop. Menurut saya, karya mereka memang belum sempurna, tetapi lebih baik dari perkiraan (estimasi) awal saya. Saya terkesan ada yang sudah sangat cerdas dengan content, ada yang sudah bagus bahasanya, ada juga yang konten dan bahasanya masih payah tapi saya akan bantu dia untuk masuk karena alasan personal. Ini alasannya: mahasiswa ini dari timur (Timor/NTT) yang dengan bahasa amburadul dan bahan minim bersikeras menulis tentang kurangnya kebanggaan anak muda terhadap Indonesia. Menurutnya, Indonesia sangat patut dibanggakan. Intinya: anak ini bangga banget jadi warga Indonesia. Saya terharu, dan saya berniat akan membantunya ..... (buat saya luar biasa ada anak Timor bangga dengan Indonesia, mengingat sejarah Timtim yang ingin lepas dari Indonesia dan terpuruknya nasib mereka yang pro-Indonesia - terkatung-katung di NTT).

Demikianlah, pukul 11.00 kelas kami selesai. Saat bubaran, saya tanya kesan-kesan mereka. Secara serempak mereka bilang: "Puaaasss ...." "Menyenangkan Bu ....." "Pengalaman yang berkesan". Lalu mereka heboh minta foto bareng dan menyalami (bahkan cium tangan). Saat penutupan, Prof Warsono memberikan nasehat yang luar biasa. Yang paling saya ingat ini: "Kalian akan mengubah dunia. Tidak dengan demonstrasi, tetapi melalui tulisan." Wuih, applausenya seru banget. Pendeknya, kalimat-kalimat Prof Warsono amat bernas, menyemangati, disimak dengan seksama oleh anak-anak, dan disambut dengan gegap gempita.

Ada peserta yang mengusulkan membuat jaringan, langsung disambut meriah.
Saya tanya juga: "Ada yang menemukan calon istri atau suami?"
Ketawa semua. Satu dua bilang "Sudah Bu ..."
"Wah, baru dua hari saja sudah dapat, bagaimana kalau seminggu ya?"
"Ya Bu, kapan diadakan ketemuan lagi Bu ....."

Melihat wajah ceria para mahasiswa dari ujung barat ke ujung timur Jawa Timur, saya teringat jamanku mahasiswa. Ketemu sesama mahasiswa dari perguruan tinggi lain seperti ini amat menyenangkan. Mereka tak henti-hentinya berfoto, tukar nomor HP, FB, seperti enggan berpisah.

Alhamdulillah .....

Sirikit Syah
<sirikitsyah@yahoo.com>

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim Mendukung Penuh

Senin, 26 Maret 2012


Sekretaris Dikbud Jawa Timur Sutjipto mewakili Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Jatim menyambut gembira terlaksananya Jatim menulis yang dilaksanakan di Hotel Utama Surabaya, 24-26 Maret 2012. 

Prof Budi Darma Turut Berbagi Ilmu

Minggu, 25 Maret 2012


Guru Besar Unesa dan Sastrawan Prof Budi Darma turut berbagi ilmu kepada peserta pelatihan menulis di Hotel Utami Surabaya.

Jatim Siap Sebarkan Virus Menulis

Kamis, 22 Maret 2012

Targetkan 4 Buku di Hardiknas, Di-Launching Gubernur di Grahadi
        
Genderang budaya menulis di Indonesia segera menggelinding dari Jawa Timur (Jatim Menulis). Dimulai dari Surabaya, “virus” menulis akan menyebar ke berbagai daerah dalam bentuk workshop dan pendampingan menulis dengan peserta  para guru, siswa SLTA, dan mahasiswa.

Untuk merealisasikan penyebaran budaya  menulis itu, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Jatim menggandeng Universitas Negeri Surabaya (Unesa).  Pembukaannya dilakukan di hotel Utami, Juanda, Sabtu (24/3/2012) dan dihelat hingga Senin (26/3/2012). Teknis pelaksanaannya dibagi di dua lokasi, yakni di hotel Utami dan kampus Unesa.

“Untuk sesi pembukaan dan motivasi, seluruh peserta kami himpun di hotel Utami. Baru besoknya (Minggu, Red) kami bagi dalam sembilan kelas. Untuk kelompok guru dan siswa kami tempatkan di hotel Utami dan untuk kelompok mahasiswa kami pusatkan di Unesa kampus Ketintang,” kata Ketua Panitia Pelaksana Program Jatim Menulis dalam bingkai Indonesia Menulis, Much. Khoiri, di Surabaya, Jumat (23/3/2012), seraya menambahkan, pada pembukaan Sabtu, Kadisdikbud Jatim Harun dan Rektor Unesa Muchlas Samani dijadwalkan hadir.     

Menurut Khoiri, program yang disiapkan untuk memberikan keterampilan menulis kepada para guru, mahasiswa, dan siswa SLTA ini akan diikuti 275 peserta yang terbagi dalam sembilan kelas. Mereka akan mengikuti workshop dan pendampingan selama sekitar 36 jam, dipandu para fasilitator dari Unesa dan sejumlah profesional yang andal dan berpengalaman di dunia tulis-menulis.

Tentang pesertanya, lanjut dosen Unesa ini,  mereka adalah perwakilan guru dan siswa SLTA dari 38 kabupaten/kota dan mahasiswa dari perguruan tinggi di Jatim. Setelah menjalani workshop, peserta akan mengikuti pendampingan hingga seluruh peserta mampu menghasilkan karya tulis ilmiah popular yang siap dibukukan.

Yang menarik, workshop ini dirancang dengan metode yang sangat efektif dengan target luar biasa, yakni masing-masing kelompok mampu membuat naskah artikel yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku yang menandai di- launching-nya program Jatim Menulis di Grahadi oleh Gubernur Jatim, Soekarwo, pada hari pendidikan nasional (Hardiknas), 2 Mei 2012. Dalam launching ini juga akan diserahkan penghargaan kepada penulis terbaik dari masing-masing kelompok, yakni kelompok guru, mahasiswa, dan siswa SLTA.

“Dari peserta pelatihan dan pendampingan ini, nantinya akan terbit tiga buku. Satu buku lagi, akan lahir dari para guru yang kami bimbing lewat media online.  Dengan demikian, saat di-launching nanti, akan terbit empat buku sekaligus,” tandas Khoiri.

Ditambahkan, untuk menyukseskan program Jatim Menulis dalam bingkai Indonesia Menulis, panitia melibatkan 18 fasilitator andal dan berpengalaman di dunia kepenulisan. Mereka terdiri atas dari para akademisi, jurnalis, praktisi komunikasi yang memang tidak asing dalam pelatihan menulis. (sha)

Puisi-puisi SUHARTOKO

Rabu, 21 Maret 2012

SUHARTOKO
Nageri Para Tuan

Lengkap sudah kelam negeriku
Ketika para tuan semakin berbusung dada
Ketika para tuan semakin lupa tanah jelata
Ketika para tuan saling berebut kasta
dan apa saja yang bikin mereka tertawa
Tak peduli harus terbayar dengan anyir darah menyengat

Lihatlah,
Atas nama rakyat
Para tuan ingin naikkan harga sekaligus naik tahta
Berburulah mereka pundi-pundi fasilitas
Dengan segala cara
Tak peduli si papa makan apa

Tarian para badut di Senayan
Dan rancak dansa di gedung-gedung dewan ... di mana-mana
Makin membuat para tuan kegirangan
Karena perjuangan tak perlu harus keluar keringat
Meski tak jarang pura-pura bersitegang urat
dan berakhir dengan tertawa bersama

Oh, para tuan ....
Boleh saja tamak meraja
Hingga bikin buncit tengah badan
Boleh saja bergelimang tahta
Hingga merasa jadi dewa
Tapi yang para tuan tak bisa mengelak
Bakal tergelar timbangan
atas apa yang tuan perjuangkan
Di panggung peradilan tak berkesudahan


Gresik, 1 Februari 2011

  
Reshuffle
Dari ujung mata pena
terlihat kegusaran menggumpal
Dari sudut layar kaca
terekam laku lampah blingsatan
Kian samar mana koalisi, mana oposisi
Terselip jatah porsi, menjadi menteri

Semua sibuk berias diri
Saling sandera mengunci hati
Saling tawar menjual diri
Sampai juga lupa diri
Sementara ndoro menteri jeli menyeleksi
Demi amankan diri dan istri, anak cucu hingga cicit

Jauh dari ujung kekuasaan
Menunggu resah anak-anak bangsa
telanjang tak lagi mampu menutup dada
lemas menanti kiriman nasi
terjulur asa akan berubah nasib
di tengah ladang para perakus negeri

 
Sidoarjo, 14 Oktober 2011  


Sumpah Pemuda

Hari ini,
Seperti kau tanam berpuluh-puluh tahun
Benih sumpah itu masih saja menggaung
Terpatri mati, terkunci dalam hati mengabadi

Seperti kau mau dalam sumpahmu:
Satu utuhnya negeriku
Satu utuhnya bangsaku
Terbalut mesra dalam bahasa yang satu

Hari ini,
Setelah berpuluh-puluh tahun
Benih sumpahmu tak lagi bertumbuh seperti kau mau
Anak-anak muda tak lagi bangga dengan negerinya
Anak-anak muda tak lagi tahu di mana harus berpijak
Terbius fakta yang tak lagi menginjak tanah
Seperti keranjingan setan

Tak peduli dia polisi hingga para pengadil 
Tak peduli dia bupati hingga para menteri  
Terseret arus badai, asyik bercerai dalam partai-partai
Beramai-ramai berkerumun dalam kenduri korupsi
Tak pernah grogi karena merasa terlindungi

Hari ini,
Aku dengar menggema sumpah serapa
Bukan lagi sumpah agungmu yang mendunia
Dari semua yang jelata dan melata
Di bumiku, di bumimu yang diporakporandakan
 
Gresik, 28 Oktober 2011

 
Senayan 1998-2011

Berdiri Tegak di gedung Senayan                                            
Menjebol pagar karang
Menerobos ruang-ruang dewan
Bersatu tekad robohkan tirani kekuasaan
Meski harus tertanam tumbal demi perubahan

Berdiri tegak di gedung Senayan
Kokohmu tak lagi bersimbol perjuangan
Tapi berhimpun para pemabok dan perompak
menghisap sari negeri hingga jadi ampas


Sidoarjo, 31 Oktober 2011


Parodi Teror (is) - 1

Tak terbilang nyawa melayang
Tak terbilang anyir darah mengalir
Tak terbilang luka menganga
Tak terbilang resah membelit

Panggilan jihad dengan upah sorga
Adalah jiwa syuhada yang tiada lelah berjuang
Dan raga pun tiada berguna
Meski di sudut mana sorga berada

Jiwa-jiwa yang kalap
Terus berburu darah dan nyawa
Menebar benih teror di mana-mana
Berkejaran tanpa tapal batas

Ledakan berbalas muntahan senjata
Terus tersemai kebencian dan dendam
Tanpa sadar bahwa mereka hanyalah wayang
Sementara sang sutradara tertawa kegirangan
  

Surabaya, 2010/2011                


Parodi Teror (is) - 2

Dalam dekap para bunda
Banyak bocah tak lagi berayah
Menggigil bercucur air mata
Juga darah lekat di telapak tangan
Dengan lidah terbata namun tegar
Bunda bilang: Nak … Abi tak lagi bernyawa!

Pagi buta selepas fajar
Ketika hamba khusuk dalam sujud berjamaah
Ketika pekat menyengat tiada bulan juga bintang
Ketika burung liar bersiap lepas dari sarang

Bocah tak lagi bersama sang imam
Zikir Subuh pun senyap lagi ampang
Tergantikan ganasnya timah tajam
Menerobos tinggalkan banyak lubang di dada
Darah pun mengalir, tercecer di mana-mana
Tepat di mata bulat sang bocah

Dipungutnya darah setapak demi setapak
juga selongsong peluru sisa penembus raga, pencabut nyawa
Dengan sisa tenaga, bocah memelas
: Apa salah Abiku, Tuan?
: Abi hanya seorang pengelana, tak pernah bikin onar
: Mengapa kau tembaki hingga terenggut ajal?

Dengan senapan masih berasap
Dengan tatapan singa menerkam
Tuan menggertak mengunci pendengaran
: Abimu teroris jahanam!

Di lapang tanah merah
berhias kamboja dan batu hitam
Melepas imam dalam tidur panjang
Sang bocah mengepal geram
Meninju menembus dinding langit, minta keadilan
: Siapa teroris sejatinya?
Abiku sang imam atau kalian penguasa durjana?


Surabaya, 2010/2011  
   

Tuhan

Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa jumpai di pinggir-pinggir jalan
Tidak harus di hotel atau lokalisasi
Tidak juga vila di gunung-gunung
Baik terang-terangan maupun terselubung
Transaksi cinta terbingkai rapi
Tanpa risih tanpa berisik
Tanpa memancing iri hati

Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa jumpai di mal atau plaza-plaza
Di tempat-tempat dugem
Juga cangkrukan tengah malam
Syahwat belanja pasti terbayar
Berapa pun harga terpasang nyaris tak tertawar

Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa lihat anak-anak muda
Banggakan idola ketimbang panutan
Tiada lagi sungkan meski telanjang
di warung kopi, di panggung hiburan
di pasar-pasar, di mana saja

Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa lihat di gedung-gedung instansi
Baik eksekutif, legislatif, juga yudikatif
Para petinggi beradu nyali
Merakit roda korupsi, merampok negeri

Tuhan yang rahman
Di mana Kau simpan pandu firman-Mu?


Sidoarjo, September 2011





Puisi-puisi MUCH. KHOIRI

MUCH. KHOIRI
Durga Gugat

Sudah terpahat di setiap jidat dan dada manusia
dan setiap garis tangan mereka sejak kanak-kanak:
aku adalah pemegang berlaksa-laksa angkara
dan perampok jiwa dari hijau dedaunan dan sejuk embun .

Mengapa kaubiarkan kupahatkan angkara di setiap jidat dan dada manusia 
dan setiap garis tangan mereka sejak kanak-kanak?
Mengapa tidak kaucegah kupegang dan kukobarkan berlaksa angkara
dan menjadi perampok jiwa dari hijau dedaunan dan sejuk embun?

Aku adalah korbanmu
Apakah engkau masih berdalih itu garis suratan yang mustahil kauubah
padahal kau bukan kerbau yang dicocok hidungnya?
Engkau adalah mahadewa
namun mengapa kau sebegitu tak berdaya
atas buku garis suratan yang telah kalian ciptakan dengan semangat? 

Tidakkah kau juga adalah pengobar bara yang menyala-nyala
dengan membiarkanku menyulut bara yang menyala-nyala,
padahal engkau adalah mahadewa, yang mestinya sangat berdaya?

Kini jawablah, apakah kau sedang bermain-main kuasa
dengan membeber permainan kata atas perempuan:
aku, hawamu, yang kini sedang gugat di depan lututmu
adakah engkau masih punya nurani dan jiwa itu?

Mercure Hotel, Ancol
Jakarta, 8 Juni 2011


Serakah

Kini nyalimu telah membuang malu
dengan aneka-macam cara dan laku:
Gurita-raksasa tanganmu, buldozer kakimu,
traktor bahumu, truk trailer punggungmu;
kau berangkat membabat dan bebas mengeruk
kota beserta gedung, kekayuan di hutan hijau
laut serta tiram, bebatuan lembah-&-puncak gunung
semua habis kauangkut ke gudang rumahmu!

Lalu, kautampar mukamu sendiri tanpa ragu,
tidak kesakitan, ya berkat pipi tembemmu;
kau malah terbahak, selipkan tangan di saku
dan duduk mengongkang kaki setinggi bahu
sambil asyik menghitung-hitung rugi-&-untung.

Lalu, lahap kauisi perutmu dengan bukan punyamu
dan kausempurnakan nafsumu dengan candu
hingga pintu-pintu nurani tersumpal batu-batu
Ah, dasar kamu!
Ya, dasar serakah kamu!


Surabaya, Desember 1997


Lewat Puisimu

Lewat puisimu, mitra, lewat puisimu
sayup-sayup kudengar getar kalbumu
senandungkan etitaf dan elegi tulis
di antara serpihan sisa asamu itu.

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
halus kurasakan pijar-pijar nuranimu
yang menggugah jiwa-jiwa terpaksa lelap
di luar hijau taman yang gencar diplazakan
dan dijaga sekian manusia yang diternakkan.

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
haru aku saksikan kelugasan bibirmu
fasih mengeja prasasti kelabu
: Aku rindu luluh jadi abu
  atau beku dalam gumpal salju
  asalkan kebebasan jiwa milikku!

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
di sini bersamamu aku, ya setia bersamamu
menyaksikan awan hitamkan langitku-langitmu
yang kini cucurkan darah air mata dan peluh
ke atas pengkuan Ibu Pertiwi yang tersedu-sedu.

Surabaya, 15 Mei 1998



Bagaimana Kami Harus Percaya Padamu?

“Percayalah, kami akan murni dan konsekwen selalu
agar kian jadi bersih dan berwibawa.” Itu katamu dulu.
Maka kami setuju mengukirnya di kalbu—ya di kalbu;
lalu kami kado kamu simbol tongkat, traju, dan palu.

Tapi bagaimana kepadamu kami harus percaya
bila sumpah-janji yang telah kamu sendiri pahatkan
di prasasti putih itu, kini sengaja kamu hancurkan
tepat di depan pelupuk mata kami yang masih awas
hingga puing-puingnya tak pernah kami temukan?

“Akan berdiri kami sebagai penyambung lidahmu itu
agar gema nuranimu nyaring terdengar.” Itu katamu dulu.
Maka kami kagum, kami pun mendorong gerbongmu;
lalu, kami kado kamu sepatu, dasi batik dan bulpen biru.

Tapi bagaimana kami harus percaya kepadamu
bila kamu bukan penyambung lidah dan jerit kalbu,
melainkan ular piton yang menjulurkan lidah cabangmu,
lalu membelit dan meremukkan tulang-belulang anak cucu
hingga luka itu menggetarkan setiap inci bagian tubuh?

Ingatlah, sudah lama kepadamu aku peringati:
Anak cucu kita akan terbang bagaikan sang rajawali
sambil menenteng pita “Bhinneka Tunggal Ika” yang suci
dari atas Gedung Istana hingga tepi sungai, pun hutan jati.
Tapi, dasar kamu!
Kamu anggap kami cuma desau angin
sambil jijik kamu ludahkan liur-basinmu ke kanan ke kiri
dan kamu sumpal lubang kupingmu
dengan segebok kain kafan nurani atau sinis
kamu rapatkan gerbang akal budi
lalu kamu biarkan kami meratap kesepian bagai batu kali.

Kini bagaimana kami harus percaya kepadamu
saat kamu menghiba kami yang pernah kamu katakan tabu
agar mematikan obor nurani mereka yang kian menyilaukanmu;
sedang mereka telah merangkul kami sepakat jadi api dan bara biru
untuk mengucurkan air pencerahan bagi nafsumu yang membatu itu
atau menjemput kebebasan-keabadian yang lama kamu renggut?
Tolong katakan lewat ilalang, jangan bimbang jangan malu
selagi kamu mampu, selagi maaf kami masih berpintu;
Katakan bagaimana kami harus percaya kepadamu?
Ya, katakan bagaimana kami harus percaya padamu?


Surabaya, 16 Mei 1998


Bourbon Street Tengah Malam

Saksikanlah Bourbon Street dengan mata:
Rumah keramaian, pengemis, seniman jalanan—
Cepat atawa lambat—tawar menawar demi uang
Atau berjudi demi sekeping gengsi cuma.
Dan bidadara-bidadari bersayap yang di Surga
Tiada sedikit pun tega meski sekedar menyimak
Jerit rintih Bourbon Street: Rumah khamer & bir
Penari-penari striptease dan supermarket seks
Bersenandung dengan senyum dalam air mata
Dan bebas berteriak dalam kemas kesamaran
--Semua menyalak hingga pagi sinis menjelang.

Saksikanlah Bourbon Street dengan nurani jiwa:
Jiwa-jiwa gontai berlalu-lalang, menggapai makna (?)
Madu kehidupan dengan segala nafsu di gelombang
Samodera ketiadamaknaan purna tanpa batas
Menjeritkan haru demi berjuta-juta kepahitan
Memahatkan kembali sebuah legenda Nasib.


New Orleans, Lousiana
USA, 10-11 Desember 1993





Misteri Tanggal 18

Minggu, 18 Maret 2012

Rukin Firda

Oleh RUKIN FIRDA
 
Inspektur Vijey turun dari mobil dinasnya dan langsung menuju kerumunan polisi berseragam yang membarikade garis polisi. Mengetahui siapa yang hadir, para polisi itu pun menyibak memberikan jalan untuk sang inspektur. Seorang polisi mengangkat pita kuning bertulis police line agak tinggi, agar Vijey bisa masuk ke dalam kantor yang menjadi TKP (tempat kejadian perkara) penemuan mayat pagi itu.

Seorang polisi dengan map berisi beberapa catatan mengikuti langkah Vijey yang bergerak cepat. Sambil berjalan, sang polisi menuturkan beberapa data yang sudah diperoleh saat olah TKP sebelum kedatangan inspektur Vijey. ''Tidak ada tanda-tanda kekerasan, Ndan,'' kata sang polisi.

Vijey hanya ber-dehem. Dia lantas mendekat ke arah mayat yang sudah ditutupi kain putih. Seorang polisi lain menyodorkan sarung tangan karet kepada Vijey. Dia memakainya, lantas membuka kain penutup tepat pada bagian wajah mayat. Seorang perempuan setengah baya. Matanya mendelik. Mulutnya seperti sedang mengatakan sesuatu.

Vijey menarik kain penutup tersebut lebih ke bawah. Tangan kanan mayat itu menyembul dengan kondisi menggenggam. Layaknya seorang demonstran yang mengepalkan tangan saat berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Vijey menutup kembali kain tersebut.

Dia lantas memandang berkeliling memeriksa TKP. Seperti mengerti isi pikiran sang komandan, seorang polisi mendekat. ''Saksi mata yang pertama kali mendapati mayat korban, mengatakan, tidak ada yang berubah pada benda-benda yang ada di sini. Semuanya persis pada tempatnya seperti biasa,'' kata sang polisi.

''Saksi mata adalah OB di kantor ini,'' tambah sang polisi untuk melengkapi laporannya kepada sang komandan.

''Sudah dipotret?,'' tanya Vijey.

''Siap. Sudah, Ndan.'' jawab sang polisi tanpa ragu.

Merasa tidak mendapatkan sesuatu dari TKP, Vijey pergi. Sebelumnya, dia berpesan kepada anak buahnya untuk menyerahkan semua barang bukti yang didapat di TKP siang ini.

''Saya tunggu di kantor,'' perintahnya.

''Siap, Ndan!,'' jawab sang anak buah.

Vijey langsung meluncur ke kantor. Tanpa sempat sarapan, dia langsung masuk ke ruang kerja. Duduk dengan kepala menunduk. Kedua tangannya yang bertelekan pada meja menyanggah jidatnya.
''Apa yang sedang terjadi?,'' tanyanya dalam hati.

Penemuan mayat pagi ini adalah yang ketiga dalam tiga bulan terakhir. Yang membuatnya tidak habis berakhir, kejadian itu berlangsung beruntun saat dia baru saja dipindahkan tugasnya ke resor ini empat bulan lalu. Dia ingat sekali. Dia dilantik sebagai Kasatserse di Polres ini 18 Desember. Dan tepat sebulan kemudian, 18 Januari ada penemuan mayat.

Seorang perempuan setengah baya juga. Ditemukan pagi hari di dalam ruang kantornya juga. Matanya juga mendelik. Mulutnya setengah terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Tangan kanannya mengepal layaknya demonstran yang berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Kasus itu menjadi PR pertamanya sebagai Kasatserse di Polres ini.

Vijey tertantang untuk mengungkapnya. Dia bekerja keras dan ingin membuktikan, bahwa dia memang layak menyandang jabatan tersebut dengan secepat mungkin mengungkap kasus yang membutuhkan ketelatenan dan kerja keras tersebut.

Namun, sampai sebulan sejak penemuan mayat itu, dia belum juga berhasil mengungkapnya. Buntu. Semua kemungkinan yang dilidiknya tidak mengarah pada sedikit celah pun untuk mengungkap kasus tersebut.

Sebaliknya, malah terjadi kasus penemuan mayat lagi. Seorang perempuan setengah baya juga. Dengan kondisi yang hampir mirip. Mulut terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu dan tangan kanan mengepal layaknya seorang demonstran yang berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Yang paling diingat Vijey dan itu menjadi tanda tanya besar baginya, penemuan mayat kedua itu terjadi tanggal 18 Februari.

Dua kasus dalam kurun waktu sebulan sejak pelantikan dirinya, tentu bukan sebuah catatan yang bagus baginya. Dua PR besar yang harus dihadapinya demi menunjukkan reputasinya. Vijey belum menyerah juga. Dia terus bekerja keras untuk mengungkap kedua kasus tersebut. Bahkan, ketika dia mendapat laporan penemuan mayat pagi ini, dia rebenarnya baru sejenak terlelap.

Semalam dia terus berpikir dan mencari berbagai informasi untuk mengungkap kedua kasus tersebut. Namun lagi-lagi buntu. Sampai dia terlelap di meja kerjanya di samping berkas-berkas yang berkaitan dengan dua kasus penemuan mayat tadi.

Dan kini, 18 Maret. Dia kembali menemukan kasus serupa. Otaknya langsung bereaksi. Feeling-nya mengatakan, bahwa ketiga penemuan mayat tersebut saling berkaitan. Dia berpikir kasus ini adalah sebuah pembunuhan berantai. Namun dia kesampingkan kemungkinan tersebut. Karena dari kedua kasus sebelumnya, dia tidak menemukan tanda-tanda, bahwa kedua mayat tersebut tewas dibunuh. Masih gelap. Belum juga ada bukti-bukti yang menjukkan bahwa kedua korban adalah pelaku bunuh diri. Semuanya masih menjadi misteri.

Tidak menemukan petunjuk apa pun. Dia memejamkan mata untuk waktu tidur yang tersita semalam dan pagi tadi. Rasanya belum lama dia terpejam ketika terdengar*ketukan halus pada pintu ruangannya. Sedikit kaget dia membuka mata.

''Masuk!,'' katanya menjawab ketukan tersebut.

Seorang anak buahnya masuk sembari menyerahkan beberapa berkas.
''Ini Ndan barang bukti dari TKP tadi,'' lapor sang anak buah.

Vijey menerima dan memeriksanya sebentar.
''Foto-foto korban?,'' tanyanya.

''Siap. Di tumpukan paling bawah, Ndan,'' jawab sang anak buah.

''Oke terima kasih.''

Vijey sedang mengamati foto-foto korban. Mata mendelik, mulut seperti mengucapkan sesuatu, dan tangan kanan mengepal. Mengikuti instingnya yang mengarah pada keterkaitan ketiga kasus penemuan mayat tersebut, Vijey langsung teringat pada dua korban sebelumnya. Persis. Mata mendelik, mulut terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu dan tangan kanan mengepal.

''Maaf, Ndan. Bisa saya lanjutkan pekerjaan saya?,'' tanya sang anak buah berpamitan.

''Okey. Tapi, tolong ambilkan foto-foto dua korban sebelumnya ya,'' kata Vijey.

Sang anak buah keluar ruangan sebentar dan masuk kembali dengan membawa dua berkas lain. Dia langsung menyerahkan pada sang komandan.

''Ini Ndan,'' seraya menyodorkan kedua berkas tersebut.
''Boleh saya pergi Ndan?'' tanyanya lagi.

''Silakan. Terima kasih,'' jawab Vijey.

Setelah sang anak buah keluar, Vijey menjejer foto ketiga korban. Dorongan untuk mencari keterkaitan ketiga kasus tersebut, membuat dia menatap tajam dan meneliti dengan cermat foto wajah-wajah korban di saat-saat terakhir ketika meregang nyawa. Dia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang hendak dikatakan ketiga korban dengan posisi mulut seperti itu. Apakah mereka hendak menyebutkan nama orang yang dekat pada dirinya saat mereka meregang nyawa?

Korban pertama dengan posisi mulut terbuka. Korban kedua sedikit terbuka. Namun ketika dia amati lebih jauh, ujung lidahnya berada di tengah rongga mulut dengan posisi melengkung ke atas sampai menyentuh langit-langit mulut. Mulut korban ketiga sedikit berbeda. Tidak sepenuhnya terbuka. Justru seperti hendak menutup dan menghembus nafas dengan kuat.

Tanpa sadar, Vijey menirukan posisi bibir ketiga korban. Bergantian mulai dari korban pertama, kedua, dan ketiga. Berulang-ulang dia melakukannya. Sampai tanpa sadar dia seperti mengucapkan huruf-huruf tertentu. Ketika menirukan posisi bibir korban pertama, Vijey merasa seperti hendak mengucapkan huruf K. Sedang pada korban kedua, dia seperti hendak melafalkan huruf L. Dan ketika menirkan posisi bibir korban ketiga, dia seperti hendak mengatakan huruf B.

Berulang-ulang dia melakukan itu. Dan setiap kali pula dia merasakan ketiga huruf itulah yang muncul dari bibirnya. Sebegitu jauh, dia belum menemukan benang merah antara ketiga mayat tersebut dan huruf-huruf yang didapatinya tadi.

Makin penasaran, Vijey membongkar berkas ketiga korban tersebut. Dia meneliti identitas dan data-data yang berkaitan dengan ketiga korban. Dia berharap menemukan beberapa kesamaan, setidaknya beberapa datang yang bersinggung. Sampai seharian dia mencoba mengait-ngaitkan data ketiga korban. Namun buntu. Tidak ada setitik pun kesamaan atau sekadar kaitan antara ketiga korban.

Vijey menyerah. Dia menutup ketiga berkas tersebut, lantas meletakkan ketiga map tadi secara berurutan di atas mejanya. Dia berniat salat Duhur dan makan siang. Vijey berharap setelah salat dia bisa mendapat inspirasi untuk mengungkap ketiga kasus tersebut,

Selesai merapikan ketiga berkas tersebut, Vijey bangkit dari kursinya. Dia sudah bersiap melangkah meninggalkan ruangannya. Namun, seperti ada yang menariknya, dia kembali menatap ketiga map yang berjajar tersebut. Dia amati tulisan yang tertera pada setiap map tersebut. Tulisan itulah adalah nama-nama ketiga korban. Satu per satu dia amati. Korban pertama bernama MonIKA. Korban kedua bernama ZulaIKA. Dan korban ketiga bernama IKA Soeryanti.

Ah. Tambah pusing Vijey. Dia pun melangkah menjauh dari meja kerjanya. Membuka pintu ruangan dan pergi ke musholla di Mapolres. Untuk sementara dia kesampingkan tugasnya. Dia ingin khusuk menghadap pada Sang Maha Kuasa. Untuk sementara, biarkan ketiga kasus penemuan mayat tersebut tetap menjadi misteri. Misteri tanggal 18. Misteri huruf-huruf KLB dan misteri nama-nama korban.


Di Tepi Tanggul Lumpur Lapindo$3C/i>
18 Maret 2012.