Arsip Tulisan

Buku-Buku Hasil Pelatihan Jatim Menulis Bisa Didownload Gratis...

Senin, 30 April 2012

Bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2012, empat buah buku karya siswa, guru, dan mahasiswa peserta pelatihan Indonesia Menulis secara resmi dilaunching di Grahadi Surabaya. Dalam acara yang dihelat di halaman Grahadi Jl Gubenrnur Suryo Surabaya tersebut, ditandai dengan penyerahan empat buah buku kepada Guberbur Jawa Timur Dr. Soekarwo oleh Indonesia Menulis. Keempat buku tersebut adalah "Suara Guru untuk Bangsa", Empati Guru untuk Bangsa", Suara Siswa untuk Bangsa," dan "Pemuda dalam Pusaran Nasionalisme Semu." Kesemua buku tersebut selain dicetak juga diterbitkan dalam versi E-Book yang bisa diunduh di sini.






JUDUL: Suara Guru untuk Bangsa
Buku ini merupakan kumpulan tulisan para guru di Jawa Timur yang mengikuti pelatihan menulis hasil kerja sama Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Timur dan Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Untuk membaca dan mengarsipnya, silakan DOWNLOAD di sini.


Editor: Much. Khoiri dan Arfan Fathoni
Copyright ©2012, Masing-masing penulis
Desain buku: Kreasindo Publishing
Diterbitkan pertama kali oleh CV. Malowopati Surabaya, 2012
Cetakan pertama: Mei 2012
xiv + 307 hlm, ; 20 cm.






JUDUL: Empati Guru untuk Bangsa
Buku ini merupakan hasil tulisan para guru di Jawa Timur yang mengikuti pelatihan menulis online dalam Indonesia Menulis. Untuk membaca dan mengarsipnya, silakan DOWNLOAD di sini.


Editor: Much. Khoiri dan Endah Emawati
Copyright ©2012, Masing-masing penulis
Desain buku: Kreasindo Publishing
Diterbitkan pertama kali oleh CV. Malowopati Surabaya, 2012
Cetakan pertama: Mei 2012
x + 243 hlm, ; 20 cm.



JUDUL: Suara Siswa untuk Bangsa
Karya siswa-siswa dari sekolah se-Jawa Timur. Usai mengikuti pelatihan menulis selama  3 hari, mereka mengekspresikan rasa kebangsaannya dalam bentuk tulisan di Indonesia Menulis. Untuk membaca dan mengarsipnya, silakan DOWNLOAD di sini.


Editor: Much. Suyatno dan Fafi Inayatillah
Copyright ©2012, Masing-masing penulis
Desain buku: Kreasindo Publishing
Diterbitkan pertama kali oleh CV. Malowopati Surabaya, 2012
Cetakan pertama: Mei 2012
x + 235 hlm, ; 20 cm.


JUDUL: Pemuda dalam Pusaran Nasionalisme Semu
Mahasiswa bersuara tentang nasionalismenya melalui tulisan-tulisannya yang terangkum dalam buku ini. Berasal dari universitas dan perguruan tinggi se-Jawa Timur para mahasiswa menuangkan gagasannya dalam Indonesia Menulis. Untuk membaca dan mengarsipnya, silakan DOWNLOAD di sini.


Editor: Suhartoko dan Martadi
Copyright ©2012, Masing-masing penulis
Desain buku: Kreasindo Publishing
Diterbitkan pertama kali oleh Unesa University Press (Unipress) Surabaya, 2012
Cetakan pertama: Mei 2012
xvi + 237 hlm, ; 20 cm..

Pelangi di Ibu Pertiwi

Minggu, 29 April 2012

Oleh Elia Pramana Putra*)
Dari Sabang sampai Merauke disadari memiliki keragaman yang bermacam-macam. Mulai dari makanan, adat istiadat, suku budaya, agama, ras, hingga kekayaan hayati yang tak bisa dibandingkan dengan negeri lain. Misalnya saja agama, banyak sekali keyakinan yang dianut oleh masyarakat. Saat ini, terdapat lima agama yang paling banyak dianut oleh warga Indonesia. Yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Tidak hanya itu, dalam dunia kuliner ada satu makanan khas Indonesia yang mendapat julukan sebagai makanan terlezat di dunia. Makanan itu adalah rendang daging. Kelezatannya diakui banyak orang. Itu membuktikan bahwa Indonesia telah dikaruniai suatu kekayaan yang tiada duanya.
Selain itu, Indonesia juga memiliki 748 macam bahasa dan 1.128 suku budaya (berdasarkan survei tahun ini), bukankah itu sangat mengagumkan? Perbedaan yang menyebar luas di tanah air ini sangat mengagumkan dan patut diacungi jempol. Di Surabaya saja terdapat suatu gereja yang berdiri tepat di samping masjid, mereka tidak saling mengolok, tidak saling protes, ataupun bertikai. Mereka hidup saling menyapa dan menjalankan ibadah dengan damai sejahtera. Hal itulah yang harus dipelihara mulai sekarang dan selamanya. Karena dengan menanamkan rasa kebersamaan, maka orang telah maju satu langkah ke depan menuju kedamaian yang sejati, yakni kedamaian yang akan mengubah negeri ini menjadi lebih baik dan lebih berjaya.
Pelangi di Ibu Pertiwi maksudnya adalah suatu gambaran tentang kebersamaan dalam perbedaan di Tanah Air. Pelangi yang beraneka macam warnanya menggambarkan keragaman di Indonesia. Coba bayangkan jika pelangi hanya berwarna merah, hal itu akan menjadi aneh dan tidak indah, atau mungkin rasa soto yang hanya asin saja, itu akan membosankan dan tidak akan menggugah selera konsumen. Jadi, terbuktilah sudah, tanpa perbedaan, Indonesia tidaklah mengagumkan, dan perbedaan tanpa kebersamaan, itu hanya akan membuat Ibu Pertiwi menangis. Akhir-akhir ini banyak konflik yang memuncak ke peperangan dan kerusuhan yang mengatasnamakan perbedaan. Contoh kasusnya adalah kerusuhan di Ambon 13 tahun yang lalu, perang Sampit 11 tahun yang lalu, atau mungkin konflik gunung Kelud yang baru-baru ini terjadi. Lihatlah, betapa terpuruknya negeri ini, sudah tak mampu lagi berjalan bersama menuju kedamaian yang sejati. Maka dari itu, kini saatnya untuk membangun kembali jiwa kebersamaan di benak masyarakat Indonesia, dan memunculkan kembali pelangi yang telah hilang di Ibu Pertiwi.
            Konflik pertama adalah kasus di suatu pulau di Indonesia yang bermula oleh karena perbedaan agama. Konflik ini memuncak pada kerusuhan yang melibatkan kaum A dengan kaum B untuk saling membunuh, oleh karena itulah kasus ini banyak menyita pandangan media massa dan elektronik. Sebenarnya kerusuhan ini bisa dicegah jika para penduduk tetap memegang teguh semboyan mereka. Maka dari itu, mari simak kasus berikut.

Kerusuhan Ambon
            Bapak Melkisedek Tiven, anggota Partai Hanura dari Maluku menjelaskan bahwa kerusuhan di Ambon, Maluku, sangat membuat bangsa terpuruk. Hal itu terjadi oleh karena hasutan dan isu yang mengatasnamakan perbedaan agama. Kejadian bermula di Kota Dobo, Pulau Aru, Maluku, 17 Desember 1999 (delapan hari sebelum Natal), dan terus menyebar hingga Ambon pada 9 Januari 2000. Kerusuhan ini tidak akan terjadi jika para provokator tidak dikirim dari Jakarta di Pulau Jawa. Para provokator ini telah diurus dan diatur guna memecahbelahkan Maluku. Entah apa yang ada di benak pikiran mereka hingga tega menghancurkan persatuan bangsanya sendiri. Akan tetapi, yang terpenting adalah pada mulanya para penduduk Ambon mengabaikan para provokator tersebut. Hal itu karena para penduduk Maluku merupakan keturunan asli suku Alifuru yang menjunjung tinggi Pelagandong yang artinya “kita bersaudara”, benar-benar rasa kebersamaan yang tak tanggung-tanggung, arti semboyan mereka pun sama derajatnya dengan Bhinneka Tunggal Ika. Itulah sebabnya mereka tidak dapat dipecahbelah. Namun, pada kenyataannya, para provokator tidak berhenti sampai di situ, mereka menyusun siasat lain, yaitu dengan menghasut mereka dengan isu agama.
Para penjajah dari Belanda dan negara Eropa lain paling banyak berada di Indonesia Timur. Penduduk yang tinggal di sana mayoritas beragama Nasrani. Dari kondisi tersebut, dikirimlah provokator dari kaum A untuk menghasut kaum B, dan juga dikirimkanlah provokator dari kaum B untuk menghasut kaum A di Maluku. Dan dari sinilah, semboyan Pelagandong menjadi hancur. Para penduduk yang fanatik dengan keyakinannya sendiri merasa tak terima dengan hasutan yang dilontarkan. Dari kejadian itu, dimulailah sudah kerusuhan Ambon, peperangan di mana-mana, antarumat A dengan umat B. Banyak yang mati terbunuh, tangan terpotong, mata tercongkel, hingga pemerkosaan. Semboyan yang awalnya dipegang teguh, kini telah mereka lupakan. Dan dari kerusuhan tersebut, muncul angka kerugian materi dan korban jiwa seperti berikut.
Korban Tewas                     : 1.132 jiwa           Rumah Hancur          : 765
Luka Parah      : 312 jiwa    Ruko Hancur      : 195
Luka Ringan   : 142 jiwa    Kendaraan hancur           : 75

Kejadian yang menimpa Maluku ini sangatlah disayangkan, jika saja kerusuhan itu tidak terjadi, pasti tidak akan ada jerit tangis dan kertakan gigi. Kerusuhan hanya membawa kerugian, serta tak ada keuntungan yang dapat diambil dari peperangan. Seandainya para penduduk Maluku tetap memegang teguh Pelagandong dan Bhinneka Tunggal Ika, pastinya hal ini tidak akan terjadi, maka dari itu, kini saatnya penduduk Maluku memegang kembali makna dari Pelagandong tersebut, Pelagandong yang berarti “kita bersaudara”, menunjukkan bahwa semua adalah saudara, dan kita sadar bahwa sepasang saudara tidak pantas berperang, inilah arti suatu perbedaan, yakni untuk mengisi kekurangan satu sama lain, bukannya bertarung untuk menunjukkan siapa yang terbaik.
Untuk menghindar dari suatu konflik yang dapat memuncak menuju peperangan, hal pertama yang harus dilakukan adalah untuk tidak mudah terpancing. Terpancing disini maksudnya adalah terjerumus masuk dalam emosional yang tidak perlu, seperti mudah marah saat ada yang menghinanya, atau mungkin suka main pukul saat ada yang menghasutnya. Hal tersebut tidak perlu dilakukan, itu hanyalah suatu kesia-siaan yang tak ada gunanya. Jadi, para penduduk diharapkan terus mengontrol emosi dan jiwa agar tidak mudah terpancing dalam hasutan-hasutan yang tak bermakna. Dan untuk mempertahankan kedamaian di Maluku, diharapkan para penduduk tetap memegang teguh Pelagandong yang telah diwariskan oleh suku Alifuru ini, serta tetap menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam perbedaan dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua, apapun agamanya, sukunya, rasnya, adatnya, atau bahasanya, mereka tetap satu… satu bangsa… satu negeri… satu tujuan… menuju perdamaian sejati di Indonesia.
            Pada konflik selanjutnya, terdapat suatu kasus yang melibatkan suku-suku di Indonesia. Mereka berkonflik karena salah satu pihak merasa dirugikan dan ditekan oleh pihak yang lainnya, dan dari kondisi tersebut, memuncaklah menjadi suatu peperangan tragis yang menelan ribuan korban jiwa. Semestinya peperangan ini tidak perlu terjadi jika kedua belah pihak bisa saling mengerti.

PERANG SAMPIT
            Sampit, merupakan suatu kota yang terletak di Kalimantan Tengah. Pada mulanya kehidupan di sana aman dan tenteram, namun semua itu berubah sejak terjadinya Perang Sampit.  Perang Sampit, merupakan perang antara suku Dayak dengan Suku Madura yang terjadi di Sampit pada 17 Februari 2001 dan memuncak pada 25 Februari 2001 dan meluas ke seluruh provinsi hingga ke ibu kota Palangkaraya. Perang ini menelan korban jiwa hingga 2000 jiwa. Suatu keadaan yang benar-benar mengerikan melihat keadaan kota dipenuhi mayat bergelimpangan.
Berdasarkan informasi dari beberapa narasumber, konflik ini bermula oleh karena tindakan Suku Madura yang terlalu semena-mena terhadap suku pribumi di Sampit. Sejak tahun 1972, Madura ingin menguasai perekonomian, sosial-budaya, dan kemasyarakatan daerah Kalimantan Tengah. Entah apa tujuan mereka, tetapi dapat dipastikan bahwa pada saat itu, para penduduk Sampit merasa ditekan. Dari konflik tersebut, terjadilah perang Sampit. Perang yang melibatkan suku Dayak dan suku Madura di kota Sampit. Banyak pria mati dengan kepala terputus dari tubuhnya, tak jarang pula terlihat seorang remaja laki-laki dikeroyok masal. Maka dari itu, perang Sampit adalah konflik yang paling banyak menelan korban jiwa di Indonesia ini.
Menyikapi keadaan tersebut, sebenarnya konflik tersebut tidak perlu terjadi. Karena, jika dilihat dari misi suku Madura yang ingin menguasai perekonomian, sosial-budaya, dan kemasyarakatan Kalimantan Tengah cukup menunjukkan bahwa para suku Madura di kota tersebut serakah dalam melakukan sesuatu. Jadi, perlu dibenarkan sekali lagi, para Suku Madura tak perlu menguasai, selama mereka bisa  ‘ikut aktif’ dalam perekonomian, sosial-budaya, dan kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, itu sudah lebih dari sekadar “menguasai” dan “mengambil alih”. Maka, penduduk harus membuang sifat serakah tersebut dari dalam benak mereka, sehingga kehidupan akan menjadi lebih tenteram dan saling berbagi.
            Kasus yang akan disimak selanjutnya, merupakan kasus yang baru saja terjadi akhir-akhir ini, yang sedang hangat diperbincangkan berbagai media. Konflik ini bermula oleh karena perbedaan pendapat antara kota pertama dengan kota kedua, mereka saling mengklaim dan mengakui atas kepemilikan suatu gunung di Jawa Timur.

Konflik Jatim
Konflik yang baru-baru ini terjadi di Jawa Timur, yakni Kabupaten Kediri yang memperebutkan gunung Kelud dengan Blitar, walau tidak memakan korban jiwa, namun konflik ini amat sangat memprihatinkan. Karena pada dasarnya, perebutan gunung tersebut amatlah tidak perlu, selama gunung itu milik Tanah Air dan bukan milik negeri lain, untuk apa diperebutkan? Jikalau ada yang mengklaim kepemilikan gunung Kelud oleh (misalnya) Malaysia, barulah sebagai putra-putri bangsa mempertahankan apa yang telah menjadi milik negara sedari awal. Sedangkan konflik ini, hanya terpaku kepada perbedaan pendapat, bukanlah sesuatu yang perlu diperebutkan oleh saudara sendiri. Apalagi, telah diinformasikan bahwa Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, telah menyatakan bahwa Gunung Kelud adalah milik kabupaten Kediri, yang kemudian naik ke meja hijau atas gugatan dari pemerintah Blitar. Dari konflik ini, timbul kenyataan bahwa memperebutkan apa yang telah jadi milik sendiri adalah suatu kesia-siaan besar, hanya menimbulkan kerugian materi, tak berguna, dan tak menghasilkan. Gunung Kelud sudah milik Indonesia, jadi bersyukurlah, tak peduli itu ada di daerah Kediri atau Blitar, selama ada di Indonesia, ya disyukuri saja. Jadi, dalam menyikapi konflik yang seperti ini, salah satu pihak harus ada yang mengalah, jangan terpaku pada keegoisan atas kepemilikan gunung tersebut, tetapi terpakulah pada tanah apa yang diduduki oleh gunung tersebut… yakni tanah Indonesia.
Simpulan
            Dari ketiga fakta dan kasus yang telah dipaparkan dan diperinci seperti di atas, maka didapati bahwa Indonesia memang benar-benar kaya akan keragaman. Namun, walau beragam, ternyata penduduk Tanah Air masih belum mampu menjaga keeksotisan akan kebersamaan dalam perbedaan. Nyatanya, masih saja banyak kerusuhan antarumat beragama, peperangan antar suku, bahkan konflik perbedaan pendapat atas kepemilikan sesuatu yang seharusnya tak perlu diperebutkan.
Dan dari ketiga fakta di atas, didapati empat sifat penduduk negeri yang dapat memecah bangsa Indonesia. Itu adalah kefanatikan dan mudah terpancingnya orang Indonesia. Seperti pada kerusuhan di Maluku, mereka fanatik pada keyakinan mereka dan mudah terpancing dalam hasutan-hasutan yang tak bermakna. Fanatik di sini artinya sangat membela apa yang ia anut, siapa pun yang tidak mengikuti keyakinannya bukanlah saudara melainkan musuh. Nah, sifat yang seperti inilah yang seharusnya dibuang jauh-jauh, bukankah ada istilah  keyakinanku adalah keyakinanku, keyakinanmu adalah keyakinanmu, jadi aku tidak ada hak untuk memusuhimu karena bukan satu keyakinan, dan kamu tidak ada hak untuk menghakimi apa yang aku yakini. Jadi, jangan fanatik dan jangan mudah terpancing.
Dilihat dari sifat selanjutnya, yakni serakah, sifat ini sangat merugikan bangsa, seperti yang dilihat di Perang Sampit, para suku Madura dengan serakahnya ingin menguasai perekonomian di Kalimantan Tengah. Juga egois, sifat ini merugikan banyak pihak, bisa dilihat pada konflik di Jawa Timur, konflik antara Kediri dan Blitar yang memperebutkan Gunung Kelud. Mereka terlalu egois untuk mendapatkan apa yang telah menjadi milik mereka. Bukankah itu sia-sia? Jadi, marilah bersama-sama bergandengan tangan satu sama lain, semua orang dari Sabang sampai Merauke, dari A sampai Z, dari yang miskin sampai yang kaya, dan dari yang rendah sampai yang tinggi. Mari memegang teguh Pelagandong, menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, hidup dalam suatu kedamaian sejati, suatu kedamaian yang terpaku pada kebersamaan dalam perbedaan, memunculkan kembali pelangi di Ibu Pertiwi. Indonesia, abadilah selamanya!

*Elia Pramana Putra adalah Siswa SMK Negeri 1 Dlangu Mojokerto

Habis Apatisme Terbitlah Nasionalisme


Oleh Janitra Icta Almer *)

Pernah mendengar ungkapan “Bagai burung dalam sangkar emas”? Pernah merasakan keadaan tersebut? Mungkin secara sadar belum. Akan tetapi, itulah yang mungkin  sedang dialami  tanah air tercinta. Perlahan tetapi pasti, Indonesia sang burung semakin erat terkunci dalam sarang emasnya yang berupa kekayaan alam yang melimpah.
Yang mencengangkan, bangsa ini dikunci oleh tulang punggungnya sendiri, generasi muda Indonesia. Mengapa begitu? Ya, calon penerus bangsa mengurung negaranya. Dengan apa mereka melakukannya? Apatisme. Tak sedikit generasi muda yang memelihara apatisme dalam pikirannya. Hasil dari pemeliharaan itu adalah kondisi terperangkap dalam sarang emas.
   Apatisme sering dijumpai di lingkungan masyarakat. Apatis adalah paham seseorang yang bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitar­nya, baik itu dalam hal sosial, budaya, ekonomi, atau pun politik. Apatisme tidak diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
   Di Indonesia, apatisme dapat dikatakan telah menjadi tradisi buruk yang mendarah daging dalam sebagian generasi bangsa. Tak dapat dimungkiri bahwa setiap ge­nerasi memiliki sikap apatis yang semakin besar. Semakin besarnya sikap apatis tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain sifat bawaan, terpengaruh orang lain, dan perasaan yang tidak mengharapkan sesuatu sehingga saat sesuatu itu ada, orang tersebut tidak mau mengakuinya dan menjadi tidak peduli terhadap sesuatu tersebut.
Dikaitkan dengan kondisi saat ini, ada satu faktor penting lagi yang begitu memengaruhi apatisme pada generasi penerus bangsa, yaitu globalisasi. Globalisasi memang membawa angin segar untuk berbagai sektor kehidupan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Akan tetapi, sudah bukan rahasia lagi bahwa satu hal kecil pun memiliki dua sisi yang berlainan, globalisasi pun begitu. Selain membawa dampak positif berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi berdampak buruk bagi kehidupan sosial manusia. Dulu, manusia harus saling bersemuka untuk bisa berkomunikasi satu sama lain, namun berkat sebuah proses bernama globalisasi ini, tidak perlu lagi ada semuka untuk bisa melakukan komunikasi, cukup dengan membuka internet, klik sana klik sini, seseorang sudah bisa berkomunikasi dengan orang yang jaraknya pun belum tentu diketahui.
Sedikit banyak globalisasi telah “membisukan” mulut manusia yang secara alamiah berfungsi untuk berbicara. Pada akhirnya kondisi tersebut akan menggiring manusia untuk tidak lagi menggunakan insting sosialnya. Itulah alasan mengapa globalisasi sangat berpengaruh terhadap sikap apatis yang melanda generasi muda di seluruh Indonesia.
   Keapatisan dalam diri generasi penerus semakin diperparah dengan tidak adanya contoh dari generasi pendahulu mereka untuk dijadikan teladan yang baik dan patut ditiru tindak-tanduknya. Bayangkan saja, apa yang kita harapkan dari pemuda Indonesia jika yang mereka santap setiap hari adalah kekanak-kanakan para negarawan yang mengklaim diri mereka adalah abdi masyarakat. Padahal, yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk nyata dari apatisme. Satu contoh paling hangat untuk diulas adalah ketidakpedulian para pejabat kepada kebutuhan masyarakat kalangan menengah ke bawah akan kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak. Bila dirunut dari awal, para pejabatlah yang mengemis pada masyarakat menengah ke bawah agar memberikan suara mereka secara cuma-cuma untuk memilih mereka pada pemilihan legislatif.
Bukankah ini sebuah fakta yang menyedihkan? Ketika negarawan asyik menikmati kemewahan yang berasal dari uang rakyat, rakyat justru harus meronta-ronta dijerat keadaan.  Pejabat yang seharusnya mengabdi untuk rak­yat justru bersikap apatis.
Inikah yang harus dijadikan contoh oleh pemuda-pemudi Indonesia? Tentu tidak. Apalah daya bila tidak ada lagi yang mereka lihat setiap hari selain drama tingkah laku pejabat yang kadang kala mengundang tawa, bahkan lebih sering mengundang rasa iba dan miris. Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi ini bila otak mereka sudah dipenuhi berbagai contoh apatisme dari oknum tidak bertanggung jawab itu? Pemuda yang terus menerus melihat apatisme tentu menganggap apatisme adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja bila dilakukan. Dari fakta itu, muncul sebuah pertanyaan, tidak adakah satu pun contoh untuk pemuda agar dapat membangkitkan kejayaan Indonesia, negeri yang dulu pernah membuat Amerika Serikat si Negeri Adikuasa tersebut bertekuk lutut memohon maaf. Memang tidak dapat dimungkiri, dalam kehidupan ini materi juga perlu dicari, namun tidakkah aneh bila nasionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi malah memudar dan tergeser posisinya oleh paham apatisme dan materialisme. Bahkan, banyak penduduk negeri ini, yang mengklaim diri mereka berjasa bagi bangsa dan negara, hanya mengharapkan timbal balik berupa harta atau pun tahta. Sungguh tidaklah pantas jika mereka berani mengklaim begitu, tetapi tidak sedikit  pun terlintas dalam benak mereka untuk menjadi seorang nasionalis dan patriotis sejati.
   Menjamurnya sikap apatis di kalangan pemuda tecermin dalam berbagai kegiatan remeh dan sepele. Sebagai contoh apatis tingkat rendah, di sekolah-sekolah banyak murid yang ketika melihat sampah berserakan di halaman sekolahnya, dengan alasan lelah karena pelajaran, enggan untuk memungutnya dan meletakkan sampah itu di tempat yang seharusnya. Masih ada kasus yang lebih buruk, misalnya sesama siswa saling memengaruhi agar membuang sampah sembarangan. Ini adalah bentuk sikap apatis rendah yang merugikan lingkungan.
   Selain contoh apatis tingkat rendah di atas, ada sebuah contoh apatis tingkat tinggi yang sudah umum terjadi di berbagai belahan Indonesia. Ya, golongan putih alias golput. Satu masalah yang “remeh”, memang. Namun, dengan tiap satu orang yang memilih golput, integritas bangsa Indonesia sudah mampu diruntuhkan. Apatis, lagi-lagi sikap apatis yang menyebabkan hal ini, golput tidak peduli akan masa depan pemerintahan Indonesia yang sebenarnya padahal mereka menggantungkan hidupnya pada pemerintahan itu. Golput berdemonstrasi di mana-mana menuntut hak mereka dipenuhi. Namun, begitu hak mereka ada di tangan, mereka menyia-nyiakannya dengan jalan golput tadi. Seandainya nanti yang terpilih oleh ma­yoritas pemilih adalah orang yang salah, pantaskah golput berdemonstrasi lagi?
   Budaya Indonesia pun seakan menunggu waktu dipancung oleh apatisme. Sekelumit bukti mengenai permasalahan tersebut bisa didapat dari fakta bahwa peminat dan penonton pertunjukan kesenian tradisional seperti wayang dan tari tidak sampai sepersepuluh dari animo masyarakat untuk menikmati konser-konser musik yang notabene adalah budaya dari asing. Gaya pakaian pun, khususnya di Pulau Jawa yang dulunya bernapaskan adat Kejawen, kini mulai bergeser ke adat Barat. Bukannya salah, tetapi alangkah baiknya bila penerimaan adat barat tersebut disaring terlebih dahulu melalui nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Memang dari hasil survei sebuah lembaga internasional disebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar sejagat, tetapi ternyata berkiblat pada budaya asing?
   Bagi yang saat ini menyandang status orang tua, pernahkah terpikir untuk bertanya kepada putra-putrinya, tahukah mereka tentang simbol negara Indonesia? Atau mungkin tidak berani menanyakan itu karena mereka sendiri tidak mengetahui jawabannya? Jika memang begitu, jangan malu untuk mengatakan “Ya, saya tidak mengetahui simbol negara Indonesia” karena saat ini simbol negara Indonesia jauh kalah pamor bila dibandingkan dengan lambang-lambang grup band, geng, ormas, atau pun LSM yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan Indonesia, terutama Slank yang benderanya hampir tidak pernah absen terlihat di setiap pertunjukan. Entah apakah Slank tampil di pertunjukan tersebut atau tidak. Fanatisme atau apatisme? Dalam hal ini kita melihat ke­dua hal tersebut berkolaborasi melunturkan kebanggaan sebagai pemuda Indonesia. Apatisme akan simbol negara menjadikan fanatisme terhadap idola membumbung terlalu tinggi.
   Sang Saka Merah Putih, Pancasila, UUD 1945, dan lagu Indonesia Raya adalah simbol Indonesia. Oh! Mungkin hanya kata itu yang diucapkan ketika akhirnya menguak misteri tentang simbol negara ini. Tidakkah ada rasa malu ketika menyadari sejak dulu banyak yang tidak mengetahui hal itu? Malulah pada diri sendiri dan pada pendiri bangsa ini. Lihatlah, simbol negara sebagai pemanis dekorasi rumah jika memang ada. Pergeseran fungsi yang sangat kontras bagi sebuah simbol yang seharusnya merupakan identitas dan harga diri bangsa kini tak lebih dari sekadar pajangan. Yang bisa ditarik dari fenomena di atas, sikap apatis mampu menumbuhkan rasa malu akan bangsa sendiri dan melenyapkan kebanggaan atasnya, sehingga generasi penerus sedikit demi sedikit, perlahan tetapi pasti melupakan identitas aslinya sebagai bangsa Indonesia.
   Bagaikan katak dalam tempurung, sebuah peribahasa yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia sebagai katak dan apatisme sebagai tempurungnya. Bangsa ini terperangkap dan tidak bisa keluar dari kurungan apatisme, terjajah di dalam kemerdekaan.
Ada blog yang memuat sebuah entri yang isinya menggetarkan hati. Entri tersebut berjudul “Tahukah Kamu Negara Terkaya di Dunia?“. Dalam entri tersebut dijelaskan bahwa Indonesialah negara yang dimaksud. Sumber daya alam melimpah ruah untuk dimanfaatkan dengan bijak. Sayang, pemerintah kurang dalam memanfaatkan otak dan tidak bijak sehingga potensi dan kekayaan alam Indonesia terus menerus dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing. Pemerintah tertipu mentah-mentah oleh kata-kata perusahaan asing yang menjanjikan keuntungan untuk Indonesia. Memang Indonesia mendapatkan keuntungan, tetapi tidak satu pun orang di dalam pemerintah menyadari bahwa keuntungan yang diterima tidak sampai satu persen dari keuntungan yang didapat perusahaan asing tersebut. Terjajah di dalam kemerdekaan itulah kalimat yang tepat untuk mewakilinya.
Selain dari segi ekonomi, secara sosial pun penduduk asli tempat sumber daya alam tersebut dibunuh perlahan dengan perbudakan tidak langsung yang dilakukan oleh perusahaan asing. Sebuah gunung di Papua yang penuh dengan logam mulia, telah rata dengan tanah setelah perusahaan asing menginvasi gunung tersebut. Negara yang seharusnya kaya pun menjadi miskin karena sikap apatis pemerintah terhadap fakta menyesakkan yang terjadi. Apakah pemerintah tidak melihat satu gunung telah raib dari peta Indonesia? Semua karena apatisme “membutakan” penglihatan dengan materi yang berlimpah.
   Apa yang harus ditunggu untuk menanggulangi apatisme ini? Tidak ada, sama sekali tidak ada. Jangankan menunggu, mengharapkan pemerintah untuk turun tangan langsung pun sudah menghabiskan waktu sebab pemerintah sendiri jugalah yang mencontohkan dan membudidayakan budaya apatis di negeri tercinta. Biarkan saja masalah keapatisan ini berlarut sehingga perjuangan pendiri bangsa selama sekitar tiga setengah abad akan sia-sia belaka. Para pahlawan akan menangisi keadaan bumi pertiwi yang telah susah payah mereka rebut dari tangan penjajah dan harus kembali terjajah oleh apatisme ge­nerasi muda Indonesia sendiri? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Jika berkaca pada permasalahan ini, bisakah berharap disebut bangsa besar? Kapan akan muncul seorang patriot muda penuh semangat nasionalisme untuk menyelamatkan Indonesia dari apatisme? Jika R. A. Kartini memiliki sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, akankah Indonesia mengalami hal yang bertolak belakang dari judul buku itu, habis nasionalisme terbitlah apatisme? Semoga tidak!
   Sering kalimat NKRI harga mati terdengar dan terlihat, tetapi apakah itu benar-benar meresap dalam jiwa setiap pemuda Indonesia? Persatuan menjadi peraduan dan kesatuan menjadi kekakuan. Kontaminasi apatis yang menyerang generasi muda Indonesia jelas mengancam integrasi Indonesia. Pancasila yang sudah tidak dipedulikan membuat Indonesia kehilangan penyatu semua perbedaan. Bendera Merah Putih yang harusnya berkibar gagah di tiang tertinggi kini tersaingi oleh bendera putih para apatis bernama golput. Indonesia Raya nyaris tidak lagi terdengar gaungnya. Semua pemersatu telah ditaklukkan oleh apatisme. Apa lagi yang bisa diharapkan untuk mengamankan integritas Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa yang tumbuh dari keapatisan para generasi muda?
   Peng-indonesia-an kembali adalah satu cara jitu yang diharapkan bisa menumpas apatisme dan kembali menumbuhkan rasa nasionalisme di lubuk hati pemuda-pemudi Indonesia. Layaknya penghijauan kembali hutan gundul, peng-indonesia-an kembali juga butuh waktu dan proses. Pendidikan karakter adalah salah satu jalan yang paling mungkin ditempuh untuk melancarkan peng-indonesia-an kembali ini. Pendidikan sebagai sarana sosialisasi terbaik selain keluarga, sangat mungkin juga mampu menjadi sarana penumbuhan nasionalisme. Tujuan umum sebuah sekolah memang menciptakan lulusan yang hebat di iptek dan kuat di imtaq, tetapi pasti lebih baik bila nasionalisme juga dijadikan tujuan sekolah dengan tingkat prioritas yang sama dengan dua tujuan pokok di atas.
            Mungkin hanya sebatas ini persoalan apatisme pemuda Indonesia dikupas melalui sudut pandang pemuda yang entah sudut pandang ini terlalu tajam hingga me­ngusik ketenangan hati atau mungkin terlalu tumpul untuk menembus hati nurani para pembaca. Permasalahan apatisme ini tidak akan bisa teratasi selama sosok contoh yang benar-benar bisa membangkitkan nasionalisme tidak ada karena generasi muda sekarang cenderung meniru apa yang dilihat, bukan lagi meniru apa yang dide­ngar. Jadi selama masih ada waktu, tidak ada salahnya jika generasi muda memulai peng-indonesia-an kembali dari diri sendiri sebab tidak akan terjadi apa-apa jika me­nunggu memulai dari orang lain sebelum memulai dari diri sendiri. Semoga tulisan ini mampu menggugah sedikit nasionalisme pembaca. Pada akhirnya, semoga sejarah baru pemuda Indonesia segera mencatat “Habis Apatisme, Terbitlah Nasionalisme” dengan tinta emas.

*Janitra Icta Almer adalah Siswa SMAN 4 Malang

Membangkitkan Kembali Nasionalisme

Sabtu, 28 April 2012

Oleh IWAN ROFIQ, S. PD. *)

             Fakta yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa semangat nasionalisme mulai luntur. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal yakni pada saat peringatan hari besar nasional, pernahkah menjumpai rumah warga di lingkungan yang tidak mengibarkan bendera merah putih? Dulu sebulan sekali saat hari minggu selalu bersama bergotong-royong sekadar membersihkan selokan atau lingkungan. Sekarang, beberapa bulan sekali atau bahkan beberapa tahun sekali baru sempat berkumpul melakukan gotong-royong. Hal yang lain adalah ketika pelaksanaan upacara bendera di sekolah, siswa-siswa sulit diajak tertib dan khidmat. Keprihatinan ini muncul diselimuti oleh pertanyaan tentang ada apa dengan nasionalisme?

Memang di era globalisasi dan perkembangan teknologi sekarang ini, masyarakat semakin dituntut untuk selalu berpacu dengan waktu agar tidak tertinggal semakin jauh dengan kemajuan zaman. Setiap hari selalu berkerja dan berusaha tak kenal lelah dan tak peduli waktu pagi, siang, atau malam bahkan hari libur. Setiap hari selalu sibuk dengan semua urusan-urusan yang pada dasarnya untuk memenuhi segala keperluan dan kepentingan pribadi yang tidak pernah ada habisnya. Segala kesibukan itu membuat orang lupa dengan beberapa hal penting yang semestinya tidak boleh dilupakan. Orang mulai lupa bagaimana bisa bekerja, mengapa bisa hidup tenang dan senang, bagaimana bisa bebas bersuara dan melakukan apapun yang dikehendaki.

Rasanya tidak salah jika dikatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan beberapa faktor yang menunjukkan dan menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat semakin memudar. Yang tidak kalah penting lagi, mulai lupa bagaimana menghormati dan menghargai semua jerih payah dan pengorbanan yang sudah dilakukan oleh para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia. Sebagian masyarakat saat ini dengan mudahnya memandang sebelah mata lambang-lambang negara yang sudah mereka perjuangkan dengan pengorbanan harta benda bahkan nyawa.

Memang benar kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa (Republika, 11 Oktober 2011) yang mengatakan bahwa realitas perkembangan sosial-ekonomi dan politik sekarang ini ternyata menghadirkan tantangan berat bagi nasionalisme Indonesia. Setidaknya, ada dua tantangan utama yang bila tidak diwaspadai dapat menggerogoti eksistensi nasionalisme itu sendiri yaitu tantangan yang bersifat internal dan eksternal
Faktor internal terjadi karena secara faktual masih adanya kelompok yang ingin melepaskan ikatan nasionalisme melalui gagasan disintegratif yang tidak konstruktif. Dalam faktor eksternal, secara gradual Indonesia dihadapkan pada perubahan tatanan dunia melalui arus globalisasi.
Selanjutnya, menurut Rajasa (2011) sadar atau tidak sadar, jika tidak dikelola dengan baik, globalisasi dapat mengikis semangat nasionalisme. Kecintaan pada negeri sendiri dapat berkurang akibat terbukanya arus informasi dan teknologi yang sangat sulit dihindari.

Rasa cinta terhadap bendera, Pancasila dan lambang-lambang negara merupakan pengejawantahan dari rasa nasionalisme. Itu kemudian diikuti dengan penerapan pelaksanaan nilai-nilai dari Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Ada beberapa hal yang bisa diterapkan dalam rangka penanaman nilai-nilai Pancasila di antaranya, seluruh warga sekolah baik siswa maupun guru harus punya itikad baik untuk mengikuti kegiatan upacara dengan tertib dan khidmat dan di setiap kelas harus ada bendera dan lambang Burung Garuda yang terpasang. Di masyarakat sebaiknya diberlakukan aturan bahwa di setiap rumah penduduk seharusnya ada bendera dan lambang Burung Garuda yang terpasang, juga harus ada gerakan bersama untuk selalu mengibarkan bendera merah putih pada setiap peringatan hari besar nasional.

Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai melupakan budaya gotong-royong yang selama ini menjadi ciri bahkan nyawa dari kehidupan bermasyarakat. Gotong royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari zaman dulu hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, bisa ditemukan sikap gotong royong ini. Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, santun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia.
Itu merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kokoh dan kuat di segala sisi dan sudutnya, tidak hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Budaya dan kebiasaan yang turun-temurun itu sudah ditanamkan oleh nenek moyang sejak kecil hingga dewasa. Walaupun berbeda agama, suku, dan warna kulit, tetapi tetap menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh siapa pun dan bangsa mana pun di dunia ini.

Oleh sebab itu harus ada upaya-upaya nyata berupa kebersamaan dalam setiap kegiatan terutama di lingkungan sekitar yang dilaksanakan untuk menjaga agar sikap gotong-royong ini tetap terjaga kelestariannya. Itu dapat dilakukan dengan menggalakkan kerja bakti paling tidak setiap dua minggu sekali, warga yang tidak hadir harus diberi sanksi atau membayar denda. Menggalakkan kembali pertemuan rutin warga dalam satu RT untuk berpikir dan berbicara secara bersama-sama dalam menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dalam lingkungan. Rasa handarbeni atau ikut memiliki terhadap bendera merah putih, terhadap lambang Burung Garuda, juga terhadap kebiasaan bergotong-royong tidak boleh pudar dan harus betul-betul ditanamkan ke dalam hati nurani. Sangat pantas jika dikatakan bahwa beberapa hal tersebut sebagai wujud rasa nasionalisme terhadap Indonesia.
Semua itu akan terlaksana dengan baik jika ada kemauan dan kebersamaan masyarakat dan pemerintah. Jika terjadi masalah dengan salah satu anggota masyarakat maka wajib saling mengingatkan seperti yang tersirat dalam Pancasila. Pendidikan tentang Pancasila masih relevan dan cocok untuk disampaikan kepada anak-anak peserta didik sebagai generasi hebat penerus bangsa. Apapun nama pelajaran tentang Pancasila itu, bisa berganti-ganti dari PMP ke PPKN ke PKN dan entah kelak apa lagi namanya, tetapi Pancasila tetap wajib diperkenalkan, diajarkan, dan yang paling penting adalah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.


*) Iwan Rofiq, S. Pd. Adalah Guru SMP Negeri 1 Wlingi, Blitar

“Si Maman”, Solusi Cerdas Atasi Konflik Akibat Krisis Energi

Oleh RACHMA INDAH KURNIA

Saat mengisi kuliah umum “Menuju BUMN sebagai Perusahaan Dunia” di ITB, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, mengatakan bahwa sampai kapan pun Indonesia akan mengalami konflik politik dan ekonomi yang terus berulang berkait dengan kenaikan BBM. Pemerintah harus segera diambil langkah cepat untuk mengatasinya.
Dari penyataan tersebut, jelas bahwa ketergantungan terhadap kebutuhan BBM sangatlah tinggi. Tidaklah mengherankan, jika setiap terjadi pengurangan subsidi yang menyebabkan kenaikan harga BBM di pasaran maka dapat dipastikan terjadi gejolak dalam masyarakat. Bentuknya bermacam-macam, ada yang melakukan demonstrasi seperti yang dilakukan buruh, mahasiswa, dan masyarakat, aksi protes dengan mogok makan, mengubur diri, sampai dengan aksi-aksi yang sifatnya simpatik. Sayangnya, sebagian aksi demonstrasi cenderung mengarah kepada tindakan merusak. Bahkan ada ancaman untuk melakukan revolusi besar-besaran jika BBM jadi dinaikkan. Gejolak yang terjadi dalam masyarakat ini sangat berpotensi untuk memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Jika konflik politik dan konflik ekonomi telah berubah menjadi konflik sosial, tentu negara dalam keadaan gawat. Setidaknya ada empat potensi konflik akibat dari kenaikan harga BBM. Pertama, potensi perpecahan antara masyarakat golongan menengah atas dan menengah bawah.  Hal itu disebabkan sebagian besar subsidi BBM tidak tepat sasaran. Subsidi BBM lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah ke atas. Hal ini diungkapkan oleh P2EB FEB-UGM yang bekerja sama The Economy and Environmental Programs for South East Asia (EEPSEA), Kanada, yang telah melakukan penelitian dalam kurun waktu selama enam bulan mulai dari September 2011 sampai Februari 2012. Dengan kenyataan yang ini, maka masyarakat menengah ke bawah akan selalu merasa mereka sebagai korban kebijakan, sedangkan yang menikmati justru golongan atas. Kedua, potensi konflik antarpolitisi. Konflik itu sering memicu dampak negatif yang lebih besar. Ketika para politisi menyampaikan pendapat di media, maka politisi lain yang tidak sependapat akan saling berbalas “pantun”. Hal itu akan menambah lagi kebingungan dalam masyarakat sehingga lama kelamaan mereka akan jengah dan apatis dengan apa yang terjadi di negara ini. Ketiga, konflik antara aparat pemerintah (polisi) dengan masyarakat yang tidak setuju dengan kenaikan harga BBM, Terjadinya demonstrasi yang anarkis di kalangan mahasiswa, buruh, dan masyarakat menjadi hal yang sangat memprihatinkan. Betapa sedihnya ketika melihat saling pukul dan saling serang di antara anak bangsa. Keempat, semakin maraknya aksi kriminal yang meresahkan masyarakat berupa penimbunan BBM, pencurian, dan perampokan. Jika dibiarkan akan menimbulkan keresahan dan konflik yang meluas sehingga dapat berpotensi menjadi perpecahan dalam diri dalam bangsa Indonesia. Inilah gambaran yang harus menjadi perhatian pemerintah sebelum mengambil kebijakan kenaikan BBM.
Berbagai solusi tentang BBM telah dilontarkan, baik oleh para praktisi maupun politisi. tetapi tetap saja permasalahan ini berulang. Hal itu karena solusi yang ditawarkan adalah solusi jangka pendek untuk mengindari potensi chaos akibat kebijakan kenaikan harga, misalnya pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT). Penting bagi pemerintah untuk mencari akar dari permasalahan yang ada sebagai solusi jangka panjang. Salah satu akar permasalahan yaitu pemikiran bahwa kebutuhan masyarakat akan energi selalu ditentukan oleh pemerintah, dalam hal ini Pertamina. Masyarakat belum disadarkan untuk mendapatkan bahan bakar hanya bergantung sepenuhnya kepada pemerintah. Masyarakat harus mandiri menghasilkan energi bagi kebutuhan keluarga sehingga ketergantungan masyarakat pada pemerintah berkait dengan masalah energi dapat dikurangi.

Program Si Maman
Si Maman merupakan akronim dari Solusi Masyarakat Mandiri Energi. Masyarakat disadarkan tentang pentingnya kemandirian dalam bidang energi dengan memanfaatkan bahan baku yang ada di sekitar menjadi bahan bakar alternatif khusus untuk kebutuhan rumah tangga. Program Si Maman dapat menjadi salah satu solusi atas ketergantungan Indonesia terhadap BBM. Energi alternatif yang ditawarkan pada program ini dapat berupa biogas yang bahan bakunya dapat diperoleh dari limbah organik (kotoran hewan dan manusia). Menurut www.metronews.com, pejabat Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), M. Arif Yudiarto, menyatakan potensi energi alternatif biogas di Indonesia cukup tinggi. Namun, itu sulit berkembang karena pemerintah kurang gencar menyosialisasikan kepada masyarakat.
Dalam program Si Maman ini masyarakat dapat menjadikan bahan baku berupa kotoran manusia (tinja), sapi, kambing, maupun ayam menjadi bahan bakar alternatif. Dengan bahan baku yang melimpah, proses yang cukup mudah dan dan biaya yang murah masyarakat dapat memenuhi kebutuhan energi dalam skala rumah tangga. Menurut hasil penelitian dari BPPT tahun 2011, biogas dari kotoran hewan dan manusia ini potensial untuk memenuhi kebutuhan memasak dalam skala rumah tangga.  Jika ditambah dengan kemampuan modifikasi dan  kreativitas, masyarakat dapat memanfaatkan biogas sebagai sumber energi listrik juga.
Program itu tidaklah muluk-muluk untuk dilakukan, hal itu terbukti dari sudah adanya beberapa daerah di Indonesia yang memanfaatkan biogas ini walaupun jumlahnya masih sedikit. Di  antaranya warga Desa Warga di Nagari Kasang, Kecamatan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat yang menjadikan kotoran sapi sebagai biogas sehingga dapat menggantikan kebutuhan minyak beberapa keluarga di desa tersebut. Kehebatan lainnya, limbah dari biogas ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik. sehingga selain menghemat pengeluaran, hasil panen mereka meningkat dua kali lipat dari pada sebelumnya (www.vivanews.com). Lain halnya dengan warga Kelurahan Balu Werti, Kediri, Jawa Timur. wilayah kumuh dengan kepadatan penduduk yang cukup tinggi yang sebagian besar warganya tidak memiliki kamar mandi didalam rumah ini memanfaatkan sanitasi masyarakat dan mengolahnya menjadi biogas yang kualitasnya bahkan tidak kalah dari kualitas gas elpiji.

Muatan Edukasi Si Maman
            Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu memasukkan program Si Maman ke dalam muatan kurikulum misalnya pelajaran Fisika, Biologi, dan Pendidikan Lingkungan Hidup. Dengan menanamkan kemandirian energi sejak dini, masyarakat dapat mengembangkan energi alternatif dengan pengetahuan yang dikuasai.
Jika program Si Maman dapat disosialisaikan dan dilaksanakan dengan baik, bukan mustahil Indonesia akan menjadi salah satu negara dengan kemandirian energi yang memadai. Kesejahteraan masyarakat akan semakin meningkat karena negara dapat mengalokasi penghematan itu untuk membangun infrastruktur yang masih jauh dari memadai. Pada Hari Raya Nyepi, terbukti masyarakat dapat menghemat 3.000 kiloliter BBM bersubsidi dalam satu hari atau setara dengan Rp 4 miliar di daerah Bali, maka bisa dibayangkan besar penghematan yang bisa dilakukan. Semoga dengan masyarakat mandiri energi, efek domino dari kenaikan BBM yang dapat berujung pada perpecahan bangsa dapat diminimalkan. Dengan demikian, generasi muda lebih siap dalam menghadapi krisis energi tanpa konflik.

*) Rachma Indah Kurnia adalah Guru SMP Negeri 1 Jetis, Ponorogo

Memutus Mata Rantai Budaya Korupsi dengan Pendidikan Karakter

Oleh Dra. NUR AINIYAH. MM, *)
            
Tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi di Indonesia. Masyarakat serta media  di Indonesia mendengungkan perang terhadap korupsi yang telah merugikan negara dan menyengsarakan hidup rakyat.

Pemerintah, melihat betapa berbahanya korupsi, melakukan beberapa cara untuk menanggulangi korupsi. Secara represif, pemerintah membentuk badan yang disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Badan ini diberi wewenang untuk melakukan tindakan kepada para pelaku korupsi. Secara preventif, melalui dunia pendidikan, pemerintah menyusun kurikulum khusus tentang pendidikan antikorupsi. Materi pembelajaran tentang antikorupsi ini akan di berlakukan mulai tahun ajaran 2012 dengan tujuan untuk memutus mata rantai budaya korupsi sedini mungkin.

Pendidikan Antikorupsi
Pendidikan antikorupsi akan diajarkan sejak tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Materi pembelajaran tentang pendidikan antikorupsi ini tidak hanya untuk peserta didik, tetapi juga guru dan kepala sekolah. Pelajarannya diintegrasikan dengan pendidikan karakter di sekolah. Hal ini telah disepakati Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) .

Mendikbud, Muhammad Nuh, menjelaskan bahwa kesepakatan itu bertujuan menjadikan pendidikan motor pencegahan korupsi melalui proses pembudayaan sejak dini. Program tersebut merupakan gebrakan besar dunia pendidikan Indonesia. Dengan mengintegrasikan materi pembelajaran dengan pendidikan karakter diharapkan berhasil dalam membentuk pribadi yang berintegritas serta berkarakter untuk tidak melakukan korupsi.

            Pendidikan karakter antikorupsi sangat tepat dijalankan untuk menentukan masa depan bangsa Indonesia yang berkeadilan. Praktik korupsi telah mempertinggi ketidakadilan. Rakyat sebagai pembayar pajak tidak memperoleh umpan balik yang menyejahterakan karena tindak korupsi.

Selama ini, pendidikan nasional terjebak dalam permainan kekuasaan dan ekonomi sehingga arahnya tidak jelas. Terbukti, mereka yang menjadi tersangka dan terdakwa dalam berbagai kasus korupsi merupakan kaum elite berdasi. Dengan semakin banyaknya lulusan perguruan tinggi, negeri ini bukannya tambah maju, malah menjadi lahan korupsi dan lonceng kematian demokratisasi semakin nyaring berbunyi. Lembaga pendidikan menjadi pencetak koruptor paling prestisius.

Korupsi kaum berdasi memang telah membawa kematian bangsa. Kerusakan bangsa Indonesia disebabkan korupsi sudah hampir sempurna (Ma'arif, 2005). Franz Magnis-Suseno pun pernah mengungkapkan bahwa Indonesia tinggal menunggu waktu tergelincir dan masuk jurang. Sungguh kasihan sekali generasi muda apabila hal ini benar-benar terjadi di negara Indonesia tercinta ini. Masihkah ada harapan perbaikan? Sepertinya Indonesia kini hidup di alam feodalisme para koruptor.

Pendidikan  Karakter
Pembangunan karakter merupakan upaya perwujudan amanat Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, dilatarbelakangi realita permasalahan kebangsaan yang berkembang saat ini. Contohnya disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila, keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai Pancasila, bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa, ancaman disintegrasi bangsa dan melemahnya kemandirian bangsa (Buku Induk Kebijakan Nasional Karakter Bangsa 2010-2025).

Pembentukan karakter yang sesuai dengan budaya bangsa ini tidak semata-mata dilakukan di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan (sekolah) melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan di luar lingkungan sekolah. Pembentukan karakter juga dilakukan melalui kegiatan pembiasaan (habituasi) dalam kehidupan seperti religius, jujur, disiplin, toleran, kerja keras, cinta damai, tanggung jawab, dan sebagainya. Melalui pembiasaan, bukan hanya mengajarkan (aspek kognitif) mana yang benar dan salah, tetapi juga mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan tidak baik serta bersedia melakukannya (aspek psikomotorik) dari lingkup terkecil seperti keluarga sampai dengan cakupan yang lebih luas di masyarakat.

Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan peserta didik yang pada akhirnya akan menjadi pencerminan hidup bangsa Indonesia. Oleh karena itu sekolah memiliki peranan yang besar sebagai pusat pembudayaan melalui pengembangan budaya sekolah. 

Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa. Satuan pendidikan selama ini telah mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai pembentuk karakter melalui program operasional yang merupakan nilai prakondisi  antara lain taqwa, bersih, rapih, nyaman, dan santun.

Penerapan Pendidikan Karakter Dalam Memberantas Korupsi

Setelah disepakati Kemendikbud dengan KPK, tentu butuh perencanaan dan aturan pelaksanaannya dalam penerapan nantinya. Bagaimana penerapannya di sekolah? Itu membutuhkan komitmen bersama pihak yang berkepentingan dan juga pemegang otoritas sekolah. Langkah selanjutnya adalah aksi nyata dalam memberantas korupsi. Aksi nyata itu bisa berupa kerja sama dengan lembaga peradilan yang berwenang menyeret para koruptor atau lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada kebijakan pemberantasan korupsi. Semakin banyak warga yang menghadang gerak koruptor, tentu buahnya lebih positif. Dengan kolaborasi dalam pembelajaran tersebut, peserta didik akan melihat secara riil kenyataan korupsi di Indonesia dan diharapkan akan mengembalikan moralitas pendidikan.

Yang tak kalah penting adalah mendorong arus baru lintas sektoral pendidikan. Dalam arti, perlu upaya di berbagai lembaga pendidikan pusat maupun daerah dalam menentang tindak korupsi. Gelombang arus baru tersebut akan menjadi arus utama nilai kemanusiaan di masa depan. Dengan menjadi arus utama baru, pendidikan antikorupsi bukan sekadar wacana, melainkan juga sebuah gerakan yang memang sangat diperhitungkan untuk kelangsungan masa depan bangsa.   

Pembiasaan yang baik di rumah juga sangat penting untuk dilakukan, misalnya kejujuran dan keterbukaan. Hal ini bisa dilakukan dengan cara memberikan kepercayaan kepada anak dengan tetap memantau apa yang mereka lakukan. Misalnya, anak dipercaya untuk mengelola uang saku mingguan. Mereka dilatih untuk terbuka dalam pengelolaan keuangan mereka sendiri. Kejujuran juga sangat tampak ketika pada minggu berjalan mereka bisa jujur terhadap orang tua tentang kondisi keuangan mereka.           
 
Di lingkup sekolah, ketidakjujuran juga tampak selama mengerjakan soal ujian yang jelas merupakan penanaman perilaku korup. Para guru tentu juga dituntut sebagai figur panutan bagi peserta didik, untuk dapat memberikan contoh nyata dalam perbuatannya sehari-hari di kelas ataupun di luar sekolah. Selalu jujur dan bertanggung jawab dalam menyampaikan pembelajaran, ataupun penilaian hasil belajar peserta didik.

Sebagai warga negara tentu juga menuntut kepada para pemimpin negeri ini untuk menunjukkan contoh teladan yang dapat sebagai panutan generasi muda. Pemimpin bangsa yang amanah, yang juga negarawan, yang selalu mementingkan kepentingan seluruh negeri. Jangan malah dibalik, bahwa rakyat yang harus selalu mengikuti kehendak pemimpin. Pemimpin menghendaki ada upeti khusus dari rakyat dan rakyat harus mengindahkannya, kalau ingin pelayanannya dapat terpenuhi dengan baik oleh sang pemimpin negara adalah milik seluruh warga bangsa, yang diatur dalam UUD 1945, bukan milik mereka perseorangan atau golongan tertentu.

Pendidikan antikorupsi sangatlah tepat bila diterapkan di sekolah sebagai suatu pembudayaan. Hal ini dapat menjadi konsep dan implementasi pendidikan karakter dalam membentuk pribadi yang berintegritas dalam lingkungan dunia pendidikan. Pendidikan antikorupsi yang membudaya diharapkan dapat memutus mata rantai korupsi.

*) Dra. NUR AINIYAH. MM, adalah Guru SMK Negeri 1 Surabaya

Konkretkan Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

Oleh ENDAH PURNOMOSARI, M.PD. *)

             Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah ternyata masih bersifat abstrak.   Perangkat pembelajaran (silabus dan RPP) yang dipersiapkan sudah berkarakter, sedangkan masalah pencapaian atau pengimplementasiannya dalam pembelajaran  masih jauh panggang daripada api. Inilah bentuk nyata pendidikan karakter di sekolah. Keabstrakkannya memberi arah yang kurang jelas atau bahkan tidak jelas kepada para guru. Apakah para guru Indonesia sebagai insan cendekia hanya diam menyikapi fenomena keabstrakkan pendidikan karakter ini?
Pendidikan karakter. Siapa yang tidak mengenal paduan kata tersebut. Hampir semua orang atau elemen bangsa mengenal istilah “pendidikan karakter”. Kini, pendidikan karakter menjadi isu utama pendidikan. Selain menjadi bagian dari proses pembentukan akhlak anak bangsa, pendidikan karakter ini pun diharapkan mampu menjadi fondasi utama dalam membentuk peradaban bangsa Indonesia di masa depan sehingga di lingkup Kemendiknas, pendidikan karakter ini digulirkan dari mulai pendidikan dini sampai perguruan tinggi.
 Indonesia membutuhkan sumber daya manusia yang cukup besar untuk mendukung pembangunan. Kenyataan ini mustahil dapat dipenuhi dengan mudah tanpa upaya yang jelas. Agaknya pendidikan merupakan sebuah kata yang tepat untuk mewujudkannya. Hal ini sesuai dengan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan, sekali lagi, merupakan ujung tombak perubahan. Dalam dunia pendidikan yang terealisasi dalam pembelajaran di kelas mewajibkan terjadinya perubahan tingkah laku peserta didik seperti yang tercermin dalam tujuan pendidikan nasional. Secara ringkas, peserta didik harus berkarakter bangsa. Sebuah formula jitu diperlukan agar pendidikan karakter yang diharapkan tercapai secara efektif “tertanam” dalam diri peserta didik.
Menyikapi itu, aneka sambutan diberikan oleh elemen masyarakat khususnya yang berkecimpung langsung di bidang pendidikan dalam hal ini utamanya guru memang beragam. Mulai dari yang antusias sampai yang merespons biasa-biasa saja tampak dari para guru. Hal ini pastilah didasari oleh kekurangjelasan konsep pengembangan nilai-nilai karakter bangsa yang bergulir yang harus diterapkan dalam pembelajaran. Setidaknya ada tiga pendapat yang berkembang. Pertama, bahwa pendidikan karakter bangsa diberikan berdiri sendiri sebagai suatu mata pelajaran. Pendapat kedua, pendidikan karakter bangsa diberikan secara terintegrasi dalam mata pelajaran PKn, pendidikan agama, dan mata pelajaran lain yang relevan. Pendapat ketiga, pendidikan karakter bangsa terintegrasi dalam keseluruhan mata pelajaran yang ada.
Di tengah kesimpangsiuran pendidikan karakter bangsa yang akan diterapkan di sekolah tersebut, sebuah kesepakatan diambil dan dilaksanakan oleh para pendidik, yakni memasukkan kurang lebih 18 nilai karakter dalam Kompetensi Dasar (KD) yang ada dalam setiap mata pelajaran yang sesuai dengan rumusan nilai-nilai karakter tersebut. Nilai-nilai karakter tersebut antara lain religius, jujur, bertanggung jawab, disiplin, kerja keras, percaya diri, mandiri, santun, demokratis, nasionalisme, menghargai keberagaman, dan lain-lain. Wow, betapa agungnya nilai-nilai karakter bangsa yang ingin ditanamkan kepada generasi muda sebagai ujung tombak pembangunan. Semua guru bahkan elemen masyarakat yang lain pun setuju bahwa pendidikan karakter bangsa teramat penting. Ayo, bersama mewujudkan nilai-nilai karakter bangsa itu dalam dunia pendidikan secara nyata.
Sangat ironis bahwa di lapangan, para guru lebih banyak yang menyikapi secara dingin atau kurang maksimal pendidikan karakter bangsa. Dimulai dari penyusunan kurikulum “unik” masing-masing sekolah yang sudah berkarakter, turun menjadi silabus berkarakter, sampai pada RPP berkarakter, bahkan penilaian yang biasanya dilakukan dalam setiap proses pembelajaran pun sudah dipenuhi dengan kolom-kolom rumit dan skor-skor yang sangat rinci pendeskripsiannya untuk menilai apakah peserta didik sudah berkarakter atau belum selama dan sesudah pembelajaran.
Sayangnya kondisi di atas masih bersifat abstrak. Semua dilakukan hanya sebatas memenuhi kebutuhan administrasi para guru semata. Sekali lagi secara administratif pendidikan yang dilakukan sudah berkarakter, wujud nyatanya belum. Hal ini tecermin dari masih banyaknya peserta didik yang tidak jujur seperti budaya menyontek masih tinggi, tanggung jawab yang rendah yang salah satunya dapat dilihat dari kebiasaan tidak menyelesaikan sebuah tugas dengan tepat waktu, kebanggaan terhadap negara masih rendah dengan menyukai produk dan tokoh idola dari luar negeri, demokratis yang kurang karena masih marak terjadi perkelahian antarpelajar bahkan antarwarga hanya karena masalah sepele, dan lain-lain yang mengiris hati.
Memang tidak mudah mencapai pendidikan karakter bangsa, tetapi dalam hal ini ada yang kurang tepat dalam proses penerapan pendidikan karakter tersebut di sekolah-sekolah. Perlu diingat bahwa sesuatu yang bersifat sederhana bahkan teramat sederhana sebenarnya lebih berharga dalam pencapaian pendidikan karakter bangsa tersebut daripada sekadar memenuhi persyaratan administrasi pembelajaran yang berkarakter yang membuat pendidikan karakter hanya bersifat abstrak. Hal yang konkret adalah keteladanan dan pembiasaan dari seluruh elemen sekolah mulai dari penjaga sekolah sampai kepala sekolah, bukan hanya para guru. Itu mengingat pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil. 
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ekstrakurikuler, pemberdayaan sarana prasarana yang dimiliki, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Pendidikan karakter mustahil hanya dicapai melalui pembelajaran di kelas. Permasalahannya, pendidikan karakter di sekolah selama ini baru menyentuh pada tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai dan belum pada tingkatan internalisasi dan tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut Buchori (2007), pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Permasalahan pendidikan karakter yang selama ini perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu dikembangkan secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di sekolah khususnya dalam pembelajaran. Pengoperasionalan atau perubahan paradigma dari yang bersifat abstrak menjadi konkret adalah melalui pembiasaan dan keteladanan. Tanpa pembiasaan dan keteladanan yang terwujud dalam contoh-contoh tindakan berkarakter mustahil pendidikan karakter bangsa akan terwujud atau tertanam dalam jiwa peserta didik.
Pembiasaan dan keteladanan yang dapat dikembangkan di sekolah antara lain memperdengarkan lagu-lagu nasional di tiap kesempatan (sebelum bel masuk dan saat istirahat). Kebiasaan tersebut sangat memengaruhi para peserta didik untuk tahu, mengerti atau paham dengan isi lagu tersebut. Selain itu, para guru juga dapat mengulas sedikit banyak lagu tersebut di setiap kesempatan yang ada dengan para siswa. Yang pada akhirnya siswa akan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap lagu-lagu nasional Indonesia tersebut. Semangat kebangsaan dapat dikobarkan oleh sang guru kepada peserta didik.
Pin jujur bertuliskan ATM (Aku Tidak Menyontek) atau apa pun namanya juga merupakan pembiasaan yang efektif sebagai salah satu cara membuat peserta didik berlaku jujur. Siswa diberi penjelasan konsep jujur oleh semua guru yang membimbingnya. Pada saat mengikuti sebuah ulangan, siswa yang berani jujur akan diberi pin tersebut. Dalam hitungan minggu para peserta didik yang belajar berbuat jujur dengan keterbukaan yang sudah ditananamkan oleh gurunya akan mengembalikan pin tersebut jika memang dia tidak dapat berlaku jujur di ulangan-ulangan berikutnya. Selain itu para siswa juga akan termotivasi untuk selalu dapat berbuat jujur dengan mengenakan pin tersebut di setiap ulangan yang dihadapinya.
Keteladanan melalui keikutsertaan seluruh komponen sekolah pada saat kerja bakti atau kegiatan-kegiatan yang lain yang biasanya hanya menyuruh para siswa juga menjadi contoh konkret penanaman rasa kebersamaan dan tanggung jawab. Bahu-membahu dan kerukunan yang tampak merupakan pembelajaran langsung kehidupan yang berkarakter kepada peserta didik. Kebersamaan atau kegotongroyongan, tanggung jawab, toleransi, juga akan tertanam melalui kegiatan yang sederhana dan sering dilakukan di sekolah.
Keteladanan yang lain dapat dipenuhi dengan cara penggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar oleh Bapak/Ibu guru dalam setiap kesempatan khususnya saat pembelajaran. Bahasa Indonesia yang diterapkan dengan baik akan memupuk rasa kebanggaan peserta didik terhadap bahasa Indoneia. Dengan catatan, sekali lagi dengan memberi motivasi bahwa bahasa menunjukkan bangsa. Ulasan-ulasan lain pun dapat dilakukan oleh semua guru tidak hanya guru mata pelajaran bahasa Indonesia saja. Semangat heroik/kepahlawanan para generasi muda dalam sumpah pemuda juga akan sangat memotivasi peserta didik yang juga masuk golongan pemuda yang akan menjadi generasi penerus perjuangan dan pembangunan Indonesia.
Pemberdayaan kantin kejujuran di sekolah juga menjadi salah satu alternatif pengkonkretan pembelajaran pendidikan karakter. Selain mendukung karakter jujur, karakter tanggung jawab dan kewirausahaan akan tercipta dengan kantin kejujuran ini. Seluruh komponen sekolah dapat belajar membentuk karakter bangsa dengan kantin kejujuran yang terdapat di sekolah-sekolah.
Santun, merupakan karakter bangsa Indonesia. Norma-norma kesantunan yang ada di setiap lini kehidupan dapat terciptanya dengan cara sederhana melalui pembiasaan 3 S. Budaya 3 S yakni salam, sapa, dan senyum di lingkungan sekolah khususnya dan himbauan di masyarakat pada umumnya akan membentuk kesantunan peserta didik. Mereka akan terbiasa santun sekaligus menghargai sesamanya. Budaya 3 S ini kelihatannya sederhana tetapi karena keegoisan seseorang membuat budaya ini sulit diterapkan. Supaya menarik 3 S yang sederhana ini dapat dijadikan motto bahkan sebuah yel-yel yang senantiasa diucapkan di setiap kesempatan. Sekali lagi, pembiasaan dan keteladanan merupakan sesuatu yang maha dahsyat untuk membentuk karakter bangsa dalam diri peserta didik.
Karakter religius sebagai pondasi keimanan seseorang dapat dibentuk dengan menerapkan salat berjemaah secara bergiliran tiap beberapa kelas untuk membentuk insan beriman dalam kebersamaan. Kedisiplinan tentu saja menjadi senjata utama agar nilai/karakter religius ini didapat atau tercipta di lingkungan sekolah. Salat berjemaah yang terjadwal ini tentu saja perlu pendampingan seorang guru khususnya sebelum paserta didik sadar akan kewajibannya.
Tidak kalah pentingnya untuk membentuk atau melaksanakan pendidikan karakter di sekolah dapat dilakukan dengan lebih memberdayaan kegiatan ekstrakurikuler yang ada di sekolah. Ekstrakurikuler yang sarat dengan pendidikan karakter antara lain paskibraka, Pramuka, pencinta alam, TPQ, PMR, jurnalistik, paduan suara, KIR, dan masih banyak yang lain. Pembiasaan dan keteladanan yang terlihat dalam pelaksanaan kegiatan estrakurikuler yang cukup kompleks ini membuat anak berkarakter nasionalisme, menghargai sesama, kreatif, tanggung jawab, menghargai sesama, dan lain-lain. Umpan balik atas apa yang dilakukan oleh peserta didik dalam kegiatan ekstrakurikuler ini tentunya diberikan oleh para pembina ekstra atau para guru. Perlu pengintensifan dan pemberdayaan kegiatan ekstrakurikuler untuk  membentuk karakter bangsa para peserta didik.
Dengan pembiasaan dan keteladanan pada intinya, pendidikan  karakter pada tingkatan institusi atau sekolah mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat khususnya dalam pencapaian terbentuknya peserta didik yang berkarakter bangsa. Hal ini senada dengan Wamendiknas yang mengatakan bahwa hendaknya pendidikan karakter ini tidak dijadikan kurikulum yang baku, melainkan dibiasakan melalui proses pembelajaran. Selain itu mengenai sarana-prasarana, pendidikan karakter ini tidak memiliki sarana-prasarana yang istimewa, karena yang diperlukan adalah proses penyadaran dan pembiasaan.
Semua elemen sekolah khususnya para guru sebagai ujung tombak pelaksanaan pembelajaran di kelas hendaknya lebih menyadari bahwa pendidikan karakter bangsa tidak hanya tertulis dengan rapi di persiapan mengajarnya tetapi lebih mengkonkretkan pendidikan karakter bangsa itu dalam keteladanan dan pembiasaan dalam kegiatan keseharian di sekolah. Sesuatu yang teramat dekat marilah digali lagi. Semua berpotensi membentuk  karakter peserta didik. Tidak perlu terlalu jauh melangkah atau menyikapi hal baru dengan sebuah keabstrakan. Keteladanan dan pembiasaan yang sederhana yang dapat dilakukan oleh semua orang khususnya para pendidik ternyata menjadi kunci kesuksesan pendidikan karakter bangsa. Semoga pendidikan karakter yang menjadi harapan bersama untuk mengembalikan dan mempersiapkan generasi muda memiliki dan menjadi bangsa Indonesia yang seutuhnya ini tidak hanya menjadi proses pencarian watak bangsa, melainkan sebagai motor utama titik balik kesuksesan peradaban bangsa Indonesia yang kaya dengan beragam nilai-nilai luhur kebangsaannya. Hidup Indonesia! Hidup pendidikan karakter bangsa!

*) Endah Purnomosari, M.Pd., Guru SMKN 1 Jombang