Inspektur Vijey turun dari mobil dinasnya dan langsung menuju kerumunan polisi berseragam yang membarikade garis polisi. Mengetahui siapa yang hadir, para polisi itu pun menyibak memberikan jalan untuk sang inspektur. Seorang polisi mengangkat pita kuning bertulis police line agak tinggi, agar Vijey bisa masuk ke dalam kantor yang menjadi TKP (tempat kejadian perkara) penemuan mayat pagi itu.
Seorang polisi dengan map berisi beberapa catatan mengikuti langkah Vijey yang bergerak cepat. Sambil berjalan, sang polisi menuturkan beberapa data yang sudah diperoleh saat olah TKP sebelum kedatangan inspektur Vijey. ''Tidak ada tanda-tanda kekerasan, Ndan,'' kata sang polisi.
Vijey hanya ber-dehem. Dia lantas mendekat ke arah mayat yang sudah ditutupi kain putih. Seorang polisi lain menyodorkan sarung tangan karet kepada Vijey. Dia memakainya, lantas membuka kain penutup tepat pada bagian wajah mayat. Seorang perempuan setengah baya. Matanya mendelik. Mulutnya seperti sedang mengatakan sesuatu.
Vijey menarik kain penutup tersebut lebih ke bawah. Tangan kanan mayat itu menyembul dengan kondisi menggenggam. Layaknya seorang demonstran yang mengepalkan tangan saat berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Vijey menutup kembali kain tersebut.
Dia lantas memandang berkeliling memeriksa TKP. Seperti mengerti isi pikiran sang komandan, seorang polisi mendekat. ''Saksi mata yang pertama kali mendapati mayat korban, mengatakan, tidak ada yang berubah pada benda-benda yang ada di sini. Semuanya persis pada tempatnya seperti biasa,'' kata sang polisi.
''Saksi mata adalah OB di kantor ini,'' tambah sang polisi untuk melengkapi laporannya kepada sang komandan.
''Sudah dipotret?,'' tanya Vijey.
''Siap. Sudah, Ndan.'' jawab sang polisi tanpa ragu.
Merasa tidak mendapatkan sesuatu dari TKP, Vijey pergi. Sebelumnya, dia berpesan kepada anak buahnya untuk menyerahkan semua barang bukti yang didapat di TKP siang ini.
''Saya tunggu di kantor,'' perintahnya.
''Siap, Ndan!,'' jawab sang anak buah.
Vijey langsung meluncur ke kantor. Tanpa sempat sarapan, dia langsung masuk ke ruang kerja. Duduk dengan kepala menunduk. Kedua tangannya yang bertelekan pada meja menyanggah jidatnya.
''Apa yang sedang terjadi?,'' tanyanya dalam hati.
Penemuan mayat pagi ini adalah yang ketiga dalam tiga bulan terakhir. Yang membuatnya tidak habis berakhir, kejadian itu berlangsung beruntun saat dia baru saja dipindahkan tugasnya ke resor ini empat bulan lalu. Dia ingat sekali. Dia dilantik sebagai Kasatserse di Polres ini 18 Desember. Dan tepat sebulan kemudian, 18 Januari ada penemuan mayat.
Seorang perempuan setengah baya juga. Ditemukan pagi hari di dalam ruang kantornya juga. Matanya juga mendelik. Mulutnya setengah terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Tangan kanannya mengepal layaknya demonstran yang berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Kasus itu menjadi PR pertamanya sebagai Kasatserse di Polres ini.
Vijey tertantang untuk mengungkapnya. Dia bekerja keras dan ingin membuktikan, bahwa dia memang layak menyandang jabatan tersebut dengan secepat mungkin mengungkap kasus yang membutuhkan ketelatenan dan kerja keras tersebut.
Namun, sampai sebulan sejak penemuan mayat itu, dia belum juga berhasil mengungkapnya. Buntu. Semua kemungkinan yang dilidiknya tidak mengarah pada sedikit celah pun untuk mengungkap kasus tersebut.
Sebaliknya, malah terjadi kasus penemuan mayat lagi. Seorang perempuan setengah baya juga. Dengan kondisi yang hampir mirip. Mulut terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu dan tangan kanan mengepal layaknya seorang demonstran yang berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Yang paling diingat Vijey dan itu menjadi tanda tanya besar baginya, penemuan mayat kedua itu terjadi tanggal 18 Februari.
Dua kasus dalam kurun waktu sebulan sejak pelantikan dirinya, tentu bukan sebuah catatan yang bagus baginya. Dua PR besar yang harus dihadapinya demi menunjukkan reputasinya. Vijey belum menyerah juga. Dia terus bekerja keras untuk mengungkap kedua kasus tersebut. Bahkan, ketika dia mendapat laporan penemuan mayat pagi ini, dia rebenarnya baru sejenak terlelap.
Semalam dia terus berpikir dan mencari berbagai informasi untuk mengungkap kedua kasus tersebut. Namun lagi-lagi buntu. Sampai dia terlelap di meja kerjanya di samping berkas-berkas yang berkaitan dengan dua kasus penemuan mayat tadi.
Dan kini, 18 Maret. Dia kembali menemukan kasus serupa. Otaknya langsung bereaksi. Feeling-nya mengatakan, bahwa ketiga penemuan mayat tersebut saling berkaitan. Dia berpikir kasus ini adalah sebuah pembunuhan berantai. Namun dia kesampingkan kemungkinan tersebut. Karena dari kedua kasus sebelumnya, dia tidak menemukan tanda-tanda, bahwa kedua mayat tersebut tewas dibunuh. Masih gelap. Belum juga ada bukti-bukti yang menjukkan bahwa kedua korban adalah pelaku bunuh diri. Semuanya masih menjadi misteri.
Tidak menemukan petunjuk apa pun. Dia memejamkan mata untuk waktu tidur yang tersita semalam dan pagi tadi. Rasanya belum lama dia terpejam ketika terdengar*ketukan halus pada pintu ruangannya. Sedikit kaget dia membuka mata.
''Masuk!,'' katanya menjawab ketukan tersebut.
Seorang anak buahnya masuk sembari menyerahkan beberapa berkas.
''Ini Ndan barang bukti dari TKP tadi,'' lapor sang anak buah.
Vijey menerima dan memeriksanya sebentar.
''Foto-foto korban?,'' tanyanya.
''Siap. Di tumpukan paling bawah, Ndan,'' jawab sang anak buah.
''Oke terima kasih.''
Vijey sedang mengamati foto-foto korban. Mata mendelik, mulut seperti mengucapkan sesuatu, dan tangan kanan mengepal. Mengikuti instingnya yang mengarah pada keterkaitan ketiga kasus penemuan mayat tersebut, Vijey langsung teringat pada dua korban sebelumnya. Persis. Mata mendelik, mulut terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu dan tangan kanan mengepal.
''Maaf, Ndan. Bisa saya lanjutkan pekerjaan saya?,'' tanya sang anak buah berpamitan.
''Okey. Tapi, tolong ambilkan foto-foto dua korban sebelumnya ya,'' kata Vijey.
Sang anak buah keluar ruangan sebentar dan masuk kembali dengan membawa dua berkas lain. Dia langsung menyerahkan pada sang komandan.
''Ini Ndan,'' seraya menyodorkan kedua berkas tersebut.
''Boleh saya pergi Ndan?'' tanyanya lagi.
''Silakan. Terima kasih,'' jawab Vijey.
Setelah sang anak buah keluar, Vijey menjejer foto ketiga korban. Dorongan untuk mencari keterkaitan ketiga kasus tersebut, membuat dia menatap tajam dan meneliti dengan cermat foto wajah-wajah korban di saat-saat terakhir ketika meregang nyawa. Dia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang hendak dikatakan ketiga korban dengan posisi mulut seperti itu. Apakah mereka hendak menyebutkan nama orang yang dekat pada dirinya saat mereka meregang nyawa?
Korban pertama dengan posisi mulut terbuka. Korban kedua sedikit terbuka. Namun ketika dia amati lebih jauh, ujung lidahnya berada di tengah rongga mulut dengan posisi melengkung ke atas sampai menyentuh langit-langit mulut. Mulut korban ketiga sedikit berbeda. Tidak sepenuhnya terbuka. Justru seperti hendak menutup dan menghembus nafas dengan kuat.
Tanpa sadar, Vijey menirukan posisi bibir ketiga korban. Bergantian mulai dari korban pertama, kedua, dan ketiga. Berulang-ulang dia melakukannya. Sampai tanpa sadar dia seperti mengucapkan huruf-huruf tertentu. Ketika menirukan posisi bibir korban pertama, Vijey merasa seperti hendak mengucapkan huruf K. Sedang pada korban kedua, dia seperti hendak melafalkan huruf L. Dan ketika menirkan posisi bibir korban ketiga, dia seperti hendak mengatakan huruf B.
Berulang-ulang dia melakukan itu. Dan setiap kali pula dia merasakan ketiga huruf itulah yang muncul dari bibirnya. Sebegitu jauh, dia belum menemukan benang merah antara ketiga mayat tersebut dan huruf-huruf yang didapatinya tadi.
Makin penasaran, Vijey membongkar berkas ketiga korban tersebut. Dia meneliti identitas dan data-data yang berkaitan dengan ketiga korban. Dia berharap menemukan beberapa kesamaan, setidaknya beberapa datang yang bersinggung. Sampai seharian dia mencoba mengait-ngaitkan data ketiga korban. Namun buntu. Tidak ada setitik pun kesamaan atau sekadar kaitan antara ketiga korban.
Vijey menyerah. Dia menutup ketiga berkas tersebut, lantas meletakkan ketiga map tadi secara berurutan di atas mejanya. Dia berniat salat Duhur dan makan siang. Vijey berharap setelah salat dia bisa mendapat inspirasi untuk mengungkap ketiga kasus tersebut,
Selesai merapikan ketiga berkas tersebut, Vijey bangkit dari kursinya. Dia sudah bersiap melangkah meninggalkan ruangannya. Namun, seperti ada yang menariknya, dia kembali menatap ketiga map yang berjajar tersebut. Dia amati tulisan yang tertera pada setiap map tersebut. Tulisan itulah adalah nama-nama ketiga korban. Satu per satu dia amati. Korban pertama bernama MonIKA. Korban kedua bernama ZulaIKA. Dan korban ketiga bernama IKA Soeryanti.
Ah. Tambah pusing Vijey. Dia pun melangkah menjauh dari meja kerjanya. Membuka pintu ruangan dan pergi ke musholla di Mapolres. Untuk sementara dia kesampingkan tugasnya. Dia ingin khusuk menghadap pada Sang Maha Kuasa. Untuk sementara, biarkan ketiga kasus penemuan mayat tersebut tetap menjadi misteri. Misteri tanggal 18. Misteri huruf-huruf KLB dan misteri nama-nama korban.
Di Tepi Tanggul Lumpur Lapindo$3C/i>
18 Maret 2012.
0 komentar:
Posting Komentar