Puisi-puisi MUCH. KHOIRI

Rabu, 21 Maret 2012

Share this history on :
MUCH. KHOIRI
Durga Gugat

Sudah terpahat di setiap jidat dan dada manusia
dan setiap garis tangan mereka sejak kanak-kanak:
aku adalah pemegang berlaksa-laksa angkara
dan perampok jiwa dari hijau dedaunan dan sejuk embun .

Mengapa kaubiarkan kupahatkan angkara di setiap jidat dan dada manusia 
dan setiap garis tangan mereka sejak kanak-kanak?
Mengapa tidak kaucegah kupegang dan kukobarkan berlaksa angkara
dan menjadi perampok jiwa dari hijau dedaunan dan sejuk embun?

Aku adalah korbanmu
Apakah engkau masih berdalih itu garis suratan yang mustahil kauubah
padahal kau bukan kerbau yang dicocok hidungnya?
Engkau adalah mahadewa
namun mengapa kau sebegitu tak berdaya
atas buku garis suratan yang telah kalian ciptakan dengan semangat? 

Tidakkah kau juga adalah pengobar bara yang menyala-nyala
dengan membiarkanku menyulut bara yang menyala-nyala,
padahal engkau adalah mahadewa, yang mestinya sangat berdaya?

Kini jawablah, apakah kau sedang bermain-main kuasa
dengan membeber permainan kata atas perempuan:
aku, hawamu, yang kini sedang gugat di depan lututmu
adakah engkau masih punya nurani dan jiwa itu?

Mercure Hotel, Ancol
Jakarta, 8 Juni 2011


Serakah

Kini nyalimu telah membuang malu
dengan aneka-macam cara dan laku:
Gurita-raksasa tanganmu, buldozer kakimu,
traktor bahumu, truk trailer punggungmu;
kau berangkat membabat dan bebas mengeruk
kota beserta gedung, kekayuan di hutan hijau
laut serta tiram, bebatuan lembah-&-puncak gunung
semua habis kauangkut ke gudang rumahmu!

Lalu, kautampar mukamu sendiri tanpa ragu,
tidak kesakitan, ya berkat pipi tembemmu;
kau malah terbahak, selipkan tangan di saku
dan duduk mengongkang kaki setinggi bahu
sambil asyik menghitung-hitung rugi-&-untung.

Lalu, lahap kauisi perutmu dengan bukan punyamu
dan kausempurnakan nafsumu dengan candu
hingga pintu-pintu nurani tersumpal batu-batu
Ah, dasar kamu!
Ya, dasar serakah kamu!


Surabaya, Desember 1997


Lewat Puisimu

Lewat puisimu, mitra, lewat puisimu
sayup-sayup kudengar getar kalbumu
senandungkan etitaf dan elegi tulis
di antara serpihan sisa asamu itu.

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
halus kurasakan pijar-pijar nuranimu
yang menggugah jiwa-jiwa terpaksa lelap
di luar hijau taman yang gencar diplazakan
dan dijaga sekian manusia yang diternakkan.

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
haru aku saksikan kelugasan bibirmu
fasih mengeja prasasti kelabu
: Aku rindu luluh jadi abu
  atau beku dalam gumpal salju
  asalkan kebebasan jiwa milikku!

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
di sini bersamamu aku, ya setia bersamamu
menyaksikan awan hitamkan langitku-langitmu
yang kini cucurkan darah air mata dan peluh
ke atas pengkuan Ibu Pertiwi yang tersedu-sedu.

Surabaya, 15 Mei 1998



Bagaimana Kami Harus Percaya Padamu?

“Percayalah, kami akan murni dan konsekwen selalu
agar kian jadi bersih dan berwibawa.” Itu katamu dulu.
Maka kami setuju mengukirnya di kalbu—ya di kalbu;
lalu kami kado kamu simbol tongkat, traju, dan palu.

Tapi bagaimana kepadamu kami harus percaya
bila sumpah-janji yang telah kamu sendiri pahatkan
di prasasti putih itu, kini sengaja kamu hancurkan
tepat di depan pelupuk mata kami yang masih awas
hingga puing-puingnya tak pernah kami temukan?

“Akan berdiri kami sebagai penyambung lidahmu itu
agar gema nuranimu nyaring terdengar.” Itu katamu dulu.
Maka kami kagum, kami pun mendorong gerbongmu;
lalu, kami kado kamu sepatu, dasi batik dan bulpen biru.

Tapi bagaimana kami harus percaya kepadamu
bila kamu bukan penyambung lidah dan jerit kalbu,
melainkan ular piton yang menjulurkan lidah cabangmu,
lalu membelit dan meremukkan tulang-belulang anak cucu
hingga luka itu menggetarkan setiap inci bagian tubuh?

Ingatlah, sudah lama kepadamu aku peringati:
Anak cucu kita akan terbang bagaikan sang rajawali
sambil menenteng pita “Bhinneka Tunggal Ika” yang suci
dari atas Gedung Istana hingga tepi sungai, pun hutan jati.
Tapi, dasar kamu!
Kamu anggap kami cuma desau angin
sambil jijik kamu ludahkan liur-basinmu ke kanan ke kiri
dan kamu sumpal lubang kupingmu
dengan segebok kain kafan nurani atau sinis
kamu rapatkan gerbang akal budi
lalu kamu biarkan kami meratap kesepian bagai batu kali.

Kini bagaimana kami harus percaya kepadamu
saat kamu menghiba kami yang pernah kamu katakan tabu
agar mematikan obor nurani mereka yang kian menyilaukanmu;
sedang mereka telah merangkul kami sepakat jadi api dan bara biru
untuk mengucurkan air pencerahan bagi nafsumu yang membatu itu
atau menjemput kebebasan-keabadian yang lama kamu renggut?
Tolong katakan lewat ilalang, jangan bimbang jangan malu
selagi kamu mampu, selagi maaf kami masih berpintu;
Katakan bagaimana kami harus percaya kepadamu?
Ya, katakan bagaimana kami harus percaya padamu?


Surabaya, 16 Mei 1998


Bourbon Street Tengah Malam

Saksikanlah Bourbon Street dengan mata:
Rumah keramaian, pengemis, seniman jalanan—
Cepat atawa lambat—tawar menawar demi uang
Atau berjudi demi sekeping gengsi cuma.
Dan bidadara-bidadari bersayap yang di Surga
Tiada sedikit pun tega meski sekedar menyimak
Jerit rintih Bourbon Street: Rumah khamer & bir
Penari-penari striptease dan supermarket seks
Bersenandung dengan senyum dalam air mata
Dan bebas berteriak dalam kemas kesamaran
--Semua menyalak hingga pagi sinis menjelang.

Saksikanlah Bourbon Street dengan nurani jiwa:
Jiwa-jiwa gontai berlalu-lalang, menggapai makna (?)
Madu kehidupan dengan segala nafsu di gelombang
Samodera ketiadamaknaan purna tanpa batas
Menjeritkan haru demi berjuta-juta kepahitan
Memahatkan kembali sebuah legenda Nasib.


New Orleans, Lousiana
USA, 10-11 Desember 1993





Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar