Oleh Janitra Icta Almer *)
Pernah mendengar ungkapan “Bagai burung dalam sangkar emas”? Pernah merasakan keadaan tersebut? Mungkin secara sadar belum. Akan tetapi, itulah yang mungkin sedang dialami tanah air tercinta. Perlahan tetapi pasti, Indonesia sang burung semakin erat terkunci dalam sarang emasnya yang berupa kekayaan alam yang melimpah.
Yang mencengangkan, bangsa ini dikunci oleh tulang punggungnya sendiri, generasi muda Indonesia. Mengapa begitu? Ya, calon penerus bangsa mengurung negaranya. Dengan apa mereka melakukannya? Apatisme. Tak sedikit generasi muda yang memelihara apatisme dalam pikirannya. Hasil dari pemeliharaan itu adalah kondisi terperangkap dalam sarang emas.
Apatisme sering dijumpai di lingkungan masyarakat. Apatis adalah paham seseorang yang bersikap acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi di sekitarnya, baik itu dalam hal sosial, budaya, ekonomi, atau pun politik. Apatisme tidak diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Di Indonesia, apatisme dapat dikatakan telah menjadi tradisi buruk yang mendarah daging dalam sebagian generasi bangsa. Tak dapat dimungkiri bahwa setiap generasi memiliki sikap apatis yang semakin besar. Semakin besarnya sikap apatis tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain sifat bawaan, terpengaruh orang lain, dan perasaan yang tidak mengharapkan sesuatu sehingga saat sesuatu itu ada, orang tersebut tidak mau mengakuinya dan menjadi tidak peduli terhadap sesuatu tersebut.
Dikaitkan dengan kondisi saat ini, ada satu faktor penting lagi yang begitu memengaruhi apatisme pada generasi penerus bangsa, yaitu globalisasi. Globalisasi memang membawa angin segar untuk berbagai sektor kehidupan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Akan tetapi, sudah bukan rahasia lagi bahwa satu hal kecil pun memiliki dua sisi yang berlainan, globalisasi pun begitu. Selain membawa dampak positif berupa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, globalisasi berdampak buruk bagi kehidupan sosial manusia. Dulu, manusia harus saling bersemuka untuk bisa berkomunikasi satu sama lain, namun berkat sebuah proses bernama globalisasi ini, tidak perlu lagi ada semuka untuk bisa melakukan komunikasi, cukup dengan membuka internet, klik sana klik sini, seseorang sudah bisa berkomunikasi dengan orang yang jaraknya pun belum tentu diketahui.
Sedikit banyak globalisasi telah “membisukan” mulut manusia yang secara alamiah berfungsi untuk berbicara. Pada akhirnya kondisi tersebut akan menggiring manusia untuk tidak lagi menggunakan insting sosialnya. Itulah alasan mengapa globalisasi sangat berpengaruh terhadap sikap apatis yang melanda generasi muda di seluruh Indonesia.
Keapatisan dalam diri generasi penerus semakin diperparah dengan tidak adanya contoh dari generasi pendahulu mereka untuk dijadikan teladan yang baik dan patut ditiru tindak-tanduknya. Bayangkan saja, apa yang kita harapkan dari pemuda Indonesia jika yang mereka santap setiap hari adalah kekanak-kanakan para negarawan yang mengklaim diri mereka adalah abdi masyarakat. Padahal, yang mereka lakukan adalah sebuah bentuk nyata dari apatisme. Satu contoh paling hangat untuk diulas adalah ketidakpedulian para pejabat kepada kebutuhan masyarakat kalangan menengah ke bawah akan kesehatan, pendidikan, dan kehidupan yang layak. Bila dirunut dari awal, para pejabatlah yang mengemis pada masyarakat menengah ke bawah agar memberikan suara mereka secara cuma-cuma untuk memilih mereka pada pemilihan legislatif.
Bukankah ini sebuah fakta yang menyedihkan? Ketika negarawan asyik menikmati kemewahan yang berasal dari uang rakyat, rakyat justru harus meronta-ronta dijerat keadaan. Pejabat yang seharusnya mengabdi untuk rakyat justru bersikap apatis.
Inikah yang harus dijadikan contoh oleh pemuda-pemudi Indonesia? Tentu tidak. Apalah daya bila tidak ada lagi yang mereka lihat setiap hari selain drama tingkah laku pejabat yang kadang kala mengundang tawa, bahkan lebih sering mengundang rasa iba dan miris. Apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan generasi ini bila otak mereka sudah dipenuhi berbagai contoh apatisme dari oknum tidak bertanggung jawab itu? Pemuda yang terus menerus melihat apatisme tentu menganggap apatisme adalah sesuatu yang wajar dan biasa saja bila dilakukan. Dari fakta itu, muncul sebuah pertanyaan, tidak adakah satu pun contoh untuk pemuda agar dapat membangkitkan kejayaan Indonesia, negeri yang dulu pernah membuat Amerika Serikat si Negeri Adikuasa tersebut bertekuk lutut memohon maaf. Memang tidak dapat dimungkiri, dalam kehidupan ini materi juga perlu dicari, namun tidakkah aneh bila nasionalisme yang seharusnya dijunjung tinggi malah memudar dan tergeser posisinya oleh paham apatisme dan materialisme. Bahkan, banyak penduduk negeri ini, yang mengklaim diri mereka berjasa bagi bangsa dan negara, hanya mengharapkan timbal balik berupa harta atau pun tahta. Sungguh tidaklah pantas jika mereka berani mengklaim begitu, tetapi tidak sedikit pun terlintas dalam benak mereka untuk menjadi seorang nasionalis dan patriotis sejati.
Menjamurnya sikap apatis di kalangan pemuda tecermin dalam berbagai kegiatan remeh dan sepele. Sebagai contoh apatis tingkat rendah, di sekolah-sekolah banyak murid yang ketika melihat sampah berserakan di halaman sekolahnya, dengan alasan lelah karena pelajaran, enggan untuk memungutnya dan meletakkan sampah itu di tempat yang seharusnya. Masih ada kasus yang lebih buruk, misalnya sesama siswa saling memengaruhi agar membuang sampah sembarangan. Ini adalah bentuk sikap apatis rendah yang merugikan lingkungan.
Selain contoh apatis tingkat rendah di atas, ada sebuah contoh apatis tingkat tinggi yang sudah umum terjadi di berbagai belahan Indonesia. Ya, golongan putih alias golput. Satu masalah yang “remeh”, memang. Namun, dengan tiap satu orang yang memilih golput, integritas bangsa Indonesia sudah mampu diruntuhkan. Apatis, lagi-lagi sikap apatis yang menyebabkan hal ini, golput tidak peduli akan masa depan pemerintahan Indonesia yang sebenarnya padahal mereka menggantungkan hidupnya pada pemerintahan itu. Golput berdemonstrasi di mana-mana menuntut hak mereka dipenuhi. Namun, begitu hak mereka ada di tangan, mereka menyia-nyiakannya dengan jalan golput tadi. Seandainya nanti yang terpilih oleh mayoritas pemilih adalah orang yang salah, pantaskah golput berdemonstrasi lagi?
Budaya Indonesia pun seakan menunggu waktu dipancung oleh apatisme. Sekelumit bukti mengenai permasalahan tersebut bisa didapat dari fakta bahwa peminat dan penonton pertunjukan kesenian tradisional seperti wayang dan tari tidak sampai sepersepuluh dari animo masyarakat untuk menikmati konser-konser musik yang notabene adalah budaya dari asing. Gaya pakaian pun, khususnya di Pulau Jawa yang dulunya bernapaskan adat Kejawen, kini mulai bergeser ke adat Barat. Bukannya salah, tetapi alangkah baiknya bila penerimaan adat barat tersebut disaring terlebih dahulu melalui nilai-nilai dan norma yang ada di masyarakat. Memang dari hasil survei sebuah lembaga internasional disebutkan bahwa Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar sejagat, tetapi ternyata berkiblat pada budaya asing?
Bagi yang saat ini menyandang status orang tua, pernahkah terpikir untuk bertanya kepada putra-putrinya, tahukah mereka tentang simbol negara Indonesia? Atau mungkin tidak berani menanyakan itu karena mereka sendiri tidak mengetahui jawabannya? Jika memang begitu, jangan malu untuk mengatakan “Ya, saya tidak mengetahui simbol negara Indonesia” karena saat ini simbol negara Indonesia jauh kalah pamor bila dibandingkan dengan lambang-lambang grup band, geng, ormas, atau pun LSM yang tidak ada kaitannya secara langsung dengan Indonesia, terutama Slank yang benderanya hampir tidak pernah absen terlihat di setiap pertunjukan. Entah apakah Slank tampil di pertunjukan tersebut atau tidak. Fanatisme atau apatisme? Dalam hal ini kita melihat kedua hal tersebut berkolaborasi melunturkan kebanggaan sebagai pemuda Indonesia. Apatisme akan simbol negara menjadikan fanatisme terhadap idola membumbung terlalu tinggi.
Sang Saka Merah Putih, Pancasila, UUD 1945, dan lagu Indonesia Raya adalah simbol Indonesia. Oh! Mungkin hanya kata itu yang diucapkan ketika akhirnya menguak misteri tentang simbol negara ini. Tidakkah ada rasa malu ketika menyadari sejak dulu banyak yang tidak mengetahui hal itu? Malulah pada diri sendiri dan pada pendiri bangsa ini. Lihatlah, simbol negara sebagai pemanis dekorasi rumah jika memang ada. Pergeseran fungsi yang sangat kontras bagi sebuah simbol yang seharusnya merupakan identitas dan harga diri bangsa kini tak lebih dari sekadar pajangan. Yang bisa ditarik dari fenomena di atas, sikap apatis mampu menumbuhkan rasa malu akan bangsa sendiri dan melenyapkan kebanggaan atasnya, sehingga generasi penerus sedikit demi sedikit, perlahan tetapi pasti melupakan identitas aslinya sebagai bangsa Indonesia.
Bagaikan katak dalam tempurung, sebuah peribahasa yang sangat tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia saat ini. Indonesia sebagai katak dan apatisme sebagai tempurungnya. Bangsa ini terperangkap dan tidak bisa keluar dari kurungan apatisme, terjajah di dalam kemerdekaan.
Ada blog yang memuat sebuah entri yang isinya menggetarkan hati. Entri tersebut berjudul “Tahukah Kamu Negara Terkaya di Dunia?“. Dalam entri tersebut dijelaskan bahwa Indonesialah negara yang dimaksud. Sumber daya alam melimpah ruah untuk dimanfaatkan dengan bijak. Sayang, pemerintah kurang dalam memanfaatkan otak dan tidak bijak sehingga potensi dan kekayaan alam Indonesia terus menerus dikeruk oleh perusahaan-perusahaan asing. Pemerintah tertipu mentah-mentah oleh kata-kata perusahaan asing yang menjanjikan keuntungan untuk Indonesia. Memang Indonesia mendapatkan keuntungan, tetapi tidak satu pun orang di dalam pemerintah menyadari bahwa keuntungan yang diterima tidak sampai satu persen dari keuntungan yang didapat perusahaan asing tersebut. Terjajah di dalam kemerdekaan itulah kalimat yang tepat untuk mewakilinya.
Selain dari segi ekonomi, secara sosial pun penduduk asli tempat sumber daya alam tersebut dibunuh perlahan dengan perbudakan tidak langsung yang dilakukan oleh perusahaan asing. Sebuah gunung di Papua yang penuh dengan logam mulia, telah rata dengan tanah setelah perusahaan asing menginvasi gunung tersebut. Negara yang seharusnya kaya pun menjadi miskin karena sikap apatis pemerintah terhadap fakta menyesakkan yang terjadi. Apakah pemerintah tidak melihat satu gunung telah raib dari peta Indonesia? Semua karena apatisme “membutakan” penglihatan dengan materi yang berlimpah.
Apa yang harus ditunggu untuk menanggulangi apatisme ini? Tidak ada, sama sekali tidak ada. Jangankan menunggu, mengharapkan pemerintah untuk turun tangan langsung pun sudah menghabiskan waktu sebab pemerintah sendiri jugalah yang mencontohkan dan membudidayakan budaya apatis di negeri tercinta. Biarkan saja masalah keapatisan ini berlarut sehingga perjuangan pendiri bangsa selama sekitar tiga setengah abad akan sia-sia belaka. Para pahlawan akan menangisi keadaan bumi pertiwi yang telah susah payah mereka rebut dari tangan penjajah dan harus kembali terjajah oleh apatisme generasi muda Indonesia sendiri? Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Jika berkaca pada permasalahan ini, bisakah berharap disebut bangsa besar? Kapan akan muncul seorang patriot muda penuh semangat nasionalisme untuk menyelamatkan Indonesia dari apatisme? Jika R. A. Kartini memiliki sebuah buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, akankah Indonesia mengalami hal yang bertolak belakang dari judul buku itu, habis nasionalisme terbitlah apatisme? Semoga tidak!
Sering kalimat NKRI harga mati terdengar dan terlihat, tetapi apakah itu benar-benar meresap dalam jiwa setiap pemuda Indonesia? Persatuan menjadi peraduan dan kesatuan menjadi kekakuan. Kontaminasi apatis yang menyerang generasi muda Indonesia jelas mengancam integrasi Indonesia. Pancasila yang sudah tidak dipedulikan membuat Indonesia kehilangan penyatu semua perbedaan. Bendera Merah Putih yang harusnya berkibar gagah di tiang tertinggi kini tersaingi oleh bendera putih para apatis bernama golput. Indonesia Raya nyaris tidak lagi terdengar gaungnya. Semua pemersatu telah ditaklukkan oleh apatisme. Apa lagi yang bisa diharapkan untuk mengamankan integritas Indonesia dari ancaman disintegrasi bangsa yang tumbuh dari keapatisan para generasi muda?
Peng-indonesia-an kembali adalah satu cara jitu yang diharapkan bisa menumpas apatisme dan kembali menumbuhkan rasa nasionalisme di lubuk hati pemuda-pemudi Indonesia. Layaknya penghijauan kembali hutan gundul, peng-indonesia-an kembali juga butuh waktu dan proses. Pendidikan karakter adalah salah satu jalan yang paling mungkin ditempuh untuk melancarkan peng-indonesia-an kembali ini. Pendidikan sebagai sarana sosialisasi terbaik selain keluarga, sangat mungkin juga mampu menjadi sarana penumbuhan nasionalisme. Tujuan umum sebuah sekolah memang menciptakan lulusan yang hebat di iptek dan kuat di imtaq, tetapi pasti lebih baik bila nasionalisme juga dijadikan tujuan sekolah dengan tingkat prioritas yang sama dengan dua tujuan pokok di atas.
Mungkin hanya sebatas ini persoalan apatisme pemuda Indonesia dikupas melalui sudut pandang pemuda yang entah sudut pandang ini terlalu tajam hingga mengusik ketenangan hati atau mungkin terlalu tumpul untuk menembus hati nurani para pembaca. Permasalahan apatisme ini tidak akan bisa teratasi selama sosok contoh yang benar-benar bisa membangkitkan nasionalisme tidak ada karena generasi muda sekarang cenderung meniru apa yang dilihat, bukan lagi meniru apa yang didengar. Jadi selama masih ada waktu, tidak ada salahnya jika generasi muda memulai peng-indonesia-an kembali dari diri sendiri sebab tidak akan terjadi apa-apa jika menunggu memulai dari orang lain sebelum memulai dari diri sendiri. Semoga tulisan ini mampu menggugah sedikit nasionalisme pembaca. Pada akhirnya, semoga sejarah baru pemuda Indonesia segera mencatat “Habis Apatisme, Terbitlah Nasionalisme” dengan tinta emas.
*Janitra Icta Almer adalah Siswa SMAN 4 Malang
1 komentar:
Bagaimana sertifikat dan buku untuk kami? Itu semua merupakan hak kami
Posting Komentar