Oleh IWAN ROFIQ, S. PD. *)
Fakta yang ada di masyarakat menunjukkan bahwa semangat nasionalisme mulai luntur. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal yakni pada saat peringatan hari besar nasional, pernahkah menjumpai rumah warga di lingkungan yang tidak mengibarkan bendera merah putih? Dulu sebulan sekali saat hari minggu selalu bersama bergotong-royong sekadar membersihkan selokan atau lingkungan. Sekarang, beberapa bulan sekali atau bahkan beberapa tahun sekali baru sempat berkumpul melakukan gotong-royong. Hal yang lain adalah ketika pelaksanaan upacara bendera di sekolah, siswa-siswa sulit diajak tertib dan khidmat. Keprihatinan ini muncul diselimuti oleh pertanyaan tentang ada apa dengan nasionalisme?
Memang di era globalisasi dan perkembangan teknologi sekarang ini, masyarakat semakin dituntut untuk selalu berpacu dengan waktu agar tidak tertinggal semakin jauh dengan kemajuan zaman. Setiap hari selalu berkerja dan berusaha tak kenal lelah dan tak peduli waktu pagi, siang, atau malam bahkan hari libur. Setiap hari selalu sibuk dengan semua urusan-urusan yang pada dasarnya untuk memenuhi segala keperluan dan kepentingan pribadi yang tidak pernah ada habisnya. Segala kesibukan itu membuat orang lupa dengan beberapa hal penting yang semestinya tidak boleh dilupakan. Orang mulai lupa bagaimana bisa bekerja, mengapa bisa hidup tenang dan senang, bagaimana bisa bebas bersuara dan melakukan apapun yang dikehendaki.
Rasanya tidak salah jika dikatakan bahwa hal-hal tersebut merupakan beberapa faktor yang menunjukkan dan menyebabkan rasa nasionalisme masyarakat semakin memudar. Yang tidak kalah penting lagi, mulai lupa bagaimana menghormati dan menghargai semua jerih payah dan pengorbanan yang sudah dilakukan oleh para pejuang dan pendiri bangsa Indonesia. Sebagian masyarakat saat ini dengan mudahnya memandang sebelah mata lambang-lambang negara yang sudah mereka perjuangkan dengan pengorbanan harta benda bahkan nyawa.
Memang benar kata Menko Perekonomian Hatta Rajasa (Republika, 11 Oktober 2011) yang mengatakan bahwa realitas perkembangan sosial-ekonomi dan politik sekarang ini ternyata menghadirkan tantangan berat bagi nasionalisme Indonesia. Setidaknya, ada dua tantangan utama yang bila tidak diwaspadai dapat menggerogoti eksistensi nasionalisme itu sendiri yaitu tantangan yang bersifat internal dan eksternal
Faktor internal terjadi karena secara faktual masih adanya kelompok yang ingin melepaskan ikatan nasionalisme melalui gagasan disintegratif yang tidak konstruktif. Dalam faktor eksternal, secara gradual Indonesia dihadapkan pada perubahan tatanan dunia melalui arus globalisasi.
Selanjutnya, menurut Rajasa (2011) sadar atau tidak sadar, jika tidak dikelola dengan baik, globalisasi dapat mengikis semangat nasionalisme. Kecintaan pada negeri sendiri dapat berkurang akibat terbukanya arus informasi dan teknologi yang sangat sulit dihindari.
Rasa cinta terhadap bendera, Pancasila dan lambang-lambang negara merupakan pengejawantahan dari rasa nasionalisme. Itu kemudian diikuti dengan penerapan pelaksanaan nilai-nilai dari Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Ada beberapa hal yang bisa diterapkan dalam rangka penanaman nilai-nilai Pancasila di antaranya, seluruh warga sekolah baik siswa maupun guru harus punya itikad baik untuk mengikuti kegiatan upacara dengan tertib dan khidmat dan di setiap kelas harus ada bendera dan lambang Burung Garuda yang terpasang. Di masyarakat sebaiknya diberlakukan aturan bahwa di setiap rumah penduduk seharusnya ada bendera dan lambang Burung Garuda yang terpasang, juga harus ada gerakan bersama untuk selalu mengibarkan bendera merah putih pada setiap peringatan hari besar nasional.
Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa masyarakat sudah mulai melupakan budaya gotong-royong yang selama ini menjadi ciri bahkan nyawa dari kehidupan bermasyarakat. Gotong royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia dari zaman dulu hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, bisa ditemukan sikap gotong royong ini. Gotong royong merupakan suatu istilah asli Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu hasil yang didambakan. Bersama-sama dengan musyawarah, santun, Pancasila, hukum adat, ketuhanan, dan kekeluargaan, gotong royong menjadi dasar filsafat Indonesia.
Itu merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang kokoh dan kuat di segala sisi dan sudutnya, tidak hanya di pedesaan tetapi juga di perkotaan. Budaya dan kebiasaan yang turun-temurun itu sudah ditanamkan oleh nenek moyang sejak kecil hingga dewasa. Walaupun berbeda agama, suku, dan warna kulit, tetapi tetap menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan oleh siapa pun dan bangsa mana pun di dunia ini.
Oleh sebab itu harus ada upaya-upaya nyata berupa kebersamaan dalam setiap kegiatan terutama di lingkungan sekitar yang dilaksanakan untuk menjaga agar sikap gotong-royong ini tetap terjaga kelestariannya. Itu dapat dilakukan dengan menggalakkan kerja bakti paling tidak setiap dua minggu sekali, warga yang tidak hadir harus diberi sanksi atau membayar denda. Menggalakkan kembali pertemuan rutin warga dalam satu RT untuk berpikir dan berbicara secara bersama-sama dalam menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi dalam lingkungan. Rasa handarbeni atau ikut memiliki terhadap bendera merah putih, terhadap lambang Burung Garuda, juga terhadap kebiasaan bergotong-royong tidak boleh pudar dan harus betul-betul ditanamkan ke dalam hati nurani. Sangat pantas jika dikatakan bahwa beberapa hal tersebut sebagai wujud rasa nasionalisme terhadap Indonesia.
Semua itu akan terlaksana dengan baik jika ada kemauan dan kebersamaan masyarakat dan pemerintah. Jika terjadi masalah dengan salah satu anggota masyarakat maka wajib saling mengingatkan seperti yang tersirat dalam Pancasila. Pendidikan tentang Pancasila masih relevan dan cocok untuk disampaikan kepada anak-anak peserta didik sebagai generasi hebat penerus bangsa. Apapun nama pelajaran tentang Pancasila itu, bisa berganti-ganti dari PMP ke PPKN ke PKN dan entah kelak apa lagi namanya, tetapi Pancasila tetap wajib diperkenalkan, diajarkan, dan yang paling penting adalah diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
*) Iwan Rofiq, S. Pd. Adalah Guru SMP Negeri 1 Wlingi, Blitar
0 komentar:
Posting Komentar