Memudarnya Nilai Kebersamaan Pemuda Indonesia

Kamis, 26 April 2012

Share this history on :
Oleh ROSYID RIDHO *)
Kata demonstrasi sepertinya tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mahasiswa. Sebagai agen perubahan, mahasiswa memang mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melakukan perubahan untuk kemajuan bangsa. Dan,dalam konteks politik telah terbukti bagaimana perubahan besar pernah terjadi di negeri ini karena peran mahasiswa.
Kita masih ingat bagaimana gerakan mahasiswa pada 1998, di penghujung kekuasaan rezim orde baru (Orba) pimpinan presiden Soeharto,  terbukti ampuh. Lewat gerakan yang masif dan juga menelan banyak korban, mahasiswa mampu menurunkan pemerintahan Orba yang telah berkuasa hampir 32 tahun. Kini, setelah kekuasaan Orba tumbang,  apakah demonstrasi benar-benar memberikan kontribusi positif bagi proses pembangunanbangsa Indonesia? Sementara pada bagian lain, runtuhnya kekuasaan rezim Soeharto –yang diawali oleh gerakan aksi demonstrasi mahasiswa—ternyata juga tidak banyak berdampak pada kemajuan bangsa.
Hal ini bisa dibuktikan dengan kenyataan masih maraknya tindak pidana korupsidi kalangan pejabat yang masih berlangsung hingga kini. Tindak pidana korupsi tetap saja jadi budaya hampir di semua lini pemerintahan, dari pusat hingga daerah. Juga pelaku tindak pidana korupsi itu tidak hanya dilakukan kalangan elite pemerintahan, tetapi juga merembet ke birokrat menengah-bawah. Hal ini bisa kita lihat dari kasus Gayus Tambunan dan skandal Bank Century yang telah merugikan negara triliunan rupiah.
Kembali pada premis perlukah mahasiswa berdemostarsi dalam menyalurkan aspirasi? Mari kita kaji dengan seksama dampak aksi tersebut. Tidak bisa disangkal, terlepas pada misi positif yang diemban, aksi demonstarsi umumnya memunculkan efek negatif bagi banyak pihak. Kemacetan arus lalu lintas merupakan salah satu bukti nyata akibat aksi demonstrasi. Ini tentu merugikan parapengguna jalan yang melintas di area atau jalur yang menjadi ajang demonstrasi.Untuk beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, juga Makassar, kemacetan yang terjadi sehari-hari justru kian parah ketika gelombang demonstrasi terjadi di jalan-jalan protocol kota-kota tersebut berlangsung.
Apakah dampak demonstrasi hanya sebatas masalah kemacetan? Tidak jarang ditemui, aksi demonstrasi mahasiswa ternyata kerap diwarnai tindakan anarkis, seperti perusakan juga bentrokan fisik antara demonstran dana aparat keamanan. Ini semua menggoreskan kesan negatif pada masyarakat, meski semula aksi demonstrasi itu diniatkan untuk kebaikan, sebagai kontrol sosial atas kinerja pemerintahan yang buruk dan merugikan masyarakat.
Masih perlu dan efektifkah demonstrasi mahasiswa sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi? Patutkah mahasiswa yang notabene sebagai agen perubahan melalui proses pembelajaran di kampus --sesuai disiplin ilmu masing-masing—justru lebih mementingkan demonstrasi?
Manfaatkan Teknologi Informasi
Demonstrasi pada dasarnya bertujuan menyampaikan pikiran dan sikap terhadap suatu permasalahan yang terjadi. Akan lebih bijak jika dalam mengekspresikan aspirasi, mahasiswa lebih memanfaatkan berbagai macam fasilitas dan teknologi yang tersedia atau mengalihkannya dengan aktivitas yang positif dan produktif, misalnya aktif di bidang olah raga, seni, tulis-menulis dan sebagainya.
Bukankah ini lebih baik ketimbang turun ke jalan yang kerap membuat macet arus lalu lintas, sehingga para pengguna jalan bisa dengan leluasa menikmati perjalanan? Juga tidak ada bentrok atau gesekan dengan aparat keamanan, tidak ada pembakaran ban bekas. Bukankah dengan menyampaikan pikiran dan sikap dalam keadaan tenang jauh lebih baik daripada dalam keadaan marah di tengah terik matahari?
Dengan pertimbangan itu, sudah waktunya mahasiswa mempertimbangkan kembali tradisi aksi turun ke jalan dan menggelar orasi yang sering membuat suasana tak nyaman bagi masyarakat. Tanpa bermaksud menafikan aspirasi yang hendak diperjuangkan, sudah waktunya mahasiswa memanfaatkan saluran lain dalam menyuarakan aspirasi.
Perkembangan teknologi informasi bisa dimanfaatkan sebagai sarana perjuangan. Melalui budaya menulis dengan sarana jejaring sosial, blog, website dan lain-lain, aspirasi bisa disalurkan secara maksimal. Saat ini Indonesia tidak hanya membuthkan mahasiswa mampu bersuara keras di jalanan, tetapi juga mereka yang berpikir cerdas dan jernih, serta mengedepankan cara dialogis dan diplomatis dalam beraksi.Bukankah ini justru lebih pantas dan elegan dalam konteks sebagai agen perubahan bangsa ini?. Mari kita kembangkan budaya menulis untuk perubahan Indonesia yang lebih baik.

*) ROSYID RIDHO, Mahasiswa Universitas Jember           
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar