DALAM satu kesempatan di pondok pesantren Darut Taqwa Gresik, KH A. Mustofa Bisri sempat melontarkan kegelisahannya terkait penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Pemangku Ponpes Raudlatut Thalibin Rembang, Jateng itu ngudarasa tentang carut-marut dan amburadul-nya pendidikan di Indonesia.
Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini menilai, masalah tersebut sudah mengakar mulai di tingkat satuan pengelola pendidikan (baca: sekolah) hingga pembuat kebijakan tertinggi di bidang pendidikan. Bahkan, menurut Gus Mus, ruwetnya dunia pendidikan terjadi secara sistemik, karena menyentuh hampir seluruh tahapan dalam proses pembelajaran di sekolah.
Kegelisahan sang kiai sebenarnya cukup beralasan jika melihat output pendidikan yang ternyata belum banyak menyentuh aspek sumber daya insani peserta didik secara tatol. Hal ini karena sejak awal telah terjadi distorsi dalam memaknai pendidikan, yang di dalamnya terdapat instrumen pendidik (orang yang mendidik atau guru), peserta didik (murid/siswa), dan pengelola sekolah. Sinyalemen ini kian tak terbantahkan jika dikaitkan dengan sistem evaluasi akhir yang dijadikan acuan penentu kelulusan peserta didik.
Lihat saja kebijakan Ujian Nasional (Unas) dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang ditetapkan dan hingga kini diberlakukan pemerintah. Terlepas dari kontroversi penerapannya di lapangan, dari sisi materi, ujian itu sesungguhnya belum cukup merepresentasikan pola pendidikan yang dalam perspektif pesantren dikenal dengan istilah tarbiyyah dalam arti sesungguhnya. Sebab, model atau materi ujian yang harus dikerjakan peserta didik umumnya tidak lebih dari pengajaran (ta’lim) bidang studi yang diajarkan di sekolah.
Kalau mau jujur, sesungguhnya materi ujian yang disajikan kepada peserta Unas/UASBN itu hanya berisi materi-materi pelajaran yang lebih bersifat kognitif, tidak banyak menyentuh aspek pembangunan dan pemberdayaan daya insani peserta didik yang ditandai adanya perubahan perilaku moral/akhlak atau budi pekerti.
Uniknya, selama bertahun-tahun Unas/UASBN yang hanya terdiri atas sebagian kecil dari total mata pelajaran, justru menjadi penentu kelulusan peserta didik. Perancang atau pembuat soal-soal ujian hanya berorientasi bagaimana peserta mampu mengerjakan soal-soal yang disodorkan, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau akhlak yang dimiliki peserta didik setelah lulus sekolah kelak.
Ini yang kemudian berpengaruh pada pola dan materi pembelajaran yang diberikan oleh pendidik (guru) kepada peserta didik (murid). Tak heran, banyak pengelola satuan pendidikan menerapkan sistem “kejar tayang” pada satu tahun terakhir pada tiap level pendidikan, yakni pada kelas VI untuk jenjang SD/MI, kelas IX untuk SMP/MTs, dan kelas XII untuk tingkat SMA/SMK/Aliyah. “Kejar tayang” yang dimaksud adalah, materi ajar dua semester dihabiskan (secara kuantitatif) dalam satu semester I. Sedangkan pada semester II, peserta dipacu dengan mengunsumsi soal-soal yang diproyeksikan setingkat dengan materi ujian akhir.
Tidak hanya itu, pada periode akhir tiap jenjang pendidikan tersebut siswa masih harus menjalani berkali-kali try out, sebagai bekal menghadapi Unas/UASBN. Tujuannya, peserta didik memiliki kesiapan dan terbiasa dengan pola pengerjaan soal-soal yang diprediksi selevel dengan yang akan mereka hadapi dalam ujian akhir.
Dalam kasus ini, baik guru maupun murid sepertinya telah menjadi korban teror oleh pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini. Guru atau pengelola sekolah yang tidak mau menanggung malu akibat ada muridnya yang tidak lulus, akan mati-matian menyiapkan muridnya untuk bertempur dalam ujian. Meski tak jarang ditemui, demi kelulusan muridnya, sang guru atau penyelenggara satuan pendidikan “terpaksa” melakukan kecurangan (dengan berbagai modus) demi mengejar lulus 100%.
Lebih parah lagi, kecurangan itu bahkan dilakukan secara massal dan terorganisasi. Ini terjadi lewat pengondisian petinggi di Dinas Pendidikan di daerah kabupaten/kota. Demi nama baik daerah, para kepala sekolah diminta bekerja sama dalam mengawal murid-muridnya agar bisa lulus 100%. Karena itu, meski sistem pengawasan ujian dilakukan secara silang, biasanya antarpengawas yang sudah “dibekali” kepala sekolah masing-masing, terjadi kesepakatan untuk tutup mata terhadap peluang kecurangan yang terjadi. Akibatnya, misi pengawasan terhadap peserta ujian berubah jadi praktik perjokian, baik secara terang-terangan maupun terselubung.
Para orang tua atau wali murid pun tak mampu menghindar dari pengondisian ini. Karena persepsi yang terbangun dan mengakar adalah bagaimana peserta didik mampu mengerjakan soal-soal yang mereka hadapi dalam ujian akhir, maka tak sedikit orang tua harus berburu lembaga bimbingan belajar (LBB). Meski untuk ini mereka harus mengalokasikan dana tidak sedikit.
Tujuannya hanya satu: menyiapkan anak-anak mereka agar mampu mengerjakan soal-soal ujian secara maksimal. Dan, para pengelola LBB pun menangkap fenomena ini sebagai peluang bisnis menggiurkan. Tak heran, di mana-mana tumbuh LBB baik yang sudah teroganisasi secara rapi dan profesional maupun yang personal amatiran.
Hakikat Pendidikan
Kalau kita mencermati definisi dan hakikat pendidikan, baik yang diungkap para pakar pendidikan klasik maupun modern, dalam beberapa dekade terakhir, sepertinya telah terjadi distorsi pemaknaan. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia memaknai pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sementara pakar pendidikan Frederick J. Mc Donald memandang pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk mengubah tabiat. Makna hampir sama dapat diperoleh dari terminologi Jawa yang menempatkan pendidikan sebagai panggulawenthah (pengolahan), yakni mengolah atau mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan, dan watak, serta mengubah kepribadian sang anak.
Deskripsi lebih lengkap dan gamblang dapat ditemui dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (Sisdiknas). Pasal 1 ayat 1 UU ini menyebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Dari paparan tersebut jelaslah, bahwa soal-soal Unas/UASBN yang dihadapi peserta didik jauh dari makna serta maksud dan tujuan pendidikan. Karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentingan (stake holder) pendidikan menyamakan persepsi tentang pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan para pakar pendidikan maupun payung hukum yang berlaku, dalam hal ini UU Sisdiknas. Kembalikan makna pendidikan sesuai dengan “fitrahnya” dan jangan ada lagi distorsi dalam memaknai dengan merancukannya antara pendidikan dan pengajaran.
Kita tentu tidak ingin para peserta didik hanya piawai menuntaskan soal-soal ujian dengan hasil gemilang, lalu menafikan perkembangan moral/akhlak atau budi pekerti sebagai bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, kita berharap peserta didik tumbuh dengan berbagai kecerdasan yang secara komprehensif dikembangkan lewat proses belajar mengajar. (*)
*) Suhartoko adalah pengelola lembaga pendidikan di Yayasan Pendidikan dan Sosial Islam (YPSI) Al Huda dan Yayasan Al Ibrah Gresik.
0 komentar:
Posting Komentar