Ketika Sekolah adalah Penting

Senin, 27 Februari 2012

Share this history on :
Oleh Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd *)

ADALAH Rahmad Syarifuddin, salah seorang mahasiswa saya di Prodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan ( PTK). Baru sekitar seminggu yang lalu dia menemui saya di ruang saya di Program Pascasarjana (PPs) Unesa. Tujuannya,  meminta ujian susulan. Tentu saja dia sudah menghubungi saya sebelumnya melalui telepon. Anak MA (Madura Asli) itu sopan sekali. Attitude-nya juga sangat bagus.

Ini adalah ujian yang kelima yang ditempuhnya. Sendirian. Semua temannya sudah selesai menempuh ujian itu. Bahkan perkuliahan semester ini sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu.

Pada matakuliah Teori Belajar, saya memberi  lima kali ujian, yakni untuk teori belajar perilaku dan sosial, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivis, pemotivasian belajar, dan strategi-strategi belajar. Setiap satu topik selesai dibahas (biasanya memerlukan waktu dua atau tiga kali pertemuan), pertemuan berikutnya adalah ujian.
Soal ujian terdiri atas dua bentuk, yakni multiple choice dan essay. Soal jenis pertama harus dikerjakan tanpa membuka buku. Sedangkan pada  soal jenis kedua boleh membuka buku dan internet. Yang penting harus dikerjakan sendiri.
Selain ujian, untuk setiap topik mereka harus membuat ringkasan dalam bentuk power point, dengan ketentuan tertentu. Saya membuat rubrik penilaian power point untuk digunakan sebagai pedoman. Pada power point itu juga, mereka harus memunculkan dua pertanyaan yang berbobot terkait dengan topik yang diringkas (penerapan strategi membuat ringkasan, bertanya, dan metakognitif).
Pola ini mungkin cukup berat bagi sebagian besar mahasiswa. Namun, karena dari pengalaman selama ini pola tersebut memberikan banyak manfaat dalam hal meningkatkan motivasi, pemahaman, dan kemajuan belajar mahasiswa, maka pola yang saya adopsi dari Prof Dr Muhammad Nur, Ketua Pusat Sains dan Matematika Sekolah di Unesa ini, masih saya pertahankan.

Kembali ke Rahmad Syarifudin. Pemuda ini baru mengikuti satu kali pertemuan di awal perkuliahan, ketika sebuah kecelakaan lalu lintas menimpanya pada awal semester yang lalu. Sepulang dari mengajar, sepeda motor yang dikendarainya terserempet mobil. Dia terjatuh dengan luka kaki yang sangat parah. Ya, kakinya patah. Maka tidak ada pilihan, dia harus dioperasi untuk memulihkan kakinya dan menjalani perawatan yang cukup lama.
Ibunya menelepon saya dari rumah sakit, memintakan izin anaknya untuk sedikitnya tiga bulan (sesuai saran dokter) tidak mengikuti kuliah. Tiga bulan. Artinya lebih dari 50 persen dia akan absen. Maka, ketika ibunya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, apakah Rahmad masih boleh meneruskan kuliahnya, saya jawab, “Ya, tentu saja boleh”.
 Beliau bertanya lagi, “Tapi kalau absen selama tiga bulan, apakah dia bisa lulus untuk matakuliah yang ditempuhnya di semester ini?”
Saya sejenak bingung, namun secepat mungkin saya jawab. “'Ibu, apa pun konsekuensinya, Rahmad harus sehat dulu kan? Allah akan mengatur semuanya dengan sangat baik. Yang penting sekarang fokus pada kesehatan Rahmad dulu,” kataku mencoba menenangkan kegusarannya.

Sekitar sebulan setelah itu, Rahmad menelepon saya dan mengatakan, bahwa dia sedang berada di Surabaya. Dia ingin menemui saya setelah kontrol di Rumah Sakit PHC. Karena kebetulan saya sedang ada tugas di luar kota, maka saya katakan, mungkin sebaiknya dia langsung pulang saja ke Madura. Toh dia masih dalam keadaan sakit, dan tidak boleh terlalu banyak bergerak.
Namun ternyata besoknya, ketika saya bertemu dengan Prof Fabiola, dosen pengajar mata kuliah Bahasa Inggis di Prodi S2 PTK, beliau bercerita kalau kemarin Rahmad menemuinya. Nampak sekali Prof Fabiola begitu terkesan pada pemuda itu. Dengan diantar ibunya, berjalan dibantu kruk, Rahmad berusaha menemui dosennya satu per satu untuk meminta izin tidak mengikuti kuliah selama kondisinya belum memungkinkan. Padahal sebenarnya dia sudah meminta izin melalui telepon.

Sekitar dua minggu setelah itu, Rahmad menelepon lagi, dan mengatakan, bahwa dia ingin menemui saya. Dia katakan, dia habis kontrol di Rumah Sakit PHC. Dalam teleponnya dia mengatakan, ketika itu dia tengah  meluncur ke kampus.

Akhirnya, muncullah pemuda itu di hadapan saya. DIa berjalan tertatih-tatih dengan dua kruk menyangga tubuhnya, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Ibunya mendampinginya dengan penuh kesabaran. Mereka diantar pamannya dari Madura dengan mobil pick-up. Ibunya adalah seorang guru SD.
Rahmad merupakan anak satu-satunya, dan bapak Rahmad sudah lama meninggal. Karena begitu kuatnya keinginan Rahmad untuk sekolah, ibunya memberanikan diri mengambil pinjaman dari bank  Rp 10 juta. Uang itu sudah digunakan untuk membayar SPP semester pertama sebesar Rp 5 juta. Sisanya yang 5 juta untuk cadangan membayar SPP semester kedua.
Sisa uang itu masih tetap mengendap di tabungan. Bahkan meskipun  memerlukan banyak dana untuk pengobatan Rahmad, sang ibu memilih meminjam dari koperasi sekolah dan dari teman-temannya yang lain, sehingga tidak mengutak-atik uang yang diplot untuk membayar sekolah Rahmad. Juga ketika rumahnya rata dengan tanah karena diterjang badai puting beliung, ia tetap bertahan untuk tidak menggunakan uang sekolah itu. Sang ibu memilih pinjam dari sanak-saudaranya untuk memperbaiki rumahnya.
Perempuan sederhana itu menceritakan semuanya dengan sangat tegar, dengan tutur kata yang lancar, tidak ada nada mengeluh. Bahkan berkali-kali justru rasa syukur yang meluncur dari bibirnya, karena meskipun cobaan beruntun menderanya, Allah tetap melindunginya dan anaknya. Lebih dari itu Allah  selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.

Rahmad mengatakan, kalau kondisinya sudah memungkinkan, dia akan mengumpulkan semua tugas dan akan menempuh semua ujian untuk mata kuliah saya. Dia juga akan lakukan hal yang sama untuk matakuliah lain. Dia tanyakan apa itu bisa? Saya katakan, bahwa saya belum bisa memastikan. Bahwa jumlah kehadiran memengaruhi nilai partisipasi kelas.
Karena saya Kaprodi S2 PTK, saya berjanji akan menghubungi semua dosen pengajar  dan meminta kesediaan mereka untuk melayani Rahmad dengan memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tugas dan menempuh ujian. Setidaknya, meskipun nilainya tidak bisa optimal --karena nilai partisipasinya pasti sangat rendah--, setidaknya yang penting dia bisa lulus, meski dengan nilai minimal sekali pun. Tentu saja kalau dia dinilai pantas lulus,  saya tidak akan melakukan intervensi pada dosen yang bersangkutan, karena itu menyangkut kewenangan dosen. Saya juga katakan pada Rahmad, saya harus konsultasikan kebijakan ini pada Prof Muslimin, Asisten Direktur  I PPs.

Besoknya, ketika saya menelepon semua dosen, jawaban mereka melegakan saya. “Oke, Bu Lutfi, no problem,” kata Prof. Fabiola.
“Siap, Prof,” ujar Prof Munoto.
Jawaban dosen-dosen yang lain pun bernada sama. Prof Muslimin, Asdir I, juga menyerahkan pada kebijakan saya sebagai Kaprodi dan kesepakatan dosen-dosen pengajar. Saya benar-benar lega.

Saya sampaikan kabar yang melegakan itu kepada Rahmad. Dia nampak senang sekali, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia berjanji akan segera mengikuti kuliah bila kondisinya sudah memungkinkan, dan akan berupaya mengejar ketertinggalannya.

Tiga kali pertemuan sebelum perkuliahan semester ini berakhir, Rahmad tiba-tiba muncul di kelas. Masih mengenakan kruk, tapi tinggal satu. Saya tanyakan ke dia, apakah kondisinya sudah memungkinkan untuk ikut kuliah.
Dia jawab, “insyaallah, ibu. Yaa....dipaksa-paksa sedikit, Ibu. Sekalian latihan jalan.”
Sejak itu, dia mulai mengumpulkan tugasnya satu demi satu. Menempuh lima kali ujiannya setahap demi setahap. Hal  itu juga dilakukan untuk mata kuliah yang lain. Setiap kali saya ketemu dosen pengampu mata kuliah, hampir semuanya mengemukakan kekagumannya pada Rahmad. Mereka kagum pada daya juangnya dan motivasi belajarnya yang luar biasa, juga pada kehalusan budi pekerti dan kesantunannya.
Hampir setiap hari selama minggu-minggu terakhir perkuliahannya itu, dia menyetorkan tugas-tugas, menempuh ujian, dan mengikuti kuliah demi kuliah. Di dalam setiap perkuliahan, dia berusaha untuk sepenuhnya terlibat, bertanya, menanggapi, menunjukkan kesungguhannya untuk mengejar ketertinggalannya dalam nilai partisipasi kelas.

Sebagai seorang dosen yang sudah puluhan tahun bertugas, saya sering dibuat terharu dengan kegigihan beberapa mahasiswa saya. Beberapa dari mereka ke kampus sambil membawakan nasi bungkus untuk teman-temannya. Tentu saja teman-temannya itu harus membelinya. Ada pula yang membawa goreng-gorengan, seperti tahu, tempe, pisang, dan lain-lain.
Selain itu, di antara mereka ada juga yang harus membagi waktu sedemikian rupa karena dia bekerja sebagai tenagacasual di sebuah hotel. Tak heran, kadang-kadang di kelas terkantuk-kantuk, kelelahan. Saat ini ada sekelompok mahasiswa bimbingan saya berwira usaha dengan menjual berbagai makanan di kampus. Mereka kerap berlari-lari untuk mengejar perkuliahan yang akan segera dimulai. Namun begitu, mereka menjalani aktivitas kuliahnya dengan sangat baik,  tugas selalu tepat waktu, UTS- UAS tidak ketinggalan, dan aktif di kelas.

Sebagian besar mahasiswa S2 saya adalah guru dan sebagian lagi dosen, yang tetap harus mengajar di antara waktu-waktu kuliahnya. Seorang mahasiswa saya, Abdul Fatah, guru SMA di Lamongan, setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu,nglaju  dengan vespanya. Seorang lagi, dosen Unmuh Madiun, harus  nge-bus.
Beberapa yang lain, bersepeda motor Pamekasan-Surabaya (PP), Mojokerto-Surabaya, dan Jombang-Surabaya. Spirit mereka, ya spirit itu,  begitu bisa saya rasakan. Spirit untuk menuntut ilmu, apa pun motivasinya. Padahal, kalau mereka sekadar ingin dapat ijazah S2, mereka bisa mendapatkannya dengan jauh lebih mudah dari banyak perguruan tinggi swasta yang menawarinya. Mereka tidak harus bersusah-payah dengan menjadi mahasiswa reguler dengan segala macam aturan dan beban kuliahnya.

Spirit itu begitu kuat karena bagi mereka, sekolah adalah penting. Mungkin ada banyak hal juga yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di antaranya, ada dosen yang terlalu banyak memberikan tugas, dosen yang sering mengubah jadwal semaunya, dosen yang sangat pelit nilai, bahkan dosen yang membosankan ketika mengajar.
Tetapi, mereka semua menjalaninya dengan sangat realistis. Bagaimanapun mereka sudah ada di sini. Dan, do my bestitulah pilihan sikap yang terbaik. Bahkan bagaimana menghadapi kejenuhan yang luar biasa saat dosen mengajar dengan membosankan, perlu kemampuan mengelola emosi dan daya tahan yang luar biasa. Bila mereka mampu melewatinya, maka satu tahap telah berhasil dicapainya. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik, bahkan dari seorang dosen yang mengajar dengan cara yang paling membosankan sekali pun.

Bagi mereka, pendidikan jelas bukan sekadar persekolahan (meminjam istilah Daniel M. Rosyid dalam Potret Sekolah Dewasa Ini).  Dan bagi mereka, belajar juga bukan sekadar untuk lulus ujian.  Pendidikan dan belajar bagi mereka, saya yakin, adalah benar-benar untuk bekal menyongsong masa depan.
*) Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd  adalah Ketua Program Studi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK), Unesa

Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

0 komentar:

Posting Komentar