Oleh Suhartoko:
SETIAP akhir tahun ajaran, dunia pendidikan dasar dan menengah selalu mempersiapkan diri menjalani pergantian atau peningkatan jenjang sesuai tingkatan masing-masing, baik di level SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA, termasuk pada pendidikan anak usia dini (play group dan TK). Ini momentum tahunan yang tak jarang membuat para orang tua kelabakan. Selain harus berburu sekolah favorit pascakelulusan, mereka juga menyongsong kenaikan kelas. Konsekuensinya, dana ekstra pun harus disiagakan.
Meski tergolong klasik, masalah biaya sekolah tetap menjadi perhatian publik. Persepsi kerap mengemuka terkait proses pendidikan adalah, masalah tingginya biaya yang harus dipikul oleh peserta didik/wali murid. Bahkan tak jarang stigma sekolah mahal yang diidentikkan dengan komersialisasi pendidikan mencuat ke ranah publik.
Munculnya persepsi tentang mahalnya biaya pendidikan, mencerminkan kegelisahan sebagian wali murid dalam mengantarkan anak-anak mereka menapaki jenjang pendidikan. Tak bisa dimungkiri, kendala biaya menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka putus atau gagal sekolah. Ini konsekuensi masih rendahnya “daya beli” masyarakat untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka.
Bisa memasukkan anak ke lembaga pendidikan atau sekolah yang bermutu merupakan harapan dan kebanggaan orang tua. Namun, ketika dihadapkan pada besarnya biaya pendidikan yang ditetapkan pengelola sekolah, baik negeri maupun swasta, banyak orang tua yang harus mengelus dada. Dan, bagi yang taraf ekonominya tergolong pas-pasan, kuatnya stigma sekolah mahal tak bisa dibantah.
Sebenarnya, mahal atau murah, tinggi atau rendahnya biaya pendidikan sangat relatif dan bergantung pada sudut pandang atau kepentingan para pihak. Bagi pengelola sekolah, untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang bermutu, konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari adalah menyangkut besarnya biaya operasional. Sebab, untuk merealisasikannya perlu dukungan fasilitas dan infrastruktur yang memadai. Masalahnya, haruskah seluruh biaya pendidikan itu dibebankan kepada peserta didik atau wali murid?
Kita memang tidak bisa menutup mata terhadap tingginya biaya pendidikan yang berlaku saat ini. Karena itu, pepatah jer basuki mawa bea, berlaku dalam mengantarkan anak-anak kita dalam mengenyam pendidikan. Tetapi, juga kurang sportif jika kita –secara membabi buta-- mengklaim biaya di sekolah tertentu mahal, tanpa mencermati spesifikasi layanan atau fasilitas yang diberikan sekolah kepada peserta didik.
Transparansi Pengelolaan
Sangat mungkin, stigma sekolah mahal terbentuk karena publik tidak mendapatkan informasi secara tuntas, terutama menyangkut pengelolaan anggaran pada institusi pendidikan. Ini terjadi karena publik tidak selalu memiliki akses cukup memadai untuk mendeteksi aliran dana di sekolah. Juga bisa jadi, pihak sekolah sengaja menutup akses informasi alias tidak transparan dalam mengelola anggaran pendidikan.
Karena itu, untuk menghapus stigma sekolah mahal, sudah waktunya institusi atau lembaga-lembaga pendidikan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Karena itu, dalam menyusun rencana anggaran pendapatan dan biaya sekolah (RAPBS), pihak sekolah juga harus melibatkan para orang tua/wali murid yang bisa direpresentasikan lewat Komite Sekolah. Partisipasi aktif wali murid tidak saja menyangkut besaran nilai SPP atau uang gedung, tetapi seluruh alur distribusi anggaran, termasuk pos-pos sumber dananya.
Untuk mengeliminasi kekhawatiran dan kecurigaan publik, secara periodik sekolah juga mesti membuat laporan tertulis tentang pengelolaan anggaran sekolah yang secara mudah bisa diakses, misalnya lewat penerbitan jurnal berkala atauweb site. Kalau perlu, tiap tahun pengelola melibatkan auditor independen untuk mengaudit kondisi keuangan sekolah.
Jika pola tersebut diterapkan, publik tentu tidak lagi mempertanyakan, atau bahkan mencurigai pengelolaan keuangan di sekolah. Pada gilirannya, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sekolah, terutama menyangkut aliran dana, secara bertahap akan menghapus stigma sekolah mahal. Sebab, publik akan bersikap objektif dan proporsional setelah mendapat kepastian, bahwa pengelolaan sekolah tidak ada yang ditutup-tutupi. (*)
0 komentar:
Posting Komentar