Ketika Nasionalisme Tergadai

Kamis, 26 April 2012

Share this history on :
Oleh ERVIN NURUL AFFRIDA *)

Konseptualisasi anak–anak sebagai generasi penerus bangsa merupakan hal lazim yang biasa diungkapkan oleh para petinggi negeri ini dalam berbagai kesempatan pidato. Ketika berpatokan pada statemen tersebut, tentu menjadi sebuah tanggung jawab dan beban tersendiri bagi anak – anak. Hakikatnya, sebagai generasi penerus bangsa, sudah selayaknya ada penyelarasan antara konsep berpikir dan pola perilaku yang akan dilakukan untuk bangsa ini.
Degradasi realita yang muncul justru berbanding terbalik dari harapan pidato petinggi negeri yang mengutamakan peran anak–anak sebagai generasi penerus bangsa. Misalnya, pada penerapan lagu kebangsaan yang seharusnya diprioritaskan, justru terkikis dengan lagu-lagu girl /boy band yang sedang ngetren dan menjadi ideola anak negeri. Meskipun upacara bendera yang dilakukan di setiap institusi pendidikan telah dilakukan secara rutin, namun masih saja belum mendapat hasil relevan terkait dengan menyanyikan lagu kebangsaan, dari segi hafalan teks lagu maupun ketepatan sikap peserta didik ketika menyanyikan lagu kebangsaan.
Menyanyikan lagu kebangsaan dianggap sebagai hal yang tidak begitu penting, karena hanya dilakukan ketika upacara atau kegiatan–kegiatan seremonial. Dan mampu menirukan serta hafal lagu–lagu yang sedang populer merupakan sesuatu yang wajib agar tidak dianggap kolokan atau ketinggalan zaman. Hal tersebut merupakan asumsi negatif yang kuat berkembang dalam konsep berpikir anak-anak negeri.

Lebih Menyukai Asing
Berkaitan dengan pembahasan lagu kebangsaan di atas, terdapat kondisi yang jauh berbeda terhadap calon generasi penerus bangsa. Misalnya, anak–anak dan remaja begitu lincah ketika menikmati alunan konser Cherrybell dengan gaya khas chibi–chibi-nya. Alunan musik yang sedang “in” sepertinya telah mendarah daging pada calon generasi penerus bangsa . Hal ini di buktikan  ketika dalam situasi apa pun mereka mampu mengenali, bahkan hafal penyanyi beserta gaya khasnya ketika diputarkan lagu–lagu yang dianggapnya populer. Tidak tanggung–tanggung, bahkan menirukan style hingga mencari tahu profil penyanyi yang diidolakan pun dilakukan ketimbang hanya sekadar mengetahui pahlawan Indonesia.
Selain itu dilihat dari sektor perekonomian, para pemilik pendapatan perkapita yang tinggi, misalnya petinggi negara, pengusaha maupun publik figur mayoritas menyediakan anggaran khusus untuk wisata ke luar negeri daripada menikmati wisata lokal. Mereka lebih bangga ketika berbelanja ke luar negeri daripada menggunakan produk dalam negeri yang di doktrin memiliki kualitas yang lebih rendah dibanding produk asing.
Di tengah keterpurukan ekonomi secara global, cukup ironis ketika bangsa Indonesia masih “terjajah” di negeri sendiri. Misalnya, kemudahan membeli tiket promo dari maskapai penerbangan asing membuat kian menurunnya minat anak bangsa untuk menikmati produk negeri sendiri.
Tekanan rasisme dan diskriminasi juga terjadi ketika calon generasi penerus bangsa lebih suka mengadopsi budaya asing yang dianggap lebih modern. Misalnya demam K-pop yang telah menjamur di kalangan anak negeri. Menirukan budaya asing menjadi sesuatu yang wajar dan mulai meninggalkan khasanah budaya sendiri. Mereka lebih merasa bangga ketika membudayakan menikmati makanan cepat saji yang ditawarkan oleh orang asing daripada  menikmati makanan lokal.
Sifat ramah-tama, guyub-rukun, sebagai ciri khas bangsa Indonesia pun mulai terkikis ketika pengadopsian budaya asing begitu kuat. Misalnya, penggunaan salam manis ‘an jong haseyo’ atau ‘ohayo gozaimas’ dianggap sebagai trend ter-update daripada menggunakan sapaan dalam bahasa Indonesia.
Secara umum memang nasionalisme anak negeri cukup rendah, selain itu rasa bangga telah menjelajahi negeri orang pun masih terbilang cukup tinggi. Memang, mengunjungi negeri lain akan sangat memperkaya khasanah wawasan dan pemikiran. Nmun karena rendahnya nasionalisme dapat  menyebabkan kecenderungan meremehkan produk maupun kekayaan negeri sendiri. Bahkan mereka sering tidak kembali ke Indonesia ketika telah merasa nyaman dengan negeri asing.
Teori Empirisme oleh John Lock dapat dijadikan flashback dari kejadian–kejadian di atas, sehingga menyebabkan lunturnya nasionalisme anak negeri. Dalam buku “Essay Concerning Human Understanding “ dinyatakan, bahwa manusia dilahirkan dengan keadaan jiwa yang bersih , seperti kertas putih tanpa sifat dan tanpa ide.
Teori tabularasa , teori kertas putih, kertas tidak tertulis dapat dianalogikan sebagai gambaran anak–anak sebagai generasi penerus bangsa. Menjadi apa kertas putih tersebut, bergantung pada pengalaman dan siapa yang menuliskan pada helai–helai kertas tersebut. Sangat mungkin menjadikan mereka sebagai seorang pemimpin yang hebat, atau membuatnya sebagai masyarakat dengan nasionalisme yang kuat. Atau bahkan sebaliknya, menjadikan mereka justru sebagai generasi yang dapat menghancurkan bangsanya sendiri.
John Lock juga beranggapan, bahwa  pembawaan yang dimiliki oleh anak–anak itu tidak ada. Semua yang dimiliki oleh anak sekarang hanyalah pengaruh dari didikan. Didikan untuk membentuk helaian kertas putih yang dianalogikan tersebut.
Pernahkah kita berpikir dari mana munculnya pengaruh didikan yang kuat sehingga dapat membentuk helaian kertas putih  sebagai analogi dari calon generasi penerus bangsa? Pernahkah kita berpikir bagaimana munculnya orang–orang dengan nasionalisme yang tinggi, seperti Bung Karno maupun Pangeran Diponegoro?
Munculnya didikan paling dasar tersebut sebenarnya tidak mutlak berasal dari bakat bawaan,  tetapi berasal dari didikan atau  pola asuh orang tua sebagai implementasi dari teori tabularasa tersebut. Atau lebih tepatnya pendidikan yang paling dasar berasal dari pendidikan yang ditanamkan melalui kebiasaan dalam kehidupan keluarga.
Meskipun bukan seorang negarawan, namun mereka mampu membentuk Soekarno  kecil menjadi ujung tombak pemimpin bangsa yang pertama. Meski bukan ahli pendidikan, namun mereka juga mampu membentuk tangan-tangan kecil Habibie untuk menjadi piawai menciptakan pesawat terbang.
Dalam pasal 30 (1) UUD 1945 disebutkan tentang hak dan kewajiban tiap warga negara ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Hak dan kewajiban tersebut harus selaras dengan realita yang berkembang di masyarakat. Generasi yang mampu mengharumkan nama bangsa melalui karya–karyanya seperti kejuaraan pada Sea Games juga merupakan salah satu bentuk pertahanan negara.  Ataupun sebaliknya, perilaku salah asuh pada anak bangsa seperti menjadi teroris di negeri sendiri juga merupakan bentuk merusak keamanan negara.

Penanganan Salah Asuh
Perilaku salah asuh tersebut dapat diatasi dengan upaya preventif dan kuratif. Pertama, dilakukan melalui sistem atau pola asuh orang tua sebagai pendidikan prasekolah. Orang tua harus mampu mengarahkan dan memfasilitasi anaknya agar dapat mencintai negaranya sendiri. Misalnya, membiasakan budaya “salam” terhadap orang tua serta memberikan pemahaman tentang kebudayaan, lagu-lagu daerah maupun lagu kebangsaan sejak dini. Orang tua juga harus selektif terhadap pola hubungan anaknya dengan lingkungan, yang makin menawarkan budaya–budaya asing yang dapat membuat terkikisnya rasa mencintai negeri sendiri.
Kedua, dilakukan melalui sistem pendidikan yang tidak hanya menawarkan profit, namun lebih mengedepankan kualitas. Setelah masa prasekolah, mayoritas anak–anak akan menghabiskan waktunya di sekolah. Tenaga pendidik sangat memiliki peranan penting dalam hal ini.
Munculnya perilaku salah asuh pada generasi penerus bangsa, menurut Adler, disebabkan karena tidak berkembangnya minat sosial dari gaya hidup yang diabaikan. Contoh sederhana, ketika anak-anak bersalaman dengan gurunya sebelum memasuki kelas, sering guru tidak memperhatikan si anak. Bahkan secara tidak langsung, guru telah mengajarkan muridnya untuk tidak menghormati orang lain. Hal yang sama terjadi ketika upacara bendera berlangsung. Guru sering sibuk berbicara sendiri, padahal mereka selalu mewajibkan kedisiplinan kepada peserta didik. Pembentukan mental nasionalisme anak dalam bidang pendidikan harus memiliki relevansi antara teori dan sikap agar menghasilkan peserta didik yang berkualitas sebagai generasi penerus bangsa.
Berdasarkan pandangan teori behavioral, perilaku manusia itu dapat dibentuk dan dikondisikan oleh lingkungan. Maka, generasi penerus bangsa juga akan terbentuk secara alamiah melalui proses–proses lingkungan. Seperti sebuah pepatah, samudera yang luas berasal dari anak sungai-sungai yang kecil. Begitu pula halnya dengan generasi penerus bangsa yang hebat terlahir dan dapat dibentuk melalui proses atau hal–hal kecil yang sering diabaikan.
Oleh karena itu, anak–anak yang merupakan kertas putih seperti pada analogi teori tabularasa tentu dapat dikondisikan sesuai dengan apa yang dicita-citakan sebagai generasi penerus bangsa yang sesungguhnya. Generasi yang mampu mengerti bagaimana mencintai negerinya sendiri. Generasi yang mampu menciptakan oase ketika begitu banyaknya muncul doktrin negatif terhadap negerinya. Dan akhirnya menjadi generasi yang mampu membusungkan dada dan berkata, “Aku bangga menjadi anak Indonesia.”

*) ERVIN NURUL AFFRIDA, Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Thank you for visited me, Have a question ? Contact on : youremail@gmail.com.
Please leave your comment below. Thank you and hope you enjoyed...

2 komentar:

Hafiz Farihi mengatakan...

Sepakat..

Nasionalisme memang terkait erat dengan pendidikan. Dan peran yang paling besar ada di keluarga. Di sekolah walaupun upacara selalu diadakan tiap pekan, tapi jika tidak dibudayakan dan ditumbuhkan nasionalismenya, upacara hanya akan menjadi seremonial..

Unknown mengatakan...

ehm... ada pendapat yang menyatakan, cinta tanah air bukan hanya sekedar cinta tanah dan air tapi membebas segala permasalahan yang ada di negri ini, aktif dalam kegiatan sosial membantu yang membutuhkan, mengembangkan ekonomi bangsa, membangun dan membuat negri ini berjaya.. jika begitu, maka saya sepakat memang upacara bendera hanya ritualisme semata (tapi ritual tetap penting).. butuh akhlak dan kepribadian yang membangun untuk melaksanakannya

Posting Komentar