Oleh SARNO, S.PD
Di tengah carut-marutnya negeri tercinta ini ternyata
masih ada tangan-tangan kreatif dari anak-anak negeri
yang dapat merakit dan memoles sebuah mobil yang bernama ESEMKA.
Hal ini boleh dikatakan sebagai pioner atau rintisan awal menuju Indonesia baru
yaitu Indonesia yang sedang bangkit dari keterpurukannya.
Tak dapat dipungkiri, era globalisasi yang melanda negeri ini telah menjadi perhatian serius di berbagai kalangan, baik di kalangan akademisi, birokrasi, maupun kalangan awam. Seiring perkembangan teknologi yang super cepat dan canggih itu, kita bisa jadi kelabakan dalam menghadapinya. Terlepas dari siap atau tidak siap, tentu kita dituntut untuk ambil bagian terhadap kehadiran dan penggunaan teknologi tersebut. Kalau kita tidak siap apalagi tidak menguasai, kita akan tergilas oleh kemajuan zaman yang ditengarai hadirnya teknologi yang boleh dikatakan mahadahsyat itu.
Contoh sederhana terkait dengan kemajuan teknologi yang diangkat dalam tulisan ini adalah pemakaian handphone yang cenderung merusak tatanan berbahasa para penggunanya. Tak peduli siapa saja, dengan handphone tersebut umumnya mereka berkomunikasi tanpa menghiraukan kaidah-kaidah kebahasaan. Mereka menyampaikan pesan-pesan melalui tulisan yang disingkat tanpa mengindahkan aturan-aturan kebahasaan. Misalnya, “maaf saya masih diperempatan jalan” disingkat “5f sy 5sih diper4tan jln”. Penyingkatan semacam itu jelas tidak dikenali dalam kaidah bahasa Indonesia. Adapun salah satu faktor penyebab kesalahan tersebut karena adanya angka-angka yang dihurufkan. Hal tersebut senada dengan yang dijelaskan oleh Berthold Damshauser (Universitas Bonn/Jerman) seperti yang terkutip sebagai berikut:
Melihat gejala zaman sekarang yang memang sangat didominasi aspek-aspek visual, suara-suara pesismis itu menyimpulkan bahwa ramalan Comte sudah menjadi kenyataan. Kiranya, tak dapat dinafikan bahwa manusia zaman sekarang, terutama generasi muda, menjauh dari teks atau keberaksaraan. Saya sendiri menyaksikannya di negeri saya. Kemampuan berbahasa di Jerman menurun drastis, juga minat baca. Bahkan banyak mahasiswa yang tidak sanggup lagi menyusun teks yang memadai, baik dari segi tata bahasa maupun logika....teks yang bermutu, sarat ide, dan ditulis dengan gaya bahasa yang baik. Saya tidak berbicara tentang teks iklan atau sms. Namun, kita semua terutama pecinta bahasa mesti waspada. Posisi teks mulai terancam. Kita terpanggil membela teks, membela keberaksaraan, membela buku, membela budaya baca. Hal ini penting agar ide besar dan gagasan baru masih memiliki wadah yang memadai....[1]
Tak lepas dari globalisasi dan teknologi, Dorothea Rosa Herliany dalam makalahnya memaparkan bahwa ada banyak hal dalam globalisasi yang tak bisa dihindari atau ditolak, tetapi ada satu hal yang tak bisa dilakukan oleh globalisasi yaitu menyamakan identitas budaya masing-masing negara.[2] Dengan mencermati premis-premis di atas, cepat atau lambat bahasa, budaya dan etika pergaulan kita sebagai anak bangsa cenderung bermuara ke arah degradasi moral.
Belum lagi kalau kita mengakses internet, jarak antara surga dan neraka hanya sebatas jari, begitu pula jarak antara Pacitan dengan Pakistan, Kalimantan dengan California, Amerika dengan Ameriki, Tukiyem dengan Tokyo, semua dapat dijangkau dengan jari tangan, bahkan jari kelingking. Namun, jika anak kita tergelincir ke jurang kenistaan lantaran hadirnya teknologi tersebut, kita sebagai orang tua atau guru jangan ceroboh lantas menyalahkan teknologinya. Alangkah tepatnya jika kita membentengi mereka (pengguna teknologi) dengan agama, pancasila, sastra maupun filter lain yang dirasa menjadikan kita tetap kokoh sebagai anak bangsa yang tetap berkepribadian Indonesia.
Di samping hal-hal di atas, hadirnya teknologi globalisasi ini dikhawatirkan dapat menjungkirbalikkan visi maupun misi pendidikan kita, yang akhirnya dimungkinkan pula merambah pada hilangnya jati diri bangsa. Bukankah Pendidikan kita dewasa ini telah tercerabut dari akar budayanya karena terbawa arus besar yang tidak disadari dan tidak jelas arahnya? Kalau memang demikian kenyataannya, jangan heran kalau mental kita sebagai anak bangsa terjerumus ke mental yang ke barat-baratan sehingga kita cenderung silau terhadap barang dari luar dan acuh terhadap milik sendiri.[3]
Tetapi kita masih pantas bersyukur karena di tengah carut-marutnya negeri tercinta ini ternyata masih ada tangan-tangan kreatif dari anak-anak negeri yang dapat merakit dan memoles sebuah mobil yang bernama ESEMKA. Hal ini boleh dikatakan sebagai pioner atau rintisan awal menuju Indonesia baru yaitu Indonesia yang bangkit dari keterpurukannya.
Dalam Cakrawala (1998: 3) Kuntowijoyo memberikan kesaksian bahwa sastra dianggap telah gagal dalam memperhalus budi pekerti bangsa ini, gagal dalam mengantisipasi krisis multidemensi yang teramat dahsyat yang sedang melanda bangsa kita. Krisis yang membuahkan pemiskinan masal ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Bahkan dalam halaman yang sama, Safii Maarif menambahkan bahwa yang gagal itu bukan hanya sastra saja. Menurut Maarif, agama dan pancasila juga telah gagal membawa bangsa ini agar tetap berada dalam koridor moral dan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Akan tetapi dalam dialog Secangkir Kopi buat Kota Ngawi, yang digelar di Pendapa Wedya Graha Ngawi (2000), kesaksian Kuntowijoyo dan Maarif di atas ditepis oleh Tengsoe Tjahjono, yang menjelaskan bahwa kegagalan itu bukan terletak pada sastranya, agamanya dan pancasilanya. Lebih lanjut Tengsoe menjelaskan bahwa kegagalan tersebut terletak pada metode penyampaiannya. Terlepas dari dua pendapat tersebut, menurut hemat penulis jika keliru metode penyampaiannya, apalagi jika metode penyampaiannya tersebut berkiblat pada teknologi yang kebarat-baratan, kita akan kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia yang bermartabat entah cepat atau lambat.
Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan bahwa bangsa kita telah menjadi bangsa yang pemarah. Mahasiswa berunjuk rasa dengan cara yang kasar, tidak sopan dan menghina kepala negara. Perkelahian anggota DPR sempat mewarnai persidangan. Perkelahian antarpelajar semakin runyam. Anak usia sekolah ada kalanya brutal. Bahkan dalam Kompas, 30 Januari 2010 anak yang masih duduk di bangku SD dimejahijaukan lantaran bertengkar dengan temannya. Nah, semua itu merupakan prilaku yang mencederai dunia pendidikan. Dengan kondisi yang demikian carut-marut, diperlukan pemikiran bersama yang lahir dari keprihatinan bahwa membangun jati diri keindonesiaan tanpa meninggalkan teknologi perlu ditegaskan dan direalisasikan.
Mungkinkah dalam waktu yang relatif cepat, bangsa Indonesia kembali pada jati dirinya sebagai bangsa yang santun, ramah, bermartabat dan berbudaya luhur? Tentu, akan tetapi perlu proses yang relatif lama, karena dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara masih terlihat fenomena yang memprihatinkan, yakni memudarnya rasa nasionalisme dan rasa patriotisme. Padahal jargon-jargon keramahan terus digemakan, ayat-ayat suci terus digaungkan, kemanusiaan dan hak asasi manusia terus diteriakkan dalam retorika politik[4]. Sedangkan pada ranah sosial-budaya muncul fenomena lain yaitu memudarnya rasa kesatuan, persatuan, dan kegotongroyongan. Lagi pula kesenian tradisional dilupakan dan tersingkir. Padahal di dalam kesenian tradisional itu memuat warisan budaya nasional dan sering mengajarkan nilai-nilai moral. Tetapi perlu disadari bahwa, pembentukan kepribadian itu tidak berlangsung di ruang hampa. Pembentukan karakter yang mengarah ke jati diri bangsa merupakan proses sosial dan budaya yang di dalamnya berlangsung penanaman tata nilai dan pendewasaan anak didik. Jadi proses tersebut menyatu dalam dan dilaksanakan oleh masyarakat.
Organisasi pendidikan tidak bisa berjalan sendiri. Ia bergerak dalam satu gabungan besar bersama organisasi-organisasi lain, misalnya organisasi keagamaan, organisasi politik, organisasi ekonomi, dan organisasi hukum. Oleh karena itu sudah barang tentu banyak hal yang bisa membangun atau justru sebaliknya mencederai dunia pendidikan. Padahal kiprah dunia pendidikan semestinya hadir sebagai pembangun jati diri bangsa.
Lantas bagaimana solusi agar Bangsa Indonesia kembali pada jati dirinya? Tentu saja peran guru Bahasa Indonesia terkait pendidikan karakter dan jati diri bangsa menjadi penting, di samping komponen-komponen yang lain. Bukankah Indonesia saat ini telah dihadapkan pada kegagapan RSBI maupun SBI yang dengan jelas memperlihatkan kelatahan berbahasa asing atau bahasa Inggris? Ya, begitulah kiranya kondisi saat ini yang terjadi, padahal RSBI tidak harus menggunakan bahasa Inggris. Toh, kalau kita memang tidak bisa lepas dari bahasa Inggris, ada sebuah ungkapan yang tepat yaitu “Bahasa Asing Silakan Berkembang, Bahasa Indonesia Jangan Melayang”. Hal ini berarti, sekalipun kita mahir berbahasa asing (Bahasa Inggris) tapi jangan lupa bahwa kita adalah bangsa yang mempunyai bahasa sendiri yaitu bahasa Indonesia. Begitulah jika kita tidak mau kehilangan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Kita harus bangga dengan apa yang telah kita miliki. Bahasa itu menunjukkan Bangsa. Oleh karenanya, para guru Bahasa Indonesia dan para penyuluh bahasa dituntut getol menjadi garda terdepan untuk mempertahankan eksistensi Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Guru dan orang tua dalam masyarakat seharusnya mampu memupuk mental anak-anak agar mereka tidak terjangkit mental kekanak-kanakan yaitu silau terhadap barang dari luar dan acuh terhadap milik sendiri. Sejarah membuktikan dengan bahasa Indonesialah negeri yang beraneka ragam suku bangsa dan budaya ini dapat disatukan.
Pembangunan dalam membentuk jati diri menuju keindonesiaan yang kokoh juga tidak terlepas dari guru sastra. Para guru sastra harus selektif dalam memilih karya sastra yang akan diapresiasinya, karena sastra merupakan karya cipta yang menggunakan medium bahasa untuk merumahkan pengalaman bagi penikmatnya. Karya Sastra tidak bisa lepas dari konteks kebahasaan. Keberadaanya merupakan (hidden-teacher) guru tersembunyi. Untuk itu karya sastra perlu diakomodasi sebagai media sumber belajar. Namun pantas disayangkan, dongeng yang dulu sangat melekat di hati anak-anak, kini tergerus tergantikan modernisasi teknologi yang belum tentu sesuai dengan kepribadian bangsa. Padahal dongeng itu bisa membentuk dan memperhalus budi pekerti bangsa. Dengan dongeng anak-anak kita mudah mengambil nilai-nilai. Tentu nilai-nilai yang baik harus diteladani, dan nilai-nilai yang jahat harus dijauhi.[5] Nah, yang menjadi permasalahan adalah seberapa banyakkah guru-guru kita, orang tua kita yang masih setia mendongeng demi anak-anak kita tercinta?
Pemilihan bahan ajar yang berupa karya sastra untuk konsumsi anak didik harus dilaksanakan dengan selektif. Tidak semua karya sastra tepat atau nyaman bagi psikologis mereka. Sebab karya sastra memiliki genre dan kekhasan tersendiri dibanding karya-karya yang lain. Ada kalanya sastra hadir dalam kemasan spesifik dengan bahasa keseharian yang vulgar. Hal ini dapat dimaklumi, karena karya sastra hadir dan tetap dipandang sebagai keindahan di samping kegunaan, (dulce et utile).[6] Tanpa bahasa yang khas, karya satra tidak akan menyentuh dan tidak akan menimbulkan efek emotif. Hanya dengan cara seperti itu karya sastra walaupun ujudnya cerita rekaan namun benar-benar menjadi utuh, hidup seperti dunia realita yang tak perlu disembunyikan atau ditutup-tutupi.
Berkaitan dengan materi dan bahan ajar, kiranya penulis sependapat dengan apa yang ditawarkan oleh Jack Parmin melalui lima kriteria yaitu, 1) bahan atau materi sebaiknya yang setingkat atau sederajat dengan tingkat pengetahuan siswa, 2) materi haruslah mengandung ajaran atau doktrin tentang budi pekerti, akhlak, keimanan, ketaqwaan dan tuntutan ke arah kebenaran, 3) materi hendaknya memungkinkan pekerjaan jiwa dan perasaan siswa berkembang dengan baik, 4) materi harus mampu membantu siswa mengenal dan memahami manusia secara lebih baik, 5) materi hendaknya menunjukkan pemahaman tentang kebudayaan yang lebih baik.[7] Jika apa yang kita sampaikan telah berada di jalur yang ditawarkan di atas, diprediksi bahwa anak didik kita tidak akan mengalami lompatan-lompatan dalam hal mengurutkan ide atau gagasan hingga akhirnya tak jelas mana ujung dan mana pangkalnya.
Untuk tataran anak-anak pada tingkat rendah tentu belum bisa disuguhi cerita dengan bahasa keseharian yang vulgar, sebab pemikiran mereka belum begitu stabil sehingga sulit untuk mengolah mana yang tabu, mana yang santun, dan mana yang seharusnya ditirukan. Sedangkan untuk orang dewasa, atau setidak-tidaknya anak setingkat SMA jelas tidak menjadi kendala. Sebab mereka sudah mempunyai tingkat emotif untuk membedakan mana baik dan mana buruk, mana benar dan mana salah, mana yang pantas dan mana yang tabu.
Dengan mencermati kondisi tatanan yang tidak menentu seperti sekarang ini, sebaiknya kita kembali ke pendidikan berkarakter keindonesiaan. Pendidikan karakter itu niscaya menghindari terbentuknya manusia-manusia berwajah garang, manusia berwatak dan prilaku keras, brutal, agresif, yang satu ingin menguasai atau menindas yang lain. Pendidikan Karakter Bangsa itu berupaya membentuk manusia-manusia yang mampu menghargai harkat dan hak-hak asasi manusia dan bukannya membentuk manusia yang hanya menjadi pendusta bagi hati nurani diri mereka sendiri.[8]
Pelaksanaan dan penerapan pendidikan karakter yang mempunyai muatan jati diri kiranya telah menjadi kompleksitas yang benar-benar rumit, karena bangsa kita tidak mampu menepis arus globalisasi teknologi yang angkuh dan mencengkeram. Pendidikan di Indonesia memang perlu mengakomodasi perkembangan global, namun sisi-sisi lain yang harus dipahami bahwa pendidikan Indonesia haruslah bermuatan karakter dan mengakar pada kepribadian maupun kekhasan bangsa sendiri.
Oleh karena itu, sudah selayaknya kita menggali nilai-nilai yang sudah dimiliki. Dengan demikian penerapan yang paling tepat untuk membangun jati diri keindonesiaan adalah melalui konsep Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing ngarsa sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuru handayani yang berarti di depan kita memberi teladan, di tengah kita memberi motivasi, dan di belakang kita memberi pengaruh. Itulah yang seharusnya dilakukan guru, orang tua dan masyarakat lingkungan kita. Tentu saja hal itu dilakukan di mana saja, kapan saja alias setiap saat. Namun pada kenyataannya mata kita masih tetap nyalang ketika terfokus pada sebuah layar kaca yang menampilkan suguhan-suguhan berita korupsi di sana-sini yang semakin menjadi. Hal ini menandakan bahwa prinsip keteladanan seperti yang digagas Ki Hajar Dewantara masih sangat memprihatinkan. Namun demikian kita tetap optimis dan berharap, jika hal-hal di atas bisa dikomunikasikan dengan baik, kelak anak didik dan generasi kita akan menjadi bangsa yang kokoh memiliki harkat dan martabat serta jati diri keindonesiaan sejati seperti masa lalu.[9] Semoga..!
Menurut Radhar Panca Dahana, pembaca adalah raja di depan sebuah karya, tak satupun yang dapat memaksanya. Begitupun sebaliknya, pengarang adalah raja saat ia menuliskan karyanya, tak seorangpun yang dapat menindas ide dan imajinasinya.[10] Jika artikel pendek ini berbeda dengan interpretasi pembaca, maka penulis hanya mengemban sebuah falsafah yaitu “Ibarat Beban Belum Lepas Dari Bahu”. ***
[1] Berthold Damshauser, “Pertukaran Budaya Melalui Sastra,” Makalah, dipresentasi pada Seminar Internasional yang bertajuk Pertukaran Budaya Melalui Sastra. Graha Cendikia, IKIP PGRI Madiun, 15 Maret 2012
[2] Dorothea Rosa Herliany, “Melompat dari Kungkungan Pembaca Lokal,” Makalah, dipresentasi pada Seminar Internasional yang bertajuk Pertukaran Budaya Melalui Sastra. Graha Cendikia, IKIP PGRI Madiun, 15 Maret 2012
[3] Sarno, “Bahasaku Sayang Bahasaku Malang.(Tinjauan Terhadap Lunturnya Kebanggaan)” Media N0. 08/Th.XXXV/Oktober 2005, hlm. 3
[4] Paparan Maria Hartiningsih, Kompas 11 Agustus 2010
[5] Sarno, “Upaya Menghidupkan Budaya Mendongeng” Dapatkah Dongeng Membentuk Budi Pekerti Anak? Lawu , Edisi 29/Th. IV/2004, hlm. 19
[6] Pendapat Horace yang dikutip Wellek (1989:25)
[7] Jack Parmin,”Pengajaran Apresiasi Sastra di Sekolah:Langkah Alternatif Guru,”
Inovasi Vol. 1 /No. 2/November 2004, hlm. 163-166. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Pendidikan, Unesa. Surabaya.
[8] Suminto A. Sayuti, “Sastra dan Upaya Pendidikan Karakter,” Makalah, dipresentasi pada Seminar Internasional di RM Notosuman Ngawi, 19 Januari 2011
[9] Endro Sutrisno, “Pengembangan Bahan Ajar Berbasis Pendidikan Berkarakter,” Makalah, dipresentasi pada seminar nasional di IKIP PGRI Madiun, 11 Desember 2010
[10] Radhar Panca Dahana. Kebenaran dan Dusta Dalam Sastra. Magelang:Indonesia Tera 2001. hlm. 180
0 komentar:
Posting Komentar