Oleh WIENDA DIAN HAPSARI F., SE
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).
Terjemahan:
Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhinneka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa)
Siapa yang tidak pernah mendengar nama Gajah Mada? Seorang pria yang digambarkan bertubuh tambun yang hidup pada abad ke-13, berasal dari sebuah kemaharajaan Majapahit, kerajaan Hindu – Buddha terakhir yang ada di bumi nusantara. Visinya yang memandang jauh ke depan dan misi yang diembannya dalam rangka mencapai visinya menjadikan Gajah Mada sangat populer. Bahkan popularitasnya melebihi Hayam Wuruk, sang penguasa Majapahit tempatnya mengabdi karena berhasil mempersatukan (hampir) seluruh wilayah nusantara dengan sumpah Amukti Palapa-nya. Dalam melaksanakan sumpah Amukti Palapa nya, Gajah Mada memiliki prinsip yang menggambarkan keagungan dan keluhuran pekertinya.
Frasa dalam Kakawin Sutasoma (dari bahasa Jawa Kuno) di atas sangat jelas menyiratkan prinsip yang menjadi dasar bagi Gajah Mada untuk mengambil sebuah keputusan besar yang kelak akan memiliki dampak luar biasa jauh melampaui masanya. Jika kita cermati dengan baik, akan kita temui nilai-nilai moral adiluhung, prototipe karakter bangsa Indonesia, antara lain: jiwa nasionalisme, semangat pluralisme, tanggung jawab, integritas moral, demokratis, dan sabar. Karakter yang sangat relevan dengan keberadaan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan.
Berangkat dari semangat Gajah Mada tersebut kemudian terbentuklah Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi jati diri bangsa Indonesia. Ini artinya, bahwa sudah sejak dulu hingga saat ini kesadaran akan hidup bersama di dalam keberagaman sudah tumbuh dan menjadi jiwa serta semangat bangsa di negeri ini.
Saat memberikan sambutan pada acara Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat atau peringatan berdirinya Keraton Yogyakarta, Rabu (4/6) malam di Keraton Yogyakarta.
Sultan mengatakan, para founding fathers mendirikan bangsa Indonesia tidak atas dasar suku, agama, ras atau golongan tetapi disadari kesadaran dan kesediaan akan adanya multikulturalisme dan pluralisme. "Oleh sebab itu, hendaknya kita selalu mengedepankan sikap saling menghargai dan saling menghormati antarsesama anak bangsa," katanya. (Kompas, 5 Juni 2008)
Sultan mengatakan, para founding fathers mendirikan bangsa Indonesia tidak atas dasar suku, agama, ras atau golongan tetapi disadari kesadaran dan kesediaan akan adanya multikulturalisme dan pluralisme. "Oleh sebab itu, hendaknya kita selalu mengedepankan sikap saling menghargai dan saling menghormati antarsesama anak bangsa," katanya. (Kompas, 5 Juni 2008)
Mari kita coba untuk mengupas beberapa karakter Gajah Mada yang tersirat dalam frasa Kakawin Sutasoma di awal tulisan ini. Jiwa nasionalisme. Rasa cinta yang besar terhadap Majapahit mendorong Gajah Mada mengambil sebuah langkah nyata demi kejayaan Majapahit. Sebuah keputusan yang sangat tidak populer pada zamannya. Bagi Gajah Mada, kejayaan Majapahit adalah kebanggaannya, sebuah visi yang diusung demi membuktikan rasa cinta dan loyalitas pada sang junjungan.
Semangat pluralisme. Majapahit adalah sebuah kerajaan yang hidup pada masa Hindu– Buddha. Pada dasarnya Majapahit adalah sebuah kerajaan Hindu. Namun dalam perjalanannya, agama Hindu yang percaya pada Trimurti (dalam hal ini oleh Gajah Mada diwakilkan pada sosok Siwa) bisa hidup berdampingan dengan agama Buddha. Berangkat dari kesadaran bahwa kerajaan Majapahit dibangun di atas perbedaan menjadikan sang Mahapatih sangat menghargai perbedaan.
Tanggung jawab. Mewujudkan kejayaan Majapahit bukan hal yang mudah. Dibutuhkan rasa tanggung jawab yang sangat besar, di mana sang Mahapatih harus siap dengan segala konsekuensi logis dari upayanya tersebut. Demi kejayaan Majapahit, Gajah Mada siap mengorbankan segala yang dimilikinya, termasuk juga siap untuk berpuasa sampai visinya mempersatukan seluruh nusantara terwujud.
Integritas moral. Integritas moral inilah yang menjadikan Gajah Mada yang hidup dalam masyarakat yang plural mampu bekerjasama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil, dan bermartabat bagi kejayaan Majapahit, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan yang bernilai dan berharga apapun keadaan dan kondisinya.
Demokratis. Latar belakang visi yang dimilikinya berangkat dari pemikiran bahwa pemerintahan Majapahit yang demokratis akan mampu membawa kejayaan bagi seluruh nusantara hanya jika seluruh nusantara ada di bawah pemerintahan Majapahit. Di bawah Majapahit akan terwujud suasana yang harmonis antara satu wilayah dengan wilayah lain. Terwujudnya kemakmuran seluruh penduduk nusantara yang gemah ripah loh jinawi, dan terwujudnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang kokoh.
Sabar. Untuk mewujudkan niat mempersatukan nusantara dibutuhkan kesabaran yang luar biasa. Sekalipun memiliki armada perang yang tangguh, tanpa kesabaran akan sulit bagi sang mahapatih untuk menaklukkan wilayah nusantara yang membentang luas dan terdiri dari ratusan kerajaan besar dan kecil yang siap melawan. Kesabaranlah yang membuat kerajaan-kerajaan yang tersebar di seluruh bumi nusantara menerima untuk bergabung di bawah pemerintahan Majapahit.
Bagaimana karakter Gajah Mada dalam konteks kekinian? Masihkah kelima karakter yang dituliskan di atas menjadi dasar berperilaku bangsa kita saat ini? Berbagai peristiwa yang banyak terjadi akhir-akhir ini cukup menggambarkan betapa semangat ke-bhinneka-an berada pada fase kritis, dalam istilah kedokteran mungkin bisa dikatakan dalam kondisi koma. Atau dalam peribahasa diungkapkan dengan perumpamaan “mati enggan, hidup tak hendak.”
Aksi terorisme terdahsyat yang terjadi di Indonesia dan dikenal dunia sebagai peristiwa Bom Bali (12/10/2002) merupakan salah satu bukti nyata betapa perbedaan menjadi alasan untuk memusnahkan golongan yang tidak satu paham. Peristiwa terkini yang masih hangat adalah kasus GKI Yasmin, Bogor. Kasus GKI Yasmin merupakan bukti konkret bahwa ada sebagian kecil masyarakat kita yang belum menikmati kemerdekaan: merdeka untuk beribadah dan berkeyakinan. Bukti bahwa perbedaan masih menjadi suatu masalah. Masih banyak peristiwa di luar sana yang membuktikan bahwa ternyata karakter Gajah Mada dalam frasa bhinneka tunggal ika pelan tetapi pasti memudar seiring dengan perubahan pola perilaku masyarakat.
Mengapa bisa memudar? Padahal frasa tersebut tertulis jelas pada lambang negara kita yang bisa kita dapati dimanapun juga, terutama pada lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga pendidikan. Ternyata, setelah ditelusuri kita bisa menemukan bahwa memudarnya semangat Bhinneka Tunggal Ika itu terjadi seiring memudarnya pemahaman masyarakat kita akan pentingnya memupuk dan mengembangkan karakter luhur bangsa kita.
Di sinilah peran dunia pendidikan sangat dibutuhkan. Proses re-internalisasi atau menanamkan kembali semangat Bhinneka Tunggal Ika melalui keragaman karakter yang dipayunginya dapat dilakukan dengan baik karena dunia pendidikan memiliki sumber daya yang potensial. Sumber daya itu tidak lain adalah para pendidik dan peserta didik yang merupakan agent of change. Mengapa pendidik dan peserta didik dianggap sebagai sumber daya yang potensial? Tidak lain karena 6 – 7 jam sehari selama 6 hari dihabiskan pendidik dan peserta didik untuk saling berinteraksi dalam bingkai kegiatan belajar mengajar. Pada saat itu proses re-internalisasi dapat dilakukan secara kontinyu dan terpadu. Caranya adalah dengan mengajak peserta didik mengupas sosok Gajah Mada beserta nilai-nilai karakternya. Langkah selanjutnya adalah membuat Gajah Mada menjadi sosok yang diidolakan. Bagaimana caranya? Banyak pilihan cara yang bisa digunakan, diantaranya adalah dengan memanfaatkan semangat kompetisi peserta didik untuk saling berlomba-lomba memiliki karakter yang semirip mungkin dengan Sang Mahapatih. Di luar kegiatan belajar mengajar, pendidik dan peserta didik menjadi bagian dari sebuah keluarga dan anggota masyarakat memiliki kesempatan yang sangat luas untuk menyebarkan dan menularkan semangat Bhinneka Tunggal Ika kembali kepada lingkungan sekitarnya. Informasi yang didapat selama berproses bersama dalam lingkungan pendidikan dapat dijadikan bekal yang cukup untuk mempengaruhipola pikir masyarakat. Memberikan contoh nyata melalui karakter individu yang dijiwai semangat ke-bhinnekaan sang Mahapatih akan menjadi sarana yang ampuh.
Dengan peran serta para pelaku dunia pendidikan, niscaya proses me-re-internalisasi semangat Bhinneka Tunggal Ika akan memakan waktu yang tidak terlalu lama.Terlebih lagi konsep Bhinneka Tunggal Ika bukanlah hal baru. Kita hanya perlu untuk menginternalisasikannya kembali hingga konsep tersebut dapat kembali menjiwai kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dengan dilakukannya proses re-internalisasi, semangat Bhineka Tunggal Ika diharapkan mampu mempersatukan berbagai perbedaan dan keragaman untuk membangun bangsa Indonesia bersama-sama. "Nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dapat menjadi roh dan nafas dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Lewat dua nilai itu pula negara kita dapat dipertahankan hingga masa yang akan datang," ujar Prabowo.
Keberagaman adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa ditawar. Berbeda atau tidak bukan menjadi soal. Yang terpenting adalah kesadaran seluruh komponen bangsa akan pentingnya sikap saling menghargai satu sama lain dan menjunjung tinggi semangat ke-Bhinneka Tunggal Ika-an karena pada dasarnya kita semua berbeda. Tidak hanya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saja, bahkan dalam lingkup terkecil yaitu keluarga perbedaan tetaplah ada. Alangkah indahnya apabila kita bisa merangkum semua perbedaan itu menjadi sesuatu yang menguatkan. Menjadi sesuatu yang Ika hingga akhirnya menjadi Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika yang mendarah daging dan menjiwai hidup kita hingga pada akhirnya kita bangga bisa menjadi bagian dari NKRI yang memiliki semboyan BHINNEKA TUNGGAL IKA. Semoga!
*) Wienda Dian Hapsari F., SE
Alumnus Fakultas Ekonomi – Manajemen Universitas Jember. Kini Guru SMPK Santo Thomas Pamekasan.
0 komentar:
Posting Komentar