Oleh Elia Pramana Putra*)
Dari Sabang sampai Merauke disadari memiliki keragaman yang bermacam-macam. Mulai dari makanan, adat istiadat, suku budaya, agama, ras, hingga kekayaan hayati yang tak bisa dibandingkan dengan negeri lain. Misalnya saja agama, banyak sekali keyakinan yang dianut oleh masyarakat. Saat ini, terdapat lima agama yang paling banyak dianut oleh warga Indonesia. Yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buddha. Tidak hanya itu, dalam dunia kuliner ada satu makanan khas Indonesia yang mendapat julukan sebagai makanan terlezat di dunia. Makanan itu adalah rendang daging. Kelezatannya diakui banyak orang. Itu membuktikan bahwa Indonesia telah dikaruniai suatu kekayaan yang tiada duanya.
Selain itu, Indonesia juga memiliki 748 macam bahasa dan 1.128 suku budaya (berdasarkan survei tahun ini), bukankah itu sangat mengagumkan? Perbedaan yang menyebar luas di tanah air ini sangat mengagumkan dan patut diacungi jempol. Di Surabaya saja terdapat suatu gereja yang berdiri tepat di samping masjid, mereka tidak saling mengolok, tidak saling protes, ataupun bertikai. Mereka hidup saling menyapa dan menjalankan ibadah dengan damai sejahtera. Hal itulah yang harus dipelihara mulai sekarang dan selamanya. Karena dengan menanamkan rasa kebersamaan, maka orang telah maju satu langkah ke depan menuju kedamaian yang sejati, yakni kedamaian yang akan mengubah negeri ini menjadi lebih baik dan lebih berjaya.
Pelangi di Ibu Pertiwi maksudnya adalah suatu gambaran tentang kebersamaan dalam perbedaan di Tanah Air. Pelangi yang beraneka macam warnanya menggambarkan keragaman di Indonesia. Coba bayangkan jika pelangi hanya berwarna merah, hal itu akan menjadi aneh dan tidak indah, atau mungkin rasa soto yang hanya asin saja, itu akan membosankan dan tidak akan menggugah selera konsumen. Jadi, terbuktilah sudah, tanpa perbedaan, Indonesia tidaklah mengagumkan, dan perbedaan tanpa kebersamaan, itu hanya akan membuat Ibu Pertiwi menangis. Akhir-akhir ini banyak konflik yang memuncak ke peperangan dan kerusuhan yang mengatasnamakan perbedaan. Contoh kasusnya adalah kerusuhan di Ambon 13 tahun yang lalu, perang Sampit 11 tahun yang lalu, atau mungkin konflik gunung Kelud yang baru-baru ini terjadi. Lihatlah, betapa terpuruknya negeri ini, sudah tak mampu lagi berjalan bersama menuju kedamaian yang sejati. Maka dari itu, kini saatnya untuk membangun kembali jiwa kebersamaan di benak masyarakat Indonesia, dan memunculkan kembali pelangi yang telah hilang di Ibu Pertiwi.
Konflik pertama adalah kasus di suatu pulau di Indonesia yang bermula oleh karena perbedaan agama. Konflik ini memuncak pada kerusuhan yang melibatkan kaum A dengan kaum B untuk saling membunuh, oleh karena itulah kasus ini banyak menyita pandangan media massa dan elektronik. Sebenarnya kerusuhan ini bisa dicegah jika para penduduk tetap memegang teguh semboyan mereka. Maka dari itu, mari simak kasus berikut.
Kerusuhan Ambon
Bapak Melkisedek Tiven, anggota Partai Hanura dari Maluku menjelaskan bahwa kerusuhan di Ambon, Maluku, sangat membuat bangsa terpuruk. Hal itu terjadi oleh karena hasutan dan isu yang mengatasnamakan perbedaan agama. Kejadian bermula di Kota Dobo, Pulau Aru, Maluku, 17 Desember 1999 (delapan hari sebelum Natal), dan terus menyebar hingga Ambon pada 9 Januari 2000. Kerusuhan ini tidak akan terjadi jika para provokator tidak dikirim dari Jakarta di Pulau Jawa. Para provokator ini telah diurus dan diatur guna memecahbelahkan Maluku. Entah apa yang ada di benak pikiran mereka hingga tega menghancurkan persatuan bangsanya sendiri. Akan tetapi, yang terpenting adalah pada mulanya para penduduk Ambon mengabaikan para provokator tersebut. Hal itu karena para penduduk Maluku merupakan keturunan asli suku Alifuru yang menjunjung tinggi Pelagandong yang artinya “kita bersaudara”, benar-benar rasa kebersamaan yang tak tanggung-tanggung, arti semboyan mereka pun sama derajatnya dengan Bhinneka Tunggal Ika. Itulah sebabnya mereka tidak dapat dipecahbelah. Namun, pada kenyataannya, para provokator tidak berhenti sampai di situ, mereka menyusun siasat lain, yaitu dengan menghasut mereka dengan isu agama.
Para penjajah dari Belanda dan negara Eropa lain paling banyak berada di Indonesia Timur. Penduduk yang tinggal di sana mayoritas beragama Nasrani. Dari kondisi tersebut, dikirimlah provokator dari kaum A untuk menghasut kaum B, dan juga dikirimkanlah provokator dari kaum B untuk menghasut kaum A di Maluku. Dan dari sinilah, semboyan Pelagandong menjadi hancur. Para penduduk yang fanatik dengan keyakinannya sendiri merasa tak terima dengan hasutan yang dilontarkan. Dari kejadian itu, dimulailah sudah kerusuhan Ambon, peperangan di mana-mana, antarumat A dengan umat B. Banyak yang mati terbunuh, tangan terpotong, mata tercongkel, hingga pemerkosaan. Semboyan yang awalnya dipegang teguh, kini telah mereka lupakan. Dan dari kerusuhan tersebut, muncul angka kerugian materi dan korban jiwa seperti berikut.
Korban Tewas : 1.132 jiwa Rumah Hancur : 765
Luka Parah : 312 jiwa Ruko Hancur : 195
Luka Ringan : 142 jiwa Kendaraan hancur : 75
Kejadian yang menimpa Maluku ini sangatlah disayangkan, jika saja kerusuhan itu tidak terjadi, pasti tidak akan ada jerit tangis dan kertakan gigi. Kerusuhan hanya membawa kerugian, serta tak ada keuntungan yang dapat diambil dari peperangan. Seandainya para penduduk Maluku tetap memegang teguh Pelagandong dan Bhinneka Tunggal Ika, pastinya hal ini tidak akan terjadi, maka dari itu, kini saatnya penduduk Maluku memegang kembali makna dari Pelagandong tersebut, Pelagandong yang berarti “kita bersaudara”, menunjukkan bahwa semua adalah saudara, dan kita sadar bahwa sepasang saudara tidak pantas berperang, inilah arti suatu perbedaan, yakni untuk mengisi kekurangan satu sama lain, bukannya bertarung untuk menunjukkan siapa yang terbaik.
Untuk menghindar dari suatu konflik yang dapat memuncak menuju peperangan, hal pertama yang harus dilakukan adalah untuk tidak mudah terpancing. Terpancing disini maksudnya adalah terjerumus masuk dalam emosional yang tidak perlu, seperti mudah marah saat ada yang menghinanya, atau mungkin suka main pukul saat ada yang menghasutnya. Hal tersebut tidak perlu dilakukan, itu hanyalah suatu kesia-siaan yang tak ada gunanya. Jadi, para penduduk diharapkan terus mengontrol emosi dan jiwa agar tidak mudah terpancing dalam hasutan-hasutan yang tak bermakna. Dan untuk mempertahankan kedamaian di Maluku, diharapkan para penduduk tetap memegang teguh Pelagandong yang telah diwariskan oleh suku Alifuru ini, serta tetap menjunjung tinggi rasa kebersamaan dalam perbedaan dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua, apapun agamanya, sukunya, rasnya, adatnya, atau bahasanya, mereka tetap satu… satu bangsa… satu negeri… satu tujuan… menuju perdamaian sejati di Indonesia.
Pada konflik selanjutnya, terdapat suatu kasus yang melibatkan suku-suku di Indonesia. Mereka berkonflik karena salah satu pihak merasa dirugikan dan ditekan oleh pihak yang lainnya, dan dari kondisi tersebut, memuncaklah menjadi suatu peperangan tragis yang menelan ribuan korban jiwa. Semestinya peperangan ini tidak perlu terjadi jika kedua belah pihak bisa saling mengerti.
PERANG SAMPIT
Sampit, merupakan suatu kota yang terletak di Kalimantan Tengah. Pada mulanya kehidupan di sana aman dan tenteram, namun semua itu berubah sejak terjadinya Perang Sampit. Perang Sampit, merupakan perang antara suku Dayak dengan Suku Madura yang terjadi di Sampit pada 17 Februari 2001 dan memuncak pada 25 Februari 2001 dan meluas ke seluruh provinsi hingga ke ibu kota Palangkaraya. Perang ini menelan korban jiwa hingga 2000 jiwa. Suatu keadaan yang benar-benar mengerikan melihat keadaan kota dipenuhi mayat bergelimpangan.
Berdasarkan informasi dari beberapa narasumber, konflik ini bermula oleh karena tindakan Suku Madura yang terlalu semena-mena terhadap suku pribumi di Sampit. Sejak tahun 1972, Madura ingin menguasai perekonomian, sosial-budaya, dan kemasyarakatan daerah Kalimantan Tengah. Entah apa tujuan mereka, tetapi dapat dipastikan bahwa pada saat itu, para penduduk Sampit merasa ditekan. Dari konflik tersebut, terjadilah perang Sampit. Perang yang melibatkan suku Dayak dan suku Madura di kota Sampit. Banyak pria mati dengan kepala terputus dari tubuhnya, tak jarang pula terlihat seorang remaja laki-laki dikeroyok masal. Maka dari itu, perang Sampit adalah konflik yang paling banyak menelan korban jiwa di Indonesia ini.
Menyikapi keadaan tersebut, sebenarnya konflik tersebut tidak perlu terjadi. Karena, jika dilihat dari misi suku Madura yang ingin menguasai perekonomian, sosial-budaya, dan kemasyarakatan Kalimantan Tengah cukup menunjukkan bahwa para suku Madura di kota tersebut serakah dalam melakukan sesuatu. Jadi, perlu dibenarkan sekali lagi, para Suku Madura tak perlu menguasai, selama mereka bisa ‘ikut aktif’ dalam perekonomian, sosial-budaya, dan kemasyarakatan di Kalimantan Tengah, itu sudah lebih dari sekadar “menguasai” dan “mengambil alih”. Maka, penduduk harus membuang sifat serakah tersebut dari dalam benak mereka, sehingga kehidupan akan menjadi lebih tenteram dan saling berbagi.
Kasus yang akan disimak selanjutnya, merupakan kasus yang baru saja terjadi akhir-akhir ini, yang sedang hangat diperbincangkan berbagai media. Konflik ini bermula oleh karena perbedaan pendapat antara kota pertama dengan kota kedua, mereka saling mengklaim dan mengakui atas kepemilikan suatu gunung di Jawa Timur.
Konflik Jatim
Konflik yang baru-baru ini terjadi di Jawa Timur, yakni Kabupaten Kediri yang memperebutkan gunung Kelud dengan Blitar, walau tidak memakan korban jiwa, namun konflik ini amat sangat memprihatinkan. Karena pada dasarnya, perebutan gunung tersebut amatlah tidak perlu, selama gunung itu milik Tanah Air dan bukan milik negeri lain, untuk apa diperebutkan? Jikalau ada yang mengklaim kepemilikan gunung Kelud oleh (misalnya) Malaysia, barulah sebagai putra-putri bangsa mempertahankan apa yang telah menjadi milik negara sedari awal. Sedangkan konflik ini, hanya terpaku kepada perbedaan pendapat, bukanlah sesuatu yang perlu diperebutkan oleh saudara sendiri. Apalagi, telah diinformasikan bahwa Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, telah menyatakan bahwa Gunung Kelud adalah milik kabupaten Kediri, yang kemudian naik ke meja hijau atas gugatan dari pemerintah Blitar. Dari konflik ini, timbul kenyataan bahwa memperebutkan apa yang telah jadi milik sendiri adalah suatu kesia-siaan besar, hanya menimbulkan kerugian materi, tak berguna, dan tak menghasilkan. Gunung Kelud sudah milik Indonesia, jadi bersyukurlah, tak peduli itu ada di daerah Kediri atau Blitar, selama ada di Indonesia, ya disyukuri saja. Jadi, dalam menyikapi konflik yang seperti ini, salah satu pihak harus ada yang mengalah, jangan terpaku pada keegoisan atas kepemilikan gunung tersebut, tetapi terpakulah pada tanah apa yang diduduki oleh gunung tersebut… yakni tanah Indonesia.
Simpulan
Dari ketiga fakta dan kasus yang telah dipaparkan dan diperinci seperti di atas, maka didapati bahwa Indonesia memang benar-benar kaya akan keragaman. Namun, walau beragam, ternyata penduduk Tanah Air masih belum mampu menjaga keeksotisan akan kebersamaan dalam perbedaan. Nyatanya, masih saja banyak kerusuhan antarumat beragama, peperangan antar suku, bahkan konflik perbedaan pendapat atas kepemilikan sesuatu yang seharusnya tak perlu diperebutkan.
Dan dari ketiga fakta di atas, didapati empat sifat penduduk negeri yang dapat memecah bangsa Indonesia. Itu adalah kefanatikan dan mudah terpancingnya orang Indonesia. Seperti pada kerusuhan di Maluku, mereka fanatik pada keyakinan mereka dan mudah terpancing dalam hasutan-hasutan yang tak bermakna. Fanatik di sini artinya sangat membela apa yang ia anut, siapa pun yang tidak mengikuti keyakinannya bukanlah saudara melainkan musuh. Nah, sifat yang seperti inilah yang seharusnya dibuang jauh-jauh, bukankah ada istilah keyakinanku adalah keyakinanku, keyakinanmu adalah keyakinanmu, jadi aku tidak ada hak untuk memusuhimu karena bukan satu keyakinan, dan kamu tidak ada hak untuk menghakimi apa yang aku yakini. Jadi, jangan fanatik dan jangan mudah terpancing.
Dilihat dari sifat selanjutnya, yakni serakah, sifat ini sangat merugikan bangsa, seperti yang dilihat di Perang Sampit, para suku Madura dengan serakahnya ingin menguasai perekonomian di Kalimantan Tengah. Juga egois, sifat ini merugikan banyak pihak, bisa dilihat pada konflik di Jawa Timur, konflik antara Kediri dan Blitar yang memperebutkan Gunung Kelud. Mereka terlalu egois untuk mendapatkan apa yang telah menjadi milik mereka. Bukankah itu sia-sia? Jadi, marilah bersama-sama bergandengan tangan satu sama lain, semua orang dari Sabang sampai Merauke, dari A sampai Z, dari yang miskin sampai yang kaya, dan dari yang rendah sampai yang tinggi. Mari memegang teguh Pelagandong, menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika, hidup dalam suatu kedamaian sejati, suatu kedamaian yang terpaku pada kebersamaan dalam perbedaan, memunculkan kembali pelangi di Ibu Pertiwi. Indonesia, abadilah selamanya!
*Elia Pramana Putra adalah Siswa SMK Negeri 1 Dlangu Mojokerto