Arsip Tulisan

Puisi-puisi MUCH. KHOIRI

Rabu, 21 Maret 2012

MUCH. KHOIRI
Durga Gugat

Sudah terpahat di setiap jidat dan dada manusia
dan setiap garis tangan mereka sejak kanak-kanak:
aku adalah pemegang berlaksa-laksa angkara
dan perampok jiwa dari hijau dedaunan dan sejuk embun .

Mengapa kaubiarkan kupahatkan angkara di setiap jidat dan dada manusia 
dan setiap garis tangan mereka sejak kanak-kanak?
Mengapa tidak kaucegah kupegang dan kukobarkan berlaksa angkara
dan menjadi perampok jiwa dari hijau dedaunan dan sejuk embun?

Aku adalah korbanmu
Apakah engkau masih berdalih itu garis suratan yang mustahil kauubah
padahal kau bukan kerbau yang dicocok hidungnya?
Engkau adalah mahadewa
namun mengapa kau sebegitu tak berdaya
atas buku garis suratan yang telah kalian ciptakan dengan semangat? 

Tidakkah kau juga adalah pengobar bara yang menyala-nyala
dengan membiarkanku menyulut bara yang menyala-nyala,
padahal engkau adalah mahadewa, yang mestinya sangat berdaya?

Kini jawablah, apakah kau sedang bermain-main kuasa
dengan membeber permainan kata atas perempuan:
aku, hawamu, yang kini sedang gugat di depan lututmu
adakah engkau masih punya nurani dan jiwa itu?

Mercure Hotel, Ancol
Jakarta, 8 Juni 2011


Serakah

Kini nyalimu telah membuang malu
dengan aneka-macam cara dan laku:
Gurita-raksasa tanganmu, buldozer kakimu,
traktor bahumu, truk trailer punggungmu;
kau berangkat membabat dan bebas mengeruk
kota beserta gedung, kekayuan di hutan hijau
laut serta tiram, bebatuan lembah-&-puncak gunung
semua habis kauangkut ke gudang rumahmu!

Lalu, kautampar mukamu sendiri tanpa ragu,
tidak kesakitan, ya berkat pipi tembemmu;
kau malah terbahak, selipkan tangan di saku
dan duduk mengongkang kaki setinggi bahu
sambil asyik menghitung-hitung rugi-&-untung.

Lalu, lahap kauisi perutmu dengan bukan punyamu
dan kausempurnakan nafsumu dengan candu
hingga pintu-pintu nurani tersumpal batu-batu
Ah, dasar kamu!
Ya, dasar serakah kamu!


Surabaya, Desember 1997


Lewat Puisimu

Lewat puisimu, mitra, lewat puisimu
sayup-sayup kudengar getar kalbumu
senandungkan etitaf dan elegi tulis
di antara serpihan sisa asamu itu.

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
halus kurasakan pijar-pijar nuranimu
yang menggugah jiwa-jiwa terpaksa lelap
di luar hijau taman yang gencar diplazakan
dan dijaga sekian manusia yang diternakkan.

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
haru aku saksikan kelugasan bibirmu
fasih mengeja prasasti kelabu
: Aku rindu luluh jadi abu
  atau beku dalam gumpal salju
  asalkan kebebasan jiwa milikku!

Lewat puisimu, kawan, lewat puisimu
di sini bersamamu aku, ya setia bersamamu
menyaksikan awan hitamkan langitku-langitmu
yang kini cucurkan darah air mata dan peluh
ke atas pengkuan Ibu Pertiwi yang tersedu-sedu.

Surabaya, 15 Mei 1998



Bagaimana Kami Harus Percaya Padamu?

“Percayalah, kami akan murni dan konsekwen selalu
agar kian jadi bersih dan berwibawa.” Itu katamu dulu.
Maka kami setuju mengukirnya di kalbu—ya di kalbu;
lalu kami kado kamu simbol tongkat, traju, dan palu.

Tapi bagaimana kepadamu kami harus percaya
bila sumpah-janji yang telah kamu sendiri pahatkan
di prasasti putih itu, kini sengaja kamu hancurkan
tepat di depan pelupuk mata kami yang masih awas
hingga puing-puingnya tak pernah kami temukan?

“Akan berdiri kami sebagai penyambung lidahmu itu
agar gema nuranimu nyaring terdengar.” Itu katamu dulu.
Maka kami kagum, kami pun mendorong gerbongmu;
lalu, kami kado kamu sepatu, dasi batik dan bulpen biru.

Tapi bagaimana kami harus percaya kepadamu
bila kamu bukan penyambung lidah dan jerit kalbu,
melainkan ular piton yang menjulurkan lidah cabangmu,
lalu membelit dan meremukkan tulang-belulang anak cucu
hingga luka itu menggetarkan setiap inci bagian tubuh?

Ingatlah, sudah lama kepadamu aku peringati:
Anak cucu kita akan terbang bagaikan sang rajawali
sambil menenteng pita “Bhinneka Tunggal Ika” yang suci
dari atas Gedung Istana hingga tepi sungai, pun hutan jati.
Tapi, dasar kamu!
Kamu anggap kami cuma desau angin
sambil jijik kamu ludahkan liur-basinmu ke kanan ke kiri
dan kamu sumpal lubang kupingmu
dengan segebok kain kafan nurani atau sinis
kamu rapatkan gerbang akal budi
lalu kamu biarkan kami meratap kesepian bagai batu kali.

Kini bagaimana kami harus percaya kepadamu
saat kamu menghiba kami yang pernah kamu katakan tabu
agar mematikan obor nurani mereka yang kian menyilaukanmu;
sedang mereka telah merangkul kami sepakat jadi api dan bara biru
untuk mengucurkan air pencerahan bagi nafsumu yang membatu itu
atau menjemput kebebasan-keabadian yang lama kamu renggut?
Tolong katakan lewat ilalang, jangan bimbang jangan malu
selagi kamu mampu, selagi maaf kami masih berpintu;
Katakan bagaimana kami harus percaya kepadamu?
Ya, katakan bagaimana kami harus percaya padamu?


Surabaya, 16 Mei 1998


Bourbon Street Tengah Malam

Saksikanlah Bourbon Street dengan mata:
Rumah keramaian, pengemis, seniman jalanan—
Cepat atawa lambat—tawar menawar demi uang
Atau berjudi demi sekeping gengsi cuma.
Dan bidadara-bidadari bersayap yang di Surga
Tiada sedikit pun tega meski sekedar menyimak
Jerit rintih Bourbon Street: Rumah khamer & bir
Penari-penari striptease dan supermarket seks
Bersenandung dengan senyum dalam air mata
Dan bebas berteriak dalam kemas kesamaran
--Semua menyalak hingga pagi sinis menjelang.

Saksikanlah Bourbon Street dengan nurani jiwa:
Jiwa-jiwa gontai berlalu-lalang, menggapai makna (?)
Madu kehidupan dengan segala nafsu di gelombang
Samodera ketiadamaknaan purna tanpa batas
Menjeritkan haru demi berjuta-juta kepahitan
Memahatkan kembali sebuah legenda Nasib.


New Orleans, Lousiana
USA, 10-11 Desember 1993





Misteri Tanggal 18

Minggu, 18 Maret 2012

Rukin Firda

Oleh RUKIN FIRDA
 
Inspektur Vijey turun dari mobil dinasnya dan langsung menuju kerumunan polisi berseragam yang membarikade garis polisi. Mengetahui siapa yang hadir, para polisi itu pun menyibak memberikan jalan untuk sang inspektur. Seorang polisi mengangkat pita kuning bertulis police line agak tinggi, agar Vijey bisa masuk ke dalam kantor yang menjadi TKP (tempat kejadian perkara) penemuan mayat pagi itu.

Seorang polisi dengan map berisi beberapa catatan mengikuti langkah Vijey yang bergerak cepat. Sambil berjalan, sang polisi menuturkan beberapa data yang sudah diperoleh saat olah TKP sebelum kedatangan inspektur Vijey. ''Tidak ada tanda-tanda kekerasan, Ndan,'' kata sang polisi.

Vijey hanya ber-dehem. Dia lantas mendekat ke arah mayat yang sudah ditutupi kain putih. Seorang polisi lain menyodorkan sarung tangan karet kepada Vijey. Dia memakainya, lantas membuka kain penutup tepat pada bagian wajah mayat. Seorang perempuan setengah baya. Matanya mendelik. Mulutnya seperti sedang mengatakan sesuatu.

Vijey menarik kain penutup tersebut lebih ke bawah. Tangan kanan mayat itu menyembul dengan kondisi menggenggam. Layaknya seorang demonstran yang mengepalkan tangan saat berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Vijey menutup kembali kain tersebut.

Dia lantas memandang berkeliling memeriksa TKP. Seperti mengerti isi pikiran sang komandan, seorang polisi mendekat. ''Saksi mata yang pertama kali mendapati mayat korban, mengatakan, tidak ada yang berubah pada benda-benda yang ada di sini. Semuanya persis pada tempatnya seperti biasa,'' kata sang polisi.

''Saksi mata adalah OB di kantor ini,'' tambah sang polisi untuk melengkapi laporannya kepada sang komandan.

''Sudah dipotret?,'' tanya Vijey.

''Siap. Sudah, Ndan.'' jawab sang polisi tanpa ragu.

Merasa tidak mendapatkan sesuatu dari TKP, Vijey pergi. Sebelumnya, dia berpesan kepada anak buahnya untuk menyerahkan semua barang bukti yang didapat di TKP siang ini.

''Saya tunggu di kantor,'' perintahnya.

''Siap, Ndan!,'' jawab sang anak buah.

Vijey langsung meluncur ke kantor. Tanpa sempat sarapan, dia langsung masuk ke ruang kerja. Duduk dengan kepala menunduk. Kedua tangannya yang bertelekan pada meja menyanggah jidatnya.
''Apa yang sedang terjadi?,'' tanyanya dalam hati.

Penemuan mayat pagi ini adalah yang ketiga dalam tiga bulan terakhir. Yang membuatnya tidak habis berakhir, kejadian itu berlangsung beruntun saat dia baru saja dipindahkan tugasnya ke resor ini empat bulan lalu. Dia ingat sekali. Dia dilantik sebagai Kasatserse di Polres ini 18 Desember. Dan tepat sebulan kemudian, 18 Januari ada penemuan mayat.

Seorang perempuan setengah baya juga. Ditemukan pagi hari di dalam ruang kantornya juga. Matanya juga mendelik. Mulutnya setengah terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu. Tangan kanannya mengepal layaknya demonstran yang berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Kasus itu menjadi PR pertamanya sebagai Kasatserse di Polres ini.

Vijey tertantang untuk mengungkapnya. Dia bekerja keras dan ingin membuktikan, bahwa dia memang layak menyandang jabatan tersebut dengan secepat mungkin mengungkap kasus yang membutuhkan ketelatenan dan kerja keras tersebut.

Namun, sampai sebulan sejak penemuan mayat itu, dia belum juga berhasil mengungkapnya. Buntu. Semua kemungkinan yang dilidiknya tidak mengarah pada sedikit celah pun untuk mengungkap kasus tersebut.

Sebaliknya, malah terjadi kasus penemuan mayat lagi. Seorang perempuan setengah baya juga. Dengan kondisi yang hampir mirip. Mulut terbuka seperti hendak mengucapkan sesuatu dan tangan kanan mengepal layaknya seorang demonstran yang berorasi di tengah aksi unjuk rasa. Yang paling diingat Vijey dan itu menjadi tanda tanya besar baginya, penemuan mayat kedua itu terjadi tanggal 18 Februari.

Dua kasus dalam kurun waktu sebulan sejak pelantikan dirinya, tentu bukan sebuah catatan yang bagus baginya. Dua PR besar yang harus dihadapinya demi menunjukkan reputasinya. Vijey belum menyerah juga. Dia terus bekerja keras untuk mengungkap kedua kasus tersebut. Bahkan, ketika dia mendapat laporan penemuan mayat pagi ini, dia rebenarnya baru sejenak terlelap.

Semalam dia terus berpikir dan mencari berbagai informasi untuk mengungkap kedua kasus tersebut. Namun lagi-lagi buntu. Sampai dia terlelap di meja kerjanya di samping berkas-berkas yang berkaitan dengan dua kasus penemuan mayat tadi.

Dan kini, 18 Maret. Dia kembali menemukan kasus serupa. Otaknya langsung bereaksi. Feeling-nya mengatakan, bahwa ketiga penemuan mayat tersebut saling berkaitan. Dia berpikir kasus ini adalah sebuah pembunuhan berantai. Namun dia kesampingkan kemungkinan tersebut. Karena dari kedua kasus sebelumnya, dia tidak menemukan tanda-tanda, bahwa kedua mayat tersebut tewas dibunuh. Masih gelap. Belum juga ada bukti-bukti yang menjukkan bahwa kedua korban adalah pelaku bunuh diri. Semuanya masih menjadi misteri.

Tidak menemukan petunjuk apa pun. Dia memejamkan mata untuk waktu tidur yang tersita semalam dan pagi tadi. Rasanya belum lama dia terpejam ketika terdengar*ketukan halus pada pintu ruangannya. Sedikit kaget dia membuka mata.

''Masuk!,'' katanya menjawab ketukan tersebut.

Seorang anak buahnya masuk sembari menyerahkan beberapa berkas.
''Ini Ndan barang bukti dari TKP tadi,'' lapor sang anak buah.

Vijey menerima dan memeriksanya sebentar.
''Foto-foto korban?,'' tanyanya.

''Siap. Di tumpukan paling bawah, Ndan,'' jawab sang anak buah.

''Oke terima kasih.''

Vijey sedang mengamati foto-foto korban. Mata mendelik, mulut seperti mengucapkan sesuatu, dan tangan kanan mengepal. Mengikuti instingnya yang mengarah pada keterkaitan ketiga kasus penemuan mayat tersebut, Vijey langsung teringat pada dua korban sebelumnya. Persis. Mata mendelik, mulut terbuka seperti hendak mengatakan sesuatu dan tangan kanan mengepal.

''Maaf, Ndan. Bisa saya lanjutkan pekerjaan saya?,'' tanya sang anak buah berpamitan.

''Okey. Tapi, tolong ambilkan foto-foto dua korban sebelumnya ya,'' kata Vijey.

Sang anak buah keluar ruangan sebentar dan masuk kembali dengan membawa dua berkas lain. Dia langsung menyerahkan pada sang komandan.

''Ini Ndan,'' seraya menyodorkan kedua berkas tersebut.
''Boleh saya pergi Ndan?'' tanyanya lagi.

''Silakan. Terima kasih,'' jawab Vijey.

Setelah sang anak buah keluar, Vijey menjejer foto ketiga korban. Dorongan untuk mencari keterkaitan ketiga kasus tersebut, membuat dia menatap tajam dan meneliti dengan cermat foto wajah-wajah korban di saat-saat terakhir ketika meregang nyawa. Dia bertanya-tanya, apa sebenarnya yang hendak dikatakan ketiga korban dengan posisi mulut seperti itu. Apakah mereka hendak menyebutkan nama orang yang dekat pada dirinya saat mereka meregang nyawa?

Korban pertama dengan posisi mulut terbuka. Korban kedua sedikit terbuka. Namun ketika dia amati lebih jauh, ujung lidahnya berada di tengah rongga mulut dengan posisi melengkung ke atas sampai menyentuh langit-langit mulut. Mulut korban ketiga sedikit berbeda. Tidak sepenuhnya terbuka. Justru seperti hendak menutup dan menghembus nafas dengan kuat.

Tanpa sadar, Vijey menirukan posisi bibir ketiga korban. Bergantian mulai dari korban pertama, kedua, dan ketiga. Berulang-ulang dia melakukannya. Sampai tanpa sadar dia seperti mengucapkan huruf-huruf tertentu. Ketika menirukan posisi bibir korban pertama, Vijey merasa seperti hendak mengucapkan huruf K. Sedang pada korban kedua, dia seperti hendak melafalkan huruf L. Dan ketika menirkan posisi bibir korban ketiga, dia seperti hendak mengatakan huruf B.

Berulang-ulang dia melakukan itu. Dan setiap kali pula dia merasakan ketiga huruf itulah yang muncul dari bibirnya. Sebegitu jauh, dia belum menemukan benang merah antara ketiga mayat tersebut dan huruf-huruf yang didapatinya tadi.

Makin penasaran, Vijey membongkar berkas ketiga korban tersebut. Dia meneliti identitas dan data-data yang berkaitan dengan ketiga korban. Dia berharap menemukan beberapa kesamaan, setidaknya beberapa datang yang bersinggung. Sampai seharian dia mencoba mengait-ngaitkan data ketiga korban. Namun buntu. Tidak ada setitik pun kesamaan atau sekadar kaitan antara ketiga korban.

Vijey menyerah. Dia menutup ketiga berkas tersebut, lantas meletakkan ketiga map tadi secara berurutan di atas mejanya. Dia berniat salat Duhur dan makan siang. Vijey berharap setelah salat dia bisa mendapat inspirasi untuk mengungkap ketiga kasus tersebut,

Selesai merapikan ketiga berkas tersebut, Vijey bangkit dari kursinya. Dia sudah bersiap melangkah meninggalkan ruangannya. Namun, seperti ada yang menariknya, dia kembali menatap ketiga map yang berjajar tersebut. Dia amati tulisan yang tertera pada setiap map tersebut. Tulisan itulah adalah nama-nama ketiga korban. Satu per satu dia amati. Korban pertama bernama MonIKA. Korban kedua bernama ZulaIKA. Dan korban ketiga bernama IKA Soeryanti.

Ah. Tambah pusing Vijey. Dia pun melangkah menjauh dari meja kerjanya. Membuka pintu ruangan dan pergi ke musholla di Mapolres. Untuk sementara dia kesampingkan tugasnya. Dia ingin khusuk menghadap pada Sang Maha Kuasa. Untuk sementara, biarkan ketiga kasus penemuan mayat tersebut tetap menjadi misteri. Misteri tanggal 18. Misteri huruf-huruf KLB dan misteri nama-nama korban.


Di Tepi Tanggul Lumpur Lapindo$3C/i>
18 Maret 2012.

Instruktur Siap Sukseskan Jatim Menulis

Rabu, 14 Maret 2012

Rukin Firda (Jawa Pos), Dr. Suyatno (Kahumas Unesa),
dan Eko Pamuji (Harian Bangsa) dalam pertemuan panitia.
Rancang Gerakan Masif dan Sistemik di Bidang Pendidikan

Apa jadinya kalau para master trainer berkumpul dalam satu forum diskusi? Kita mesti membayangkan betapa seru dan dahsyatnya alur komunikasi di antara mereka.Itulah yg tergambar dalam pertemuan para instruktur (trainer) program Indonesia Menulis yang dihelat di ruang rapat rektorat Unesa, Rabu (14/3/2012).

Forum yang dihajatkan sebagai persiapan 18 instruktur (trainer)  program Indonesa Menulis yang dikemas dalam Jatim Menulis ini berlangsung seru dan sangat dinamis. Semangat mereka adalah menyukseskan program kerja sama antara Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Jatim ini. 

Para instruktur  Indonesia Menulis memang dipilih dari para "master" atau "pendekar" yang reputasinya tak diragukan dan telah malang melintang di dunia kepelatihan menulis. Mereka terdiri atas para akademisi, guru, juga jurnalis, konsultan media, serta praktisi komunikasi yang andal di bidang masing-masing.

Dalam forum yang dipimpin oleh Project Officer Indonesia Menulis,  Much. Khoiri ini, tak satu pun instruktur yang tidak angkat bicara. Mereka saling menunjukkan kepiawaian dalam memersiapkan diri dengan tips dan trik yang mereka miliki. Tujuan mereka sama, yakni menyukseskan program Indonesia Menulis.

Jurus-jurus ampuh pun mereka keluarkan untuk menjadikan pelatihan dan pendampingan menulis untuk para guru, mahasiswa, dan Siswa SLTA se-Jatim yang  dijadwalkan berlangsung pada 24-26 Maret 2012 ini benar-benar efektif dan mampu mencetak penulis-penulis andal. Mereka juga menginginkan agar pelatihan yang digawangi oleh tim kreatif Mitra Kreasindo Abadi (MKA) ini memiliki nilai plus dan tampil beda dibanding pelatihan-pelatihan pada umumnya. Tak heran, diskusi pun berlangsung  ekstra-dinamis. Adu argumen yang konstruktif tak bisa dihindari dan menunjukkan, mereka memang para trainer berkelas.

Para “pendekar” pelatihan yang 100 persen alumni Unesa itu di antaranya adalah Dr Suyatno MPd (Kahumas Unesa), Drs  Martadi MSn, Anwar Kholil Spd Mpd (konsultan pendidikan World Bank),  Drs Moh. Nadjib MSi. Juga ada Rukin Firda dan Eko Prasetyo (keduanya redaktur senior dan editor bahasa Jawa Pos), Dra Sirikit Syah (dosen dan praktisi media watch,  Ria Fariana (guru dan penulis produktif untuk karya kreatif remaja), serta Eko Pamuji (redaktur senior Harian Bangsa), dan beberapa lainnya.

Satu hal yang juga mencuat dalam forum itu adalah, keinginan para “pendekar” Unesa itu agar Indonesia Menulis tidak sekadar hanya kegiatan pelatihan menulis, tetapi menjadikannya sebagai bangunan besar yang menggarap lebih banyak lagi program untuk kemaslahatan bangsa, khususnya di bidang pendidikan.

“Indonesia Menulis harus didesain sebagai gerakan yang masif dan sistemik. Jadi tidak sekadarpelatihan" kata Martadi.

Karena itu, pasca-launching dengan target menerbitkan empat buku, 2 Mei 2012 nanti, mereka sepakat berkolaborasi  intensif untuk menggarap isu-isu global terkait dunia pendidikan. Targetnya, menjadikan Unesa memiliki peran besar dalam dunia pendidikan dan mampu menyuguhkan kontribusi positif dan konkret untuk negeri ini.

Indonesia Menulis memang mulai digerakkan dari Surabaya lewat bingkai Jawa Timur Menulis. Tetapi, ke depan sayap gerakannya akan menggelinding secara nasional. Bahkan, tak lama lagi akan ada pertemuan khusus utk mengonkretkan Indonesia Menulis sebagai gerakan yang masif dan sistemik sebagai antisipasi masuknya isu-isu global.

“Kami merasa mendapat tambahan energi yang luar biasa dari teman-teman instruktur ini untuk menyukseskan program Indonesia Menulis. Kami juga siap berkolaborasi dengan tim kerja Unesa untuk memberikan kontribusi lebih konkret dan maksimal di dunia pendidikan dan apa saja untuk menjadikan bangsa ini berbudaya menulis,” kata Khoiri seusai memimpin pertemuan tersebut. (sha)

Jatim Menulis Dimulai dari Surabaya

Senin, 12 Maret 2012

Diikuti Ratusan Guru, Mahasiswa, dan Siswa SLTA se-Jatim        

Mesin program  Jatim Menulis yang terbingkai dalam Indonesia Menulis mulai dipanasi. Tidak lama lagi program yang disiapkan untuk memberikan keterampilan menulis kepada para guru, mahasiswa, dan siswa SLTA ini dijalankan. Ratusan peserta akan menjalani program pelatihan dan pendampingan selama 36 jam, dipandu para instruktur dari Unesa dan sejumlah profesional yang andal dan berpengalaman di dunia tulis-menulis.

Pelatihan dan pendampingan menulis  ini akan diikuti para guru dan siswa SLTA dari 38 kabupaten/kota  dan sejumlah perguruan tinggi di Jatim.  Pelaksanaan pelatihan dijadwalkan berlangsung 24-26 Maret 2012 di Surabaya. Setelah menjalani pelatihan, peserta akan mengikuti pendampingan hingga seluruh peserta mampu menghasilkan karya tulis ilmiah populer.

Karya para peserta akan diseleksi dan untuk masing-masing kelompok akan diambil sekitar 40 naskah yang akan diterbitkan dalam bentuk buku dan  akan di-launching di Grahadi oleh Gubernur Jatim, Soekarwo, pada hari pendidikan nasional (Hardiknas), 2 Mei 2012. Lainnya akan ditampung di portal www.indonesia-menulis.com. Dalam launching ini juga akan diserahkan penghargaan kepada penulis terbaik dari masing-masing kelompok, yakni kelompok guru, mahasiswa, dan siswa SLTA.

Program yang terselenggara atas kerja sama Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Jatim ini diperkuat puluhan instruktur andal dan berpengalaman di bawah koordinasi tim kreatif Mitra Kreasindo Abadi (MKA).  Menurut Project Officer Indonesia Menulis, Much. Khoiri, program ini akan dimulai dari Jawa Timur (Jatim) yang dikemas dalam “Jatim Menulis”.

Tahap pertama, lanjut Khoiri, akan dipusatkan di Surabaya. Selanjutnya, pelatihan dan pendampingan menulis ini akan bergerak ke berbagai daerah di Jatim. Menurut Khoiri, para peserta nantinya tidak hanya mengikuti pelatihan dan pendampingan menulis secara teknis. Sebelumnya, mereka juga mendapat suntikan untuk membedah mental block. Tidak hanya itu, para peserta juga akan mendapat berbagai motivasi, di antaranya tentang pentingnya wawasan kebangsaan untuk meneguhkan jati diri dan penguatan karakter kebangsaan. (sha)
  

Stigma Sekolah Mahal

Kamis, 01 Maret 2012

Oleh Suhartoko:

SETIAP akhir tahun ajaran, dunia pendidikan dasar dan menengah selalu mempersiapkan diri menjalani  pergantian atau peningkatan jenjang sesuai tingkatan masing-masing, baik di level SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA, termasuk pada pendidikan anak usia dini (play group dan TK). Ini momentum tahunan yang tak jarang membuat para orang tua kelabakan. Selain harus berburu sekolah favorit pascakelulusan, mereka juga menyongsong kenaikan kelas. Konsekuensinya, dana ekstra pun harus disiagakan.

Meski tergolong klasik, masalah biaya sekolah tetap menjadi perhatian publik. Persepsi kerap mengemuka terkait proses pendidikan adalah, masalah tingginya biaya yang harus dipikul oleh peserta didik/wali murid. Bahkan tak jarang stigma sekolah mahal yang diidentikkan dengan komersialisasi pendidikan mencuat ke ranah publik.
Munculnya persepsi tentang mahalnya biaya pendidikan, mencerminkan kegelisahan sebagian wali murid dalam mengantarkan anak-anak mereka menapaki jenjang pendidikan. Tak bisa dimungkiri, kendala biaya menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka putus atau gagal sekolah. Ini konsekuensi masih rendahnya “daya beli” masyarakat untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

Bisa memasukkan anak ke lembaga pendidikan atau sekolah yang bermutu merupakan harapan dan kebanggaan orang tua. Namun,  ketika dihadapkan pada besarnya biaya pendidikan yang ditetapkan pengelola sekolah, baik negeri maupun swasta, banyak orang tua yang harus mengelus dada. Dan, bagi yang taraf ekonominya tergolong pas-pasan, kuatnya stigma sekolah mahal tak bisa dibantah.

Sebenarnya, mahal atau murah, tinggi atau rendahnya biaya pendidikan sangat relatif dan bergantung pada sudut pandang atau kepentingan para pihak. Bagi pengelola sekolah, untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang bermutu, konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari adalah menyangkut besarnya biaya operasional. Sebab, untuk merealisasikannya perlu dukungan fasilitas dan infrastruktur yang  memadai. Masalahnya, haruskah seluruh biaya pendidikan itu dibebankan kepada peserta didik atau wali murid?

Kita memang tidak bisa menutup mata terhadap tingginya biaya pendidikan yang berlaku saat ini. Karena itu, pepatah jer basuki mawa bea, berlaku dalam mengantarkan anak-anak kita dalam mengenyam pendidikan. Tetapi, juga kurang sportif jika kita –secara membabi buta-- mengklaim biaya di sekolah tertentu mahal, tanpa mencermati spesifikasi layanan atau fasilitas yang diberikan sekolah kepada peserta didik.

Transparansi Pengelolaan
Sangat mungkin, stigma sekolah mahal terbentuk karena publik tidak mendapatkan informasi secara tuntas, terutama menyangkut pengelolaan anggaran pada institusi pendidikan. Ini terjadi karena publik tidak selalu memiliki akses cukup memadai untuk mendeteksi aliran dana di sekolah. Juga bisa jadi, pihak sekolah sengaja menutup akses informasi alias tidak transparan dalam mengelola anggaran pendidikan.

Karena itu, untuk menghapus stigma sekolah mahal, sudah waktunya  institusi atau lembaga-lembaga pendidikan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Karena itu, dalam menyusun rencana anggaran pendapatan dan biaya sekolah (RAPBS), pihak sekolah juga harus melibatkan para orang tua/wali murid yang bisa direpresentasikan lewat Komite Sekolah. Partisipasi aktif wali murid tidak saja menyangkut besaran nilai SPP atau uang gedung, tetapi seluruh alur distribusi anggaran, termasuk pos-pos sumber dananya.

Untuk mengeliminasi kekhawatiran dan kecurigaan publik, secara periodik sekolah juga mesti membuat laporan tertulis tentang pengelolaan anggaran sekolah yang secara mudah bisa diakses, misalnya lewat penerbitan jurnal berkala atauweb site.  Kalau perlu, tiap tahun pengelola melibatkan auditor independen untuk mengaudit kondisi keuangan sekolah.

Jika pola tersebut diterapkan, publik tentu tidak lagi mempertanyakan, atau bahkan mencurigai pengelolaan keuangan di sekolah. Pada gilirannya, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sekolah, terutama menyangkut aliran dana, secara bertahap akan menghapus stigma sekolah mahal. Sebab, publik akan bersikap objektif dan proporsional setelah mendapat kepastian, bahwa pengelolaan sekolah tidak ada yang ditutup-tutupi. (*)