Arsip Tulisan

Instruktur Siap Sukseskan Jatim Menulis

Rabu, 14 Maret 2012

Rukin Firda (Jawa Pos), Dr. Suyatno (Kahumas Unesa),
dan Eko Pamuji (Harian Bangsa) dalam pertemuan panitia.
Rancang Gerakan Masif dan Sistemik di Bidang Pendidikan

Apa jadinya kalau para master trainer berkumpul dalam satu forum diskusi? Kita mesti membayangkan betapa seru dan dahsyatnya alur komunikasi di antara mereka.Itulah yg tergambar dalam pertemuan para instruktur (trainer) program Indonesia Menulis yang dihelat di ruang rapat rektorat Unesa, Rabu (14/3/2012).

Forum yang dihajatkan sebagai persiapan 18 instruktur (trainer)  program Indonesa Menulis yang dikemas dalam Jatim Menulis ini berlangsung seru dan sangat dinamis. Semangat mereka adalah menyukseskan program kerja sama antara Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Jatim ini. 

Para instruktur  Indonesia Menulis memang dipilih dari para "master" atau "pendekar" yang reputasinya tak diragukan dan telah malang melintang di dunia kepelatihan menulis. Mereka terdiri atas para akademisi, guru, juga jurnalis, konsultan media, serta praktisi komunikasi yang andal di bidang masing-masing.

Dalam forum yang dipimpin oleh Project Officer Indonesia Menulis,  Much. Khoiri ini, tak satu pun instruktur yang tidak angkat bicara. Mereka saling menunjukkan kepiawaian dalam memersiapkan diri dengan tips dan trik yang mereka miliki. Tujuan mereka sama, yakni menyukseskan program Indonesia Menulis.

Jurus-jurus ampuh pun mereka keluarkan untuk menjadikan pelatihan dan pendampingan menulis untuk para guru, mahasiswa, dan Siswa SLTA se-Jatim yang  dijadwalkan berlangsung pada 24-26 Maret 2012 ini benar-benar efektif dan mampu mencetak penulis-penulis andal. Mereka juga menginginkan agar pelatihan yang digawangi oleh tim kreatif Mitra Kreasindo Abadi (MKA) ini memiliki nilai plus dan tampil beda dibanding pelatihan-pelatihan pada umumnya. Tak heran, diskusi pun berlangsung  ekstra-dinamis. Adu argumen yang konstruktif tak bisa dihindari dan menunjukkan, mereka memang para trainer berkelas.

Para “pendekar” pelatihan yang 100 persen alumni Unesa itu di antaranya adalah Dr Suyatno MPd (Kahumas Unesa), Drs  Martadi MSn, Anwar Kholil Spd Mpd (konsultan pendidikan World Bank),  Drs Moh. Nadjib MSi. Juga ada Rukin Firda dan Eko Prasetyo (keduanya redaktur senior dan editor bahasa Jawa Pos), Dra Sirikit Syah (dosen dan praktisi media watch,  Ria Fariana (guru dan penulis produktif untuk karya kreatif remaja), serta Eko Pamuji (redaktur senior Harian Bangsa), dan beberapa lainnya.

Satu hal yang juga mencuat dalam forum itu adalah, keinginan para “pendekar” Unesa itu agar Indonesia Menulis tidak sekadar hanya kegiatan pelatihan menulis, tetapi menjadikannya sebagai bangunan besar yang menggarap lebih banyak lagi program untuk kemaslahatan bangsa, khususnya di bidang pendidikan.

“Indonesia Menulis harus didesain sebagai gerakan yang masif dan sistemik. Jadi tidak sekadarpelatihan" kata Martadi.

Karena itu, pasca-launching dengan target menerbitkan empat buku, 2 Mei 2012 nanti, mereka sepakat berkolaborasi  intensif untuk menggarap isu-isu global terkait dunia pendidikan. Targetnya, menjadikan Unesa memiliki peran besar dalam dunia pendidikan dan mampu menyuguhkan kontribusi positif dan konkret untuk negeri ini.

Indonesia Menulis memang mulai digerakkan dari Surabaya lewat bingkai Jawa Timur Menulis. Tetapi, ke depan sayap gerakannya akan menggelinding secara nasional. Bahkan, tak lama lagi akan ada pertemuan khusus utk mengonkretkan Indonesia Menulis sebagai gerakan yang masif dan sistemik sebagai antisipasi masuknya isu-isu global.

“Kami merasa mendapat tambahan energi yang luar biasa dari teman-teman instruktur ini untuk menyukseskan program Indonesia Menulis. Kami juga siap berkolaborasi dengan tim kerja Unesa untuk memberikan kontribusi lebih konkret dan maksimal di dunia pendidikan dan apa saja untuk menjadikan bangsa ini berbudaya menulis,” kata Khoiri seusai memimpin pertemuan tersebut. (sha)

Jatim Menulis Dimulai dari Surabaya

Senin, 12 Maret 2012

Diikuti Ratusan Guru, Mahasiswa, dan Siswa SLTA se-Jatim        

Mesin program  Jatim Menulis yang terbingkai dalam Indonesia Menulis mulai dipanasi. Tidak lama lagi program yang disiapkan untuk memberikan keterampilan menulis kepada para guru, mahasiswa, dan siswa SLTA ini dijalankan. Ratusan peserta akan menjalani program pelatihan dan pendampingan selama 36 jam, dipandu para instruktur dari Unesa dan sejumlah profesional yang andal dan berpengalaman di dunia tulis-menulis.

Pelatihan dan pendampingan menulis  ini akan diikuti para guru dan siswa SLTA dari 38 kabupaten/kota  dan sejumlah perguruan tinggi di Jatim.  Pelaksanaan pelatihan dijadwalkan berlangsung 24-26 Maret 2012 di Surabaya. Setelah menjalani pelatihan, peserta akan mengikuti pendampingan hingga seluruh peserta mampu menghasilkan karya tulis ilmiah populer.

Karya para peserta akan diseleksi dan untuk masing-masing kelompok akan diambil sekitar 40 naskah yang akan diterbitkan dalam bentuk buku dan  akan di-launching di Grahadi oleh Gubernur Jatim, Soekarwo, pada hari pendidikan nasional (Hardiknas), 2 Mei 2012. Lainnya akan ditampung di portal www.indonesia-menulis.com. Dalam launching ini juga akan diserahkan penghargaan kepada penulis terbaik dari masing-masing kelompok, yakni kelompok guru, mahasiswa, dan siswa SLTA.

Program yang terselenggara atas kerja sama Universitas Negeri Surabaya (Unesa) dan Dinas Pendidikan Nasional (Diknas) Jatim ini diperkuat puluhan instruktur andal dan berpengalaman di bawah koordinasi tim kreatif Mitra Kreasindo Abadi (MKA).  Menurut Project Officer Indonesia Menulis, Much. Khoiri, program ini akan dimulai dari Jawa Timur (Jatim) yang dikemas dalam “Jatim Menulis”.

Tahap pertama, lanjut Khoiri, akan dipusatkan di Surabaya. Selanjutnya, pelatihan dan pendampingan menulis ini akan bergerak ke berbagai daerah di Jatim. Menurut Khoiri, para peserta nantinya tidak hanya mengikuti pelatihan dan pendampingan menulis secara teknis. Sebelumnya, mereka juga mendapat suntikan untuk membedah mental block. Tidak hanya itu, para peserta juga akan mendapat berbagai motivasi, di antaranya tentang pentingnya wawasan kebangsaan untuk meneguhkan jati diri dan penguatan karakter kebangsaan. (sha)
  

Stigma Sekolah Mahal

Kamis, 01 Maret 2012

Oleh Suhartoko:

SETIAP akhir tahun ajaran, dunia pendidikan dasar dan menengah selalu mempersiapkan diri menjalani  pergantian atau peningkatan jenjang sesuai tingkatan masing-masing, baik di level SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA, termasuk pada pendidikan anak usia dini (play group dan TK). Ini momentum tahunan yang tak jarang membuat para orang tua kelabakan. Selain harus berburu sekolah favorit pascakelulusan, mereka juga menyongsong kenaikan kelas. Konsekuensinya, dana ekstra pun harus disiagakan.

Meski tergolong klasik, masalah biaya sekolah tetap menjadi perhatian publik. Persepsi kerap mengemuka terkait proses pendidikan adalah, masalah tingginya biaya yang harus dipikul oleh peserta didik/wali murid. Bahkan tak jarang stigma sekolah mahal yang diidentikkan dengan komersialisasi pendidikan mencuat ke ranah publik.
Munculnya persepsi tentang mahalnya biaya pendidikan, mencerminkan kegelisahan sebagian wali murid dalam mengantarkan anak-anak mereka menapaki jenjang pendidikan. Tak bisa dimungkiri, kendala biaya menjadi salah satu penyebab masih tingginya angka putus atau gagal sekolah. Ini konsekuensi masih rendahnya “daya beli” masyarakat untuk bisa menyekolahkan anak-anak mereka.

Bisa memasukkan anak ke lembaga pendidikan atau sekolah yang bermutu merupakan harapan dan kebanggaan orang tua. Namun,  ketika dihadapkan pada besarnya biaya pendidikan yang ditetapkan pengelola sekolah, baik negeri maupun swasta, banyak orang tua yang harus mengelus dada. Dan, bagi yang taraf ekonominya tergolong pas-pasan, kuatnya stigma sekolah mahal tak bisa dibantah.

Sebenarnya, mahal atau murah, tinggi atau rendahnya biaya pendidikan sangat relatif dan bergantung pada sudut pandang atau kepentingan para pihak. Bagi pengelola sekolah, untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang bermutu, konsekuensi logis yang tidak bisa dihindari adalah menyangkut besarnya biaya operasional. Sebab, untuk merealisasikannya perlu dukungan fasilitas dan infrastruktur yang  memadai. Masalahnya, haruskah seluruh biaya pendidikan itu dibebankan kepada peserta didik atau wali murid?

Kita memang tidak bisa menutup mata terhadap tingginya biaya pendidikan yang berlaku saat ini. Karena itu, pepatah jer basuki mawa bea, berlaku dalam mengantarkan anak-anak kita dalam mengenyam pendidikan. Tetapi, juga kurang sportif jika kita –secara membabi buta-- mengklaim biaya di sekolah tertentu mahal, tanpa mencermati spesifikasi layanan atau fasilitas yang diberikan sekolah kepada peserta didik.

Transparansi Pengelolaan
Sangat mungkin, stigma sekolah mahal terbentuk karena publik tidak mendapatkan informasi secara tuntas, terutama menyangkut pengelolaan anggaran pada institusi pendidikan. Ini terjadi karena publik tidak selalu memiliki akses cukup memadai untuk mendeteksi aliran dana di sekolah. Juga bisa jadi, pihak sekolah sengaja menutup akses informasi alias tidak transparan dalam mengelola anggaran pendidikan.

Karena itu, untuk menghapus stigma sekolah mahal, sudah waktunya  institusi atau lembaga-lembaga pendidikan mengedepankan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Karena itu, dalam menyusun rencana anggaran pendapatan dan biaya sekolah (RAPBS), pihak sekolah juga harus melibatkan para orang tua/wali murid yang bisa direpresentasikan lewat Komite Sekolah. Partisipasi aktif wali murid tidak saja menyangkut besaran nilai SPP atau uang gedung, tetapi seluruh alur distribusi anggaran, termasuk pos-pos sumber dananya.

Untuk mengeliminasi kekhawatiran dan kecurigaan publik, secara periodik sekolah juga mesti membuat laporan tertulis tentang pengelolaan anggaran sekolah yang secara mudah bisa diakses, misalnya lewat penerbitan jurnal berkala atauweb site.  Kalau perlu, tiap tahun pengelola melibatkan auditor independen untuk mengaudit kondisi keuangan sekolah.

Jika pola tersebut diterapkan, publik tentu tidak lagi mempertanyakan, atau bahkan mencurigai pengelolaan keuangan di sekolah. Pada gilirannya, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sekolah, terutama menyangkut aliran dana, secara bertahap akan menghapus stigma sekolah mahal. Sebab, publik akan bersikap objektif dan proporsional setelah mendapat kepastian, bahwa pengelolaan sekolah tidak ada yang ditutup-tutupi. (*)

Ketika Sekolah adalah Penting

Senin, 27 Februari 2012

Oleh Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd *)

ADALAH Rahmad Syarifuddin, salah seorang mahasiswa saya di Prodi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan ( PTK). Baru sekitar seminggu yang lalu dia menemui saya di ruang saya di Program Pascasarjana (PPs) Unesa. Tujuannya,  meminta ujian susulan. Tentu saja dia sudah menghubungi saya sebelumnya melalui telepon. Anak MA (Madura Asli) itu sopan sekali. Attitude-nya juga sangat bagus.

Ini adalah ujian yang kelima yang ditempuhnya. Sendirian. Semua temannya sudah selesai menempuh ujian itu. Bahkan perkuliahan semester ini sudah berakhir sejak dua minggu yang lalu.

Pada matakuliah Teori Belajar, saya memberi  lima kali ujian, yakni untuk teori belajar perilaku dan sosial, teori belajar kognitif, teori belajar konstruktivis, pemotivasian belajar, dan strategi-strategi belajar. Setiap satu topik selesai dibahas (biasanya memerlukan waktu dua atau tiga kali pertemuan), pertemuan berikutnya adalah ujian.
Soal ujian terdiri atas dua bentuk, yakni multiple choice dan essay. Soal jenis pertama harus dikerjakan tanpa membuka buku. Sedangkan pada  soal jenis kedua boleh membuka buku dan internet. Yang penting harus dikerjakan sendiri.
Selain ujian, untuk setiap topik mereka harus membuat ringkasan dalam bentuk power point, dengan ketentuan tertentu. Saya membuat rubrik penilaian power point untuk digunakan sebagai pedoman. Pada power point itu juga, mereka harus memunculkan dua pertanyaan yang berbobot terkait dengan topik yang diringkas (penerapan strategi membuat ringkasan, bertanya, dan metakognitif).
Pola ini mungkin cukup berat bagi sebagian besar mahasiswa. Namun, karena dari pengalaman selama ini pola tersebut memberikan banyak manfaat dalam hal meningkatkan motivasi, pemahaman, dan kemajuan belajar mahasiswa, maka pola yang saya adopsi dari Prof Dr Muhammad Nur, Ketua Pusat Sains dan Matematika Sekolah di Unesa ini, masih saya pertahankan.

Kembali ke Rahmad Syarifudin. Pemuda ini baru mengikuti satu kali pertemuan di awal perkuliahan, ketika sebuah kecelakaan lalu lintas menimpanya pada awal semester yang lalu. Sepulang dari mengajar, sepeda motor yang dikendarainya terserempet mobil. Dia terjatuh dengan luka kaki yang sangat parah. Ya, kakinya patah. Maka tidak ada pilihan, dia harus dioperasi untuk memulihkan kakinya dan menjalani perawatan yang cukup lama.
Ibunya menelepon saya dari rumah sakit, memintakan izin anaknya untuk sedikitnya tiga bulan (sesuai saran dokter) tidak mengikuti kuliah. Tiga bulan. Artinya lebih dari 50 persen dia akan absen. Maka, ketika ibunya bertanya dengan nada penuh kekhawatiran, apakah Rahmad masih boleh meneruskan kuliahnya, saya jawab, “Ya, tentu saja boleh”.
 Beliau bertanya lagi, “Tapi kalau absen selama tiga bulan, apakah dia bisa lulus untuk matakuliah yang ditempuhnya di semester ini?”
Saya sejenak bingung, namun secepat mungkin saya jawab. “'Ibu, apa pun konsekuensinya, Rahmad harus sehat dulu kan? Allah akan mengatur semuanya dengan sangat baik. Yang penting sekarang fokus pada kesehatan Rahmad dulu,” kataku mencoba menenangkan kegusarannya.

Sekitar sebulan setelah itu, Rahmad menelepon saya dan mengatakan, bahwa dia sedang berada di Surabaya. Dia ingin menemui saya setelah kontrol di Rumah Sakit PHC. Karena kebetulan saya sedang ada tugas di luar kota, maka saya katakan, mungkin sebaiknya dia langsung pulang saja ke Madura. Toh dia masih dalam keadaan sakit, dan tidak boleh terlalu banyak bergerak.
Namun ternyata besoknya, ketika saya bertemu dengan Prof Fabiola, dosen pengajar mata kuliah Bahasa Inggis di Prodi S2 PTK, beliau bercerita kalau kemarin Rahmad menemuinya. Nampak sekali Prof Fabiola begitu terkesan pada pemuda itu. Dengan diantar ibunya, berjalan dibantu kruk, Rahmad berusaha menemui dosennya satu per satu untuk meminta izin tidak mengikuti kuliah selama kondisinya belum memungkinkan. Padahal sebenarnya dia sudah meminta izin melalui telepon.

Sekitar dua minggu setelah itu, Rahmad menelepon lagi, dan mengatakan, bahwa dia ingin menemui saya. Dia katakan, dia habis kontrol di Rumah Sakit PHC. Dalam teleponnya dia mengatakan, ketika itu dia tengah  meluncur ke kampus.

Akhirnya, muncullah pemuda itu di hadapan saya. DIa berjalan tertatih-tatih dengan dua kruk menyangga tubuhnya, dengan wajah yang meringis menahan sakit. Ibunya mendampinginya dengan penuh kesabaran. Mereka diantar pamannya dari Madura dengan mobil pick-up. Ibunya adalah seorang guru SD.
Rahmad merupakan anak satu-satunya, dan bapak Rahmad sudah lama meninggal. Karena begitu kuatnya keinginan Rahmad untuk sekolah, ibunya memberanikan diri mengambil pinjaman dari bank  Rp 10 juta. Uang itu sudah digunakan untuk membayar SPP semester pertama sebesar Rp 5 juta. Sisanya yang 5 juta untuk cadangan membayar SPP semester kedua.
Sisa uang itu masih tetap mengendap di tabungan. Bahkan meskipun  memerlukan banyak dana untuk pengobatan Rahmad, sang ibu memilih meminjam dari koperasi sekolah dan dari teman-temannya yang lain, sehingga tidak mengutak-atik uang yang diplot untuk membayar sekolah Rahmad. Juga ketika rumahnya rata dengan tanah karena diterjang badai puting beliung, ia tetap bertahan untuk tidak menggunakan uang sekolah itu. Sang ibu memilih pinjam dari sanak-saudaranya untuk memperbaiki rumahnya.
Perempuan sederhana itu menceritakan semuanya dengan sangat tegar, dengan tutur kata yang lancar, tidak ada nada mengeluh. Bahkan berkali-kali justru rasa syukur yang meluncur dari bibirnya, karena meskipun cobaan beruntun menderanya, Allah tetap melindunginya dan anaknya. Lebih dari itu Allah  selalu memberikan jalan keluar bagi setiap kesulitannya.

Rahmad mengatakan, kalau kondisinya sudah memungkinkan, dia akan mengumpulkan semua tugas dan akan menempuh semua ujian untuk mata kuliah saya. Dia juga akan lakukan hal yang sama untuk matakuliah lain. Dia tanyakan apa itu bisa? Saya katakan, bahwa saya belum bisa memastikan. Bahwa jumlah kehadiran memengaruhi nilai partisipasi kelas.
Karena saya Kaprodi S2 PTK, saya berjanji akan menghubungi semua dosen pengajar  dan meminta kesediaan mereka untuk melayani Rahmad dengan memberinya kesempatan untuk mengumpulkan tugas dan menempuh ujian. Setidaknya, meskipun nilainya tidak bisa optimal --karena nilai partisipasinya pasti sangat rendah--, setidaknya yang penting dia bisa lulus, meski dengan nilai minimal sekali pun. Tentu saja kalau dia dinilai pantas lulus,  saya tidak akan melakukan intervensi pada dosen yang bersangkutan, karena itu menyangkut kewenangan dosen. Saya juga katakan pada Rahmad, saya harus konsultasikan kebijakan ini pada Prof Muslimin, Asisten Direktur  I PPs.

Besoknya, ketika saya menelepon semua dosen, jawaban mereka melegakan saya. “Oke, Bu Lutfi, no problem,” kata Prof. Fabiola.
“Siap, Prof,” ujar Prof Munoto.
Jawaban dosen-dosen yang lain pun bernada sama. Prof Muslimin, Asdir I, juga menyerahkan pada kebijakan saya sebagai Kaprodi dan kesepakatan dosen-dosen pengajar. Saya benar-benar lega.

Saya sampaikan kabar yang melegakan itu kepada Rahmad. Dia nampak senang sekali, dan berkali-kali mengucapkan terimakasih. Dia berjanji akan segera mengikuti kuliah bila kondisinya sudah memungkinkan, dan akan berupaya mengejar ketertinggalannya.

Tiga kali pertemuan sebelum perkuliahan semester ini berakhir, Rahmad tiba-tiba muncul di kelas. Masih mengenakan kruk, tapi tinggal satu. Saya tanyakan ke dia, apakah kondisinya sudah memungkinkan untuk ikut kuliah.
Dia jawab, “insyaallah, ibu. Yaa....dipaksa-paksa sedikit, Ibu. Sekalian latihan jalan.”
Sejak itu, dia mulai mengumpulkan tugasnya satu demi satu. Menempuh lima kali ujiannya setahap demi setahap. Hal  itu juga dilakukan untuk mata kuliah yang lain. Setiap kali saya ketemu dosen pengampu mata kuliah, hampir semuanya mengemukakan kekagumannya pada Rahmad. Mereka kagum pada daya juangnya dan motivasi belajarnya yang luar biasa, juga pada kehalusan budi pekerti dan kesantunannya.
Hampir setiap hari selama minggu-minggu terakhir perkuliahannya itu, dia menyetorkan tugas-tugas, menempuh ujian, dan mengikuti kuliah demi kuliah. Di dalam setiap perkuliahan, dia berusaha untuk sepenuhnya terlibat, bertanya, menanggapi, menunjukkan kesungguhannya untuk mengejar ketertinggalannya dalam nilai partisipasi kelas.

Sebagai seorang dosen yang sudah puluhan tahun bertugas, saya sering dibuat terharu dengan kegigihan beberapa mahasiswa saya. Beberapa dari mereka ke kampus sambil membawakan nasi bungkus untuk teman-temannya. Tentu saja teman-temannya itu harus membelinya. Ada pula yang membawa goreng-gorengan, seperti tahu, tempe, pisang, dan lain-lain.
Selain itu, di antara mereka ada juga yang harus membagi waktu sedemikian rupa karena dia bekerja sebagai tenagacasual di sebuah hotel. Tak heran, kadang-kadang di kelas terkantuk-kantuk, kelelahan. Saat ini ada sekelompok mahasiswa bimbingan saya berwira usaha dengan menjual berbagai makanan di kampus. Mereka kerap berlari-lari untuk mengejar perkuliahan yang akan segera dimulai. Namun begitu, mereka menjalani aktivitas kuliahnya dengan sangat baik,  tugas selalu tepat waktu, UTS- UAS tidak ketinggalan, dan aktif di kelas.

Sebagian besar mahasiswa S2 saya adalah guru dan sebagian lagi dosen, yang tetap harus mengajar di antara waktu-waktu kuliahnya. Seorang mahasiswa saya, Abdul Fatah, guru SMA di Lamongan, setiap hari Kamis, Jumat, dan Sabtu,nglaju  dengan vespanya. Seorang lagi, dosen Unmuh Madiun, harus  nge-bus.
Beberapa yang lain, bersepeda motor Pamekasan-Surabaya (PP), Mojokerto-Surabaya, dan Jombang-Surabaya. Spirit mereka, ya spirit itu,  begitu bisa saya rasakan. Spirit untuk menuntut ilmu, apa pun motivasinya. Padahal, kalau mereka sekadar ingin dapat ijazah S2, mereka bisa mendapatkannya dengan jauh lebih mudah dari banyak perguruan tinggi swasta yang menawarinya. Mereka tidak harus bersusah-payah dengan menjadi mahasiswa reguler dengan segala macam aturan dan beban kuliahnya.

Spirit itu begitu kuat karena bagi mereka, sekolah adalah penting. Mungkin ada banyak hal juga yang sebenarnya tidak sesuai dengan keinginan mereka. Di antaranya, ada dosen yang terlalu banyak memberikan tugas, dosen yang sering mengubah jadwal semaunya, dosen yang sangat pelit nilai, bahkan dosen yang membosankan ketika mengajar.
Tetapi, mereka semua menjalaninya dengan sangat realistis. Bagaimanapun mereka sudah ada di sini. Dan, do my bestitulah pilihan sikap yang terbaik. Bahkan bagaimana menghadapi kejenuhan yang luar biasa saat dosen mengajar dengan membosankan, perlu kemampuan mengelola emosi dan daya tahan yang luar biasa. Bila mereka mampu melewatinya, maka satu tahap telah berhasil dicapainya. Selalu ada hal baik yang bisa dipetik, bahkan dari seorang dosen yang mengajar dengan cara yang paling membosankan sekali pun.

Bagi mereka, pendidikan jelas bukan sekadar persekolahan (meminjam istilah Daniel M. Rosyid dalam Potret Sekolah Dewasa Ini).  Dan bagi mereka, belajar juga bukan sekadar untuk lulus ujian.  Pendidikan dan belajar bagi mereka, saya yakin, adalah benar-benar untuk bekal menyongsong masa depan.
*) Prof Dr Luthfiyah Nurlaela, MPd  adalah Ketua Program Studi S2 Pendidikan Teknologi Kejuruan (PTK), Unesa

Distorsi Pendidikan Kita

Oleh Suhartoko *) 

DALAM satu kesempatan di pondok pesantren Darut Taqwa Gresik, KH A. Mustofa Bisri sempat melontarkan kegelisahannya terkait penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Pemangku Ponpes Raudlatut Thalibin Rembang, Jateng itu ngudarasa tentang carut-marut dan amburadul-nya pendidikan di Indonesia.

Kiai yang akrab disapa Gus Mus ini menilai, masalah tersebut sudah mengakar mulai di tingkat satuan pengelola pendidikan (baca: sekolah) hingga pembuat kebijakan tertinggi di bidang pendidikan. Bahkan, menurut Gus Mus, ruwetnya dunia pendidikan terjadi secara sistemik, karena menyentuh hampir seluruh tahapan dalam proses pembelajaran di sekolah.

Kegelisahan sang kiai sebenarnya cukup beralasan jika melihat output pendidikan yang ternyata belum banyak menyentuh aspek sumber daya insani peserta didik secara tatol. Hal ini karena sejak awal telah terjadi distorsi dalam memaknai pendidikan, yang di dalamnya terdapat instrumen pendidik (orang yang mendidik atau guru), peserta didik (murid/siswa), dan pengelola sekolah.  Sinyalemen ini kian tak terbantahkan jika dikaitkan dengan sistem evaluasi akhir yang dijadikan acuan penentu kelulusan peserta didik.

Lihat saja kebijakan Ujian Nasional (Unas) dan Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang ditetapkan dan hingga kini diberlakukan pemerintah. Terlepas dari kontroversi penerapannya di lapangan, dari sisi materi, ujian itu sesungguhnya belum cukup merepresentasikan pola pendidikan yang dalam perspektif pesantren dikenal dengan istilah tarbiyyah dalam arti sesungguhnya. Sebab, model atau materi ujian yang harus dikerjakan peserta didik umumnya tidak lebih dari pengajaran (ta’lim) bidang studi yang diajarkan di sekolah. 

Kalau mau jujur, sesungguhnya materi ujian yang disajikan kepada peserta Unas/UASBN itu hanya berisi materi-materi pelajaran yang lebih bersifat kognitif, tidak banyak menyentuh aspek pembangunan dan pemberdayaan daya insani peserta didik yang ditandai adanya perubahan perilaku moral/akhlak atau budi pekerti.

Uniknya, selama bertahun-tahun Unas/UASBN yang hanya terdiri atas sebagian kecil dari total mata pelajaran, justru menjadi penentu kelulusan peserta didik. Perancang atau pembuat soal-soal ujian hanya berorientasi bagaimana peserta mampu mengerjakan soal-soal yang disodorkan, tanpa mempertimbangkan aspek moral atau akhlak yang dimiliki peserta didik setelah lulus sekolah kelak.

Ini yang kemudian berpengaruh pada pola dan materi pembelajaran yang diberikan oleh pendidik (guru) kepada peserta didik (murid). Tak heran, banyak pengelola satuan pendidikan menerapkan sistem “kejar tayang” pada satu tahun terakhir pada tiap level pendidikan, yakni pada kelas VI untuk jenjang SD/MI, kelas IX untuk SMP/MTs, dan kelas XII untuk tingkat SMA/SMK/Aliyah. “Kejar tayang” yang dimaksud adalah, materi ajar dua semester dihabiskan (secara kuantitatif) dalam satu semester I. Sedangkan pada semester II, peserta dipacu dengan mengunsumsi soal-soal yang diproyeksikan setingkat dengan materi ujian akhir.

Tidak hanya itu, pada periode akhir tiap jenjang pendidikan tersebut siswa masih harus menjalani berkali-kali try out, sebagai bekal menghadapi Unas/UASBN. Tujuannya, peserta didik memiliki kesiapan  dan terbiasa dengan pola pengerjaan soal-soal yang diprediksi selevel dengan yang akan mereka hadapi dalam ujian akhir.

Dalam kasus ini, baik guru maupun murid sepertinya telah menjadi korban teror oleh pembuat kebijakan pendidikan di negeri ini. Guru atau pengelola sekolah yang tidak mau menanggung malu akibat ada muridnya yang tidak lulus, akan mati-matian menyiapkan muridnya untuk bertempur dalam ujian. Meski tak jarang ditemui, demi kelulusan muridnya, sang guru atau penyelenggara satuan pendidikan “terpaksa” melakukan kecurangan (dengan berbagai modus) demi mengejar lulus 100%.

Lebih parah lagi, kecurangan itu bahkan dilakukan secara massal dan terorganisasi. Ini terjadi lewat pengondisian petinggi di Dinas Pendidikan di daerah kabupaten/kota. Demi nama baik daerah, para kepala sekolah diminta bekerja sama dalam mengawal murid-muridnya agar bisa lulus 100%. Karena itu, meski sistem pengawasan ujian dilakukan secara silang, biasanya antarpengawas yang sudah “dibekali” kepala sekolah masing-masing, terjadi kesepakatan untuk tutup mata terhadap peluang kecurangan yang terjadi. Akibatnya, misi pengawasan terhadap peserta ujian berubah jadi praktik perjokian, baik secara terang-terangan maupun  terselubung.
Para orang tua atau wali murid pun tak mampu menghindar dari pengondisian ini. Karena persepsi yang terbangun dan mengakar adalah bagaimana peserta didik mampu mengerjakan soal-soal yang mereka hadapi dalam ujian akhir, maka tak sedikit orang tua harus berburu lembaga bimbingan belajar (LBB). Meski untuk ini mereka harus mengalokasikan dana tidak sedikit.

Tujuannya hanya satu: menyiapkan anak-anak mereka agar mampu mengerjakan soal-soal ujian secara maksimal. Dan, para pengelola LBB pun menangkap fenomena ini sebagai peluang bisnis menggiurkan. Tak heran, di mana-mana tumbuh LBB baik yang sudah teroganisasi secara rapi dan profesional maupun yang personal amatiran.  

Hakikat Pendidikan

Kalau kita mencermati definisi dan hakikat pendidikan, baik yang diungkap para pakar pendidikan klasik maupun modern, dalam beberapa dekade terakhir, sepertinya telah terjadi distorsi pemaknaan. Ki Hajar Dewantara, bapak pendidikan Indonesia memaknai pendidikan sebagai upaya memajukan budi pekerti, pikiran, serta jasmani anak, agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yaitu hidup dan kehidupan anak yang selaras dengan alam dan masyarakatnya.

Sementara pakar pendidikan Frederick J. Mc Donald memandang pendidikan sebagai suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk mengubah tabiat. Makna hampir sama dapat diperoleh dari terminologi Jawa yang menempatkan pendidikan sebagai panggulawenthah (pengolahan), yakni mengolah atau mengubah kejiwaan, mematangkan perasaan, pikiran, kemauan, dan watak, serta mengubah kepribadian sang anak.
Deskripsi lebih lengkap dan gamblang dapat ditemui dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasioanal (Sisdiknas). Pasal 1 ayat 1 UU ini menyebutkan, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Dari paparan tersebut jelaslah, bahwa soal-soal Unas/UASBN yang dihadapi peserta didik  jauh dari makna serta maksud dan tujuan pendidikan. Karena itu, sudah saatnya para pemangku kepentingan (stake holder) pendidikan menyamakan persepsi tentang pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang sesuai dengan harapan para pakar pendidikan maupun payung hukum yang berlaku, dalam hal ini UU Sisdiknas. Kembalikan makna pendidikan sesuai dengan “fitrahnya” dan jangan ada lagi distorsi dalam memaknai dengan merancukannya antara pendidikan dan pengajaran.

Kita tentu tidak ingin para peserta didik hanya piawai menuntaskan soal-soal ujian dengan hasil gemilang, lalu menafikan perkembangan moral/akhlak atau budi pekerti sebagai bekal bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebaliknya, kita berharap peserta didik tumbuh dengan berbagai kecerdasan yang secara komprehensif dikembangkan lewat proses belajar mengajar. (*)

*) Suhartoko adalah pengelola lembaga pendidikan di Yayasan Pendidikan dan Sosial Islam (YPSI) Al Huda dan Yayasan Al Ibrah Gresik.