|
SUHARTOKO |
Nageri Para Tuan
Lengkap sudah kelam negeriku
Ketika para tuan semakin berbusung dada
Ketika para tuan semakin lupa tanah jelata
Ketika para tuan saling berebut kasta
dan apa saja yang bikin mereka tertawa
Tak peduli harus terbayar dengan anyir darah menyengat
Lihatlah,
Atas nama rakyat
Para tuan ingin naikkan harga sekaligus naik tahta
Berburulah mereka pundi-pundi fasilitas
Dengan segala cara
Tak peduli si papa makan apa
Tarian para badut di Senayan
Dan rancak dansa di gedung-gedung dewan ... di mana-mana
Makin membuat para tuan kegirangan
Karena perjuangan tak perlu harus keluar keringat
Meski tak jarang pura-pura bersitegang urat
dan berakhir dengan tertawa bersama
Oh, para tuan ....
Boleh saja tamak meraja
Hingga bikin buncit tengah badan
Boleh saja bergelimang tahta
Hingga merasa jadi dewa
Tapi yang para tuan tak bisa mengelak
Bakal tergelar timbangan
atas apa yang tuan perjuangkan
Di panggung peradilan tak berkesudahan
Gresik, 1 Februari 2011
Reshuffle
Dari ujung mata pena
terlihat kegusaran menggumpal
Dari sudut layar kaca
terekam laku lampah blingsatan
Kian samar mana koalisi, mana oposisi
Terselip jatah porsi, menjadi menteri
Semua sibuk berias diri
Saling sandera mengunci hati
Saling tawar menjual diri
Sampai juga lupa diri
Sementara ndoro menteri jeli menyeleksi
Demi amankan diri dan istri, anak cucu hingga cicit
Jauh dari ujung kekuasaan
Menunggu resah anak-anak bangsa
telanjang tak lagi mampu menutup dada
lemas menanti kiriman nasi
terjulur asa akan berubah nasib
di tengah ladang para perakus negeri
Sidoarjo, 14 Oktober 2011
Sumpah Pemuda
Hari ini,
Seperti kau tanam berpuluh-puluh tahun
Benih sumpah itu masih saja menggaung
Terpatri mati, terkunci dalam hati mengabadi
Seperti kau mau dalam sumpahmu:
Satu utuhnya negeriku
Satu utuhnya bangsaku
Terbalut mesra dalam bahasa yang satu
Hari ini,
Setelah berpuluh-puluh tahun
Benih sumpahmu tak lagi bertumbuh seperti kau mau
Anak-anak muda tak lagi bangga dengan negerinya
Anak-anak muda tak lagi tahu di mana harus berpijak
Terbius fakta yang tak lagi menginjak tanah
Seperti keranjingan setan
Tak peduli dia polisi hingga para pengadil
Tak peduli dia bupati hingga para menteri
Terseret arus badai, asyik bercerai dalam partai-partai
Beramai-ramai berkerumun dalam kenduri korupsi
Tak pernah grogi karena merasa terlindungi
Hari ini,
Aku dengar menggema sumpah serapa
Bukan lagi sumpah agungmu yang mendunia
Dari semua yang jelata dan melata
Di bumiku, di bumimu yang diporakporandakan
Gresik, 28 Oktober 2011
Senayan 1998-2011
Berdiri Tegak di gedung Senayan
Menjebol pagar karang
Menerobos ruang-ruang dewan
Bersatu tekad robohkan tirani kekuasaan
Meski harus tertanam tumbal demi perubahan
Berdiri tegak di gedung Senayan
Kokohmu tak lagi bersimbol perjuangan
Tapi berhimpun para pemabok dan perompak
menghisap sari negeri hingga jadi ampas
Sidoarjo, 31 Oktober 2011
Parodi Teror (is) - 1
Tak terbilang nyawa melayang
Tak terbilang anyir darah mengalir
Tak terbilang luka menganga
Tak terbilang resah membelit
Panggilan jihad dengan upah sorga
Adalah jiwa syuhada yang tiada lelah berjuang
Dan raga pun tiada berguna
Meski di sudut mana sorga berada
Jiwa-jiwa yang kalap
Terus berburu darah dan nyawa
Menebar benih teror di mana-mana
Berkejaran tanpa tapal batas
Ledakan berbalas muntahan senjata
Terus tersemai kebencian dan dendam
Tanpa sadar bahwa mereka hanyalah wayang
Sementara sang sutradara tertawa kegirangan
Surabaya, 2010/2011
Parodi Teror (is) - 2
Dalam dekap para bunda
Banyak bocah tak lagi berayah
Menggigil bercucur air mata
Juga darah lekat di telapak tangan
Dengan lidah terbata namun tegar
Bunda bilang: Nak … Abi tak lagi bernyawa!
Pagi buta selepas fajar
Ketika hamba khusuk dalam sujud berjamaah
Ketika pekat menyengat tiada bulan juga bintang
Ketika burung liar bersiap lepas dari sarang
Bocah tak lagi bersama sang imam
Zikir Subuh pun senyap lagi ampang
Tergantikan ganasnya timah tajam
Menerobos tinggalkan banyak lubang di dada
Darah pun mengalir, tercecer di mana-mana
Tepat di mata bulat sang bocah
Dipungutnya darah setapak demi setapak
juga selongsong peluru sisa penembus raga, pencabut nyawa
Dengan sisa tenaga, bocah memelas
: Apa salah Abiku, Tuan?
: Abi hanya seorang pengelana, tak pernah bikin onar
: Mengapa kau tembaki hingga terenggut ajal?
Dengan senapan masih berasap
Dengan tatapan singa menerkam
Tuan menggertak mengunci pendengaran
: Abimu teroris jahanam!
Di lapang tanah merah
berhias kamboja dan batu hitam
Melepas imam dalam tidur panjang
Sang bocah mengepal geram
Meninju menembus dinding langit, minta keadilan
: Siapa teroris sejatinya?
Abiku sang imam atau kalian penguasa durjana?
Surabaya, 2010/2011
Tuhan
Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa jumpai di pinggir-pinggir jalan
Tidak harus di hotel atau lokalisasi
Tidak juga vila di gunung-gunung
Baik terang-terangan maupun terselubung
Transaksi cinta terbingkai rapi
Tanpa risih tanpa berisik
Tanpa memancing iri hati
Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa jumpai di mal atau plaza-plaza
Di tempat-tempat dugem
Juga cangkrukan tengah malam
Syahwat belanja pasti terbayar
Berapa pun harga terpasang nyaris tak tertawar
Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa lihat anak-anak muda
Banggakan idola ketimbang panutan
Tiada lagi sungkan meski telanjang
di warung kopi, di panggung hiburan
di pasar-pasar, di mana saja
Ketika Tuhan tak lagi murah
Kita bisa lihat di gedung-gedung instansi
Baik eksekutif, legislatif, juga yudikatif
Para petinggi beradu nyali
Merakit roda korupsi, merampok negeri
Tuhan yang rahman
Di mana Kau simpan pandu firman-Mu?
Sidoarjo, September 2011